Oleh: KH. Fawaid Abdullah*

Syaikh Abdurrahman Al Juzairy dalam Kitab karyanya, al Fiqh ala al Madzhab al Arba’ah menyampaikan, “Apabila seorang suami mentalak atau ‘mencerai’ istrinya ketiga kalinya, atau lazim dinamakan Thalaq Baa-in, maka tidak halal baginya (si suami) hingga si istri itu menikah dengan suami atau laki-laki lain. Laki-laki yang mempersunting atau menikahi istri suami pertama ini, dinamakan: Muhallil”.

Para ulama madzhab berpendapat sebagai berikut :

  1. Madzhab Maliki dan Hambali:

Menikahi istri dari suami pertama, karena ada maksud atau karena disuruh oleh si suami pertama itu dengan niat, supaya hanya karena biar halal dinikahi oleh suami pertama, maka hal demikian ini mutlak tidak boleh; maka pernikahan yang kedua (si muhallil) itu batal atau tidak sah.

Majalah Tebuireng
  1. Madzhab Hanafi:

Apabila pernikahan yang kedua itu dengan maksud supaya halalnya pernikahan suami pertama (sebab thalak Ba’in) itu sah pernikahan itu, dengan syarat:

  1. Suami kedua (si muhallil) tersebut akadnya harus shahih (sah), tidak boleh fasid (rusak).
  2. Wathi’ atau hubungan badan, aktifitas seksual antara suami muhallil dengan si sitri harus sampai menyebabkan mandi besar (sudah dukhul sempurna) dan harus ada unsur sengaja. Walaupun tidak ada syarat Inzaal (tidak keluar mani). Si istri tidak boleh dalam keadaan haid dan nifas.
  3. Si istri itu harus sudah selesai masa iddahnya dari suami kedua (muhallil).
  4. Terjadinya wathi’ atau dukhul (proses seksual yang sempurna)nya suami itu harus dengan yakin sesuai tempatnya yang semestinya, harus tepat pada farji (kemaluan) si istri, tidak boleh hanya mengkelabui, pura-pura, atau ke lubang lain, misalnya men-dukhul ke duburnya si istri itu.

 

  1. Madzhab Syafi’i :

Apabila seseorang perempuan yang telah di-Thalak Ba’in (cerai tiga kali), menikah dengan lelaki (muhallil) dengan niat supaya bisa halal dengan suami pertamanya, maka hal ini sah dan boleh dengan syarat:

  1. Suami kedua (muhallil) apabila mengakad si istri itu dengan akad nikah yang shahih (sah) dan tidak boleh akadnya fasid (rusak).
  2. Tidak disyaratkan adanya Tahlilul Lafdziy di dalam akadnya, seperti, si suami kedua itu mengatakan, “Zawwajtu Fulanata bi Syarthi Ihlaliha Li Muthallaq iha (saya menikahi perempuan fulanah itu dengan syarat muhallilnya untuk menggantungkannya)”.
  3. Suami yang kedua (muhallil) harus pernah bersenggama, dukhul atau setidaknya pernah merasakan sesuatu yang enak “lezat” dari pernikahan itu (kenikmatan seksual).
  4. Wathi’ atau hubungan badan tersebut harus sudah pernah dukhul, memasukkan ke dalam farji (kemaluan) si istrinya. Harus dipastikan bahwa hasyafah (kepala kemaluan) si suami nya benar-benar sudah masuk atau telah dukhul.

*Santri Tebuireng 1989-1999, Ketua Umum IKAPETE Jawa Timur 2006-2009, saat ini sebagai Pengasuh Pesantren Roudlotut Tholibin Kombangan Bangkalan Madura.


*Disarikan dari Kitab Dhaul Misbah fi Bayani Ahkam an Nikah, karya Hadratussyaikh Kiai Hasyim Asy’ari  dan Kitab Madzahib al Arba’ah karya Imam Abdurrahman Al Juzairy.