Oleh: Nur Indah*

Formulasi hukum dalam Islam sangat diperlukan di setiap inci masalah, yang tengah dihadapi masyarakat dengan menggali dari Al-Quran dan hadis. Rumusan umum keputusan yang bermula dari ijma’ (konsensus) harus diperhatikan sebelum merumuskan sebuah masalah, dan hal tersebut menjadi pemufakatan bersama di kalangan ulama.

Pada masa Rasulullah, perbedaan dalam merumuskan hukum sama sekali tidak tampak. Semuanya tunduk pada aturan wahyu, karena pada masa itu nalar rasio sama sekali tidak memiliki peran dan semua permasalahan tersebut bertumpu pada Rasulullah, baik masalah duniawi maupun ukhrawi. Akan tetapi terdapat beberapa sebagian daerah yang tidak terjangkau Rasulullah sehingga kebijakannya pun dipasrahkan kepada pemimpin setempat.

Imam as-Suyuti dengan tegas menyatakan, dalam setiap periode harus ada seseorang atau beberapa orang yang kompeten dalam bidang ijtihad, adapun orang yang dimaksud tersebut adalah tentunya bukan hanya yang punya nyali dan keberanian berijtihad tanpa didukung dengan keilmuan yang mumpuni.

Ada beberapa grade ijtihad dalam terminologi hukum fiqih seperti yang telah viral di kalangan pegiat fikih, yakni mujtahid mutlak, mujtahid muqayyad dan mujtahid muntasib. Semua tingkatan yang telah disebutkan di atas, tingkatan tersebut perlu kedalaman ilmu dan keluasan ilmu, lebih-lebih mujtahid pada tingkatan yang pertama, yakni mujtahid mutlak karena karena mujtahid tersebut dituntut membuat metodologi penggalian hukum sendiri, berbeda dengan tingkatan mujtahid di bawahnya yang hanya cukup mengaplikasikan teori penggalian hukum milik mujtahid pertama.

Majalah Tebuireng

Seorang mujtahid dituntut untuk menguasai berbagai disiplin ilmu, mulai dari gramatika Arab, balaghah, tafsir, musthalahul hadist, kaidah fiqih dan lain sebagainya. Dengan seabrek ilmu dan kerumitan, wajar saja beberapa ulama menegaskan bahwa pada masa sekarang ini sedikit kemungkinan untuk seseorang berijtihad, akan tetapi yang dimungkinkan ijtihad pada masa kini adalah ijtihad jama’i atau ijtihad kolektif dengan melibatkan beberapa ulama dan pakar dalam memutuskan hukum sebuah persoalan.

Di samping itu juga seorang mujtahid dituntut untuk memiliki kepekaan sosial, karena dinamika persoalan yang terjadi di masyarakat sangat kompleks dan sangat membutuhkan deskripsi masalah yang tahqiq (nyata) untuk kemudian dipaparkan hukumnya. Bahkan kajian ilmiah semisal Bathsul Masail (BM) di NU belum mencapai pada taraf ijtihad, dalam arti bahasa bisa saja, karena terkadang upaya untuk menelorkan sebuah putusan hukum dari persoalan yang dibahas.

Namun bukan berarti ini dianggap mengekang kebebasan berpikir, tidak. Karena persoalan ijtihad bukan perkara yang remeh dan tidak semua orang mampu masuk wilayah asah otak itu. Dengan demikian, karena keterbatasan kita untuk melakukan ijtihad sendiri, maka yang mesti kita lakukan adalah bertaklid kepada para mujtahid, sebab mustanad (sandaran atau acuan) para mujtahid tetap pada ketentuanya, artinya ketika kita mengikuti pendapat mereka dalam beragama sama halnya dengan menaati al-Quran dan hadis.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari