Oleh: Naila Nur Indah*

Membaca kisah hidup para ulama hebat yang mampu menyerukan dakwah kebaikan dan menjadi panutan bukanlah hal yang mudah. Mengarahkan dan membimbing para masyarakat kepada suatu tujuan kebaikan merupakan bentuk dedikasi tinggi terhadap sang pencipta-Nya (Allah SWT). Semua hal tersebut tidak luput dari dari seorang ibu yang telah menanamkan karakter-karakter tersebut kepada putra-putranya sehingga terbentuk pribadi mulia. Menjadi seseorang yang selalu mementingkan urusan akhirat dan menjauh dari urusan dunia. Keistimewaan seorang wanita dalam agama Islam seolah-olah tidak bisa digambarkan saat dia menjadi seorang ibu yang harus bertaruh nyawa mempertahankan sang buah hati yang akan terlahir ke dunia.

Sejarah mencatat sejumlah contoh sosok – sosok istimewa seorang ibu yang mempunyai peran besar dalam mendidik dan mengantarkan putranya hingga menduduki derajat kemuliaan. Salah satunya adalah Al-Khansa, seorang penyair cantik yang merelakan anaknya menjadi seorang mujahid. Nama Al-Khansa sebenarnya adalah Tumadhar binti ‘Amr bin Syuraidh bin ‘Ushayyah As-Sulamiyah. Al-Khansa merupakan sosok wanita yang bijaksana dan cerdas, berkepribadian yang sangat kuat,akhlak mulia,oandangan tajam,sabar dan pemberani.

Semua orang mengetahui kedudukan dan keahlianya yang luar biasa dalam bersyair. Para sastrawan bersepakat tidak ada perempuan yang memiliki kekuatan syair yang lebih hebat daripada Al-Khansa. Al-Khansa lahir pada jaman Jahiliah kaum Quraisy. Ia tumbuh besar di tengah suku Arab, Bani Mudhar. Bakatnya yang sangat mumpuni yang telah diakui oleh Baginda Rasulullah dan juga para sahabat yang lainya dalam bersyair, begitu juga dengan kasih sayangnya terhadap suami dan anaknya. Kasih sayang dan ilmu yang melimpah kepada putra-putranya yang menjadi pahlawan Islam hingga wafat sebagai syuhada’ pada perang Qadisiyah.

Dimulai saat belum berangkat peperangan, di rumah Al-Khansa terjadi perdebatan yang sengit, keempat putranya saling berebut kesempatan ikut berperang melawan tentara Persia dan mereka berebut untuk siapa yang tinggal di rumah untuk bersama ibunda Al-Kansa. Satu sama lain saling tunjuk untuk tinggal di rumah karena mereka memiliki keinginan yang sangat besar melawan musuh.

Majalah Tebuireng

Hingga terdengar perdebatan sengit itu oleh Al-Khansa yang kemudian ia kumpulkan semua putra-putranya,  “Wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian memeluk agama ini tanpa paksaan dan berhijrah dengan kehendak sendiri. Demi Allah tida tuhan selain Dia, Sesungguhnya kalian putra dari seorang laki-laki dan perempuan yang sama,” ujar Al-Khansa. Menurut Al-Khansa tidak pantas baginya untuk mengkhianati ayahanda dari keempat anaknya ataupun membuat malu paman mereka dengan mencoreng tanda di kening keluarganya. “Jika kalian melihat perang di jalan-Nya, sisingkanlah lengan baju kalian dan berangkatlah, majulah hingga barisan depan, niscaya engkau akan mendapatkan pahala di akhirat tepatnya di negeri keabadian”

Al-Khansa ridha keempat anaknya berjihad, “bBrangkatkah kalian dan bertempurlah hingga syahid menjemput kalian”. Bergegaslah keempat putranya tersebut menuju medan perang, mereka berjuang melawan musuh-musuh dan berhasil membunuh banyak pasukan Persia. Namun nasib bukanlah kepalang, syahid datang menjemput mereka. Al-Khansa yang mendengar keempat putranya syahid. Bukanlah air mata yang keluar dari pelupuk matanya, tapi tak lain adalah untaian kata, “Alhamdulillah, yang telah memuliakanku dengan syahidnya putra-putraku, semoga Allah SWT menjemputku dan mempertemukan aku dengan mereka dalam naungan rahmatnya di Firdaus-Nya”.

Dari rentetan kisah diatas dapat kita cermati peran penting seorang ibu dalam menanamkan karakter baik kepada anaknya hingga mengantarkan mereka kepada tingginya derajat kemuliaan di sisi Allah SWT. Dan doa Al-Khansa bertemu dengan putranya yang syuhada’ datang. Ia wafat pada masa permulaan Khalifah Utsman Bin Affan  r.a. pada 24 Hijriah.


Disarikan dari berbagai sumber


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari