Sumber foto: malang.timesindonesia.com

Oleh: Fitrianti Mariam Hakim*

Ideologi transnasional -yang belakangan ini menjadi perbincangan serius bukan hanya di Indonesia, melainkan di belahan dunia yang lain- menjadi sebab pudarnya sikap bela terhadap negara. Pada sisi lain, bela negara selalu dikaitkan dengan militer. Konsep jihad dalam Al Quran dapat diterjemahkan sebagai sebuah kewajiban membela negara kepada semua kalangan. Adapaun Kewajiban tersebut dapat berupa menjaga persatuan dan kesatuan bangsa, membudayakan musyawarah, memperjuangkan keadilan, dan menjaga prinsip kebebasan.

Kewajiban bela negara dalam bentuk fisik dilakukan apabila negara memerintahkan untuk berjihad dan ketika musuh sudah mengepung suatu negeri. jika membela Negara Indonesia menjadi salah satu prasarat bagi tegak dan jayanya umat Islam dalam menjalankan nilai-nilai Islam dan kemanusian universal, maka jihad membela negara menjadi sebuah keharusan.

Pembicaraan mengenai bela negara di dalam Al Quran secara tekstual memang tidak ada yang secara tegas. Kebanyakan redaksi ayat-ayat Al Quran berbicara tentang jihad fii sabilillah (jihad di jalan Allah). Namun demikian, isyarat tentang pentingnya membangun suatu negara yang baik (baldatun thayyibatun), adil dan makmur disebutkan dalam QS. Saba [34]: 15 begitu tegas dan jelas.

لَقَدْ كَانَ لِسَبَإٍ فِى مَسْكَنِهِمْ ءَايَةٌ ۖ جَنَّتَانِ عَن يَمِينٍ وَشِمَالٍ ۖ كُلُوا۟ مِن رِّزْقِ رَبِّكُمْ وَٱشْكُرُوا۟ لَهُۥ ۚ بَلْدَةٌ طَيِّبَةٌ وَرَبٌّ غَفُورٌ

Majalah Tebuireng

Sesungguhnya bagi kaum Saba’ ada tanda (kekuasaan Tuhan) di tempat kediaman mereka yaitu dua buah kebun di sebelah kanan dan di sebelah kiri. (Kepada mereka dikatakan): “Makanlah olehmu dari rezeki yang (dianugerahkan) Tuhanmu dan bersyukurlah kamu kepada-Nya. (Negerimu) adalah negeri yang baik dan (Tuhanmu) adalah Tuhan Yang Maha Pengampun“.

Hal ini rasanya mustahil terjadi, jika tanpa disertai kecintaan suatu bangsa terhadap tanah airnya, dengan “jihad” atau kesungguhan dari rakyat dan para pemimpin untuk membela negara. Hal ini sebagaimana diisyaratkan dalam kisah Al Quran (QS. an Naml [27]: 34), betapa para petinggi kerajaan Saba’ sangat khawatir jika ada “serangan” dari luar yang memporak-porandakan negaranya. Maka segala daya upaya dilakukan. Hal itu karena mereka sangat mencintai negerinya. Dengan ungkapan lain, nasionalisme mereka sedemikian besar untuk membela negaranya.

Pada dasarnya setiap manusia pasti memiliki kecintaan kepada tanah airnya. Dengan kecintaan itu, membuat manusia merasa nyaman menetap di dalamnya, selalu merindukannya ketika jauh darinya, mempertahankannya ketika diserang dan akan marah ketika tanah airnya dicela. Dengan demikian mencintai tanah air adalah sudah menjadi tabiat dasar manusia.

Dalam kitab Dar al Kitab al ‘Arabi halaman 327, karangan Ali bin Muhammad bin Ali al Jurjani dijelaskan bahwa

اَلْوَطَنُ الْأَصْلِيُّ هُوَ مَوْلِدُ الرَّجُلِ وَالْبَلَدُ الَّذِي هُوَ فِيهِ

 “Al-wathan al-ashli adalah tempat kelahiran seseorang dan negeri di mana ia tinggal di dalamnya,”.

Maka dapat dipahami bahwa tanah air bukan sekadar tempat kelahiran tetapi juga termasuk di dalamnya adalah tempat di mana kita menetap. Dapat dipahami juga bahwa mencintai tanah air adalah berarti mencintai tanah kelahiran dan tempat di mana kita tinggal.

Di samping Mekah, kecintaan Rasulullah terhadap Madinah tidak terelakkan. Karena Madinah juga merupakan tanah air Rasulullah SAW. Di situlah Rasulullah menetap serta mengembangkan dakwah Islamnya setelah terusir dari Mekah. Di Madinah Rasulullah SAW berhasil dengan baik membentuk komunitas Madinah dengan ditandai lahirnya watsiqah madinah atau yang biasa disebut oleh kita dengan nama Piagam Madinah.

Karena kecintaannya yang mendalam dengan Madinah, ketika pulang dari bepergian, Rasulullah memandangi dinding Madinah kemudian memacu kendarannya dengan cepat. Hal ini dilakukan karena kecintaannya kepada Madinah. Sebagaimana yang disebutkan dalam hadis yang diriwayatkan oleh Imam Bukhari.

عَنْ أَنَسٍ أَنَّ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ كَانَ إِذَا قَدِمَ مِنْ سَفَرٍ فَنَظَرَ إِلَى جُدْرَانِ الْمَدِينَةِ أَوْضَعَ رَاحِلَتَهُ وَإِنْ كَانَ عَلَى دَابَّةٍ حَرَّكَهَا مِنْ حُبِّهَا

“Dari Anas RA bahwa Nabi SAW apabila kembali dari berpergian, beliau melihat dinding kota Madinah, maka lantas mempercepat ontanya. Jika di atas atas kendaraan lain (seperti bagal atau kuda, pen) maka beliau menggerak-gerakannya karena kecintaanya kepada Madinah,”.

Dijelaskan pula oleh Ibnu Hajar al Asqalani dalam kitabnya Fath al Bari Syarhu Shahih al Bukhari juz 3 halaman 621, bahwasanya hadis di atas menunjukkan keutamaan Madinah dan disyariatkannya mencintai tanah air serta merindukannya.

وَفِي الْحَدِيثِ دَلَالَةٌ عَلَى فَضْلِ الْمَدِينَةِ وَعَلَى مَشْرُوعِيَّةِ حُبِّ الْوَطَنِ وَالْحَنِينِ إِلَيْهِ

Bisa ditarik kesimpulan adalah bahwa mencintai tanah air selain karena tabiat dasar manusia, di samping itu ia juga  dianjurkan oleh syara` (agama) sebagaimana penjelasan yang telah dipaparkan di atas. Selain itu, mencintai tanah air sebagaimana tempat tinggal kita adalah  merupakan bentuk dari keimanan kita. Karenanya, jika kita mengaku diri sebagai orang yang beriman, maka mencintai Indonesia sebagai tanah air -yang jelas-jelas penduduknya mayoritas Muslim- merupakan keniscayaan. Inilah makna (arti) penting dari pernyataan

حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الإِيْمَانِ

 “Cinta tanah air sebagian dari iman”.

Agar kecintaan kepada negeri kita tidak sia-sia alias tanpa pahala, maka hendaknya kita menata niat dalam kecintaan dan pembelaan kita kepada negeri kita, yaitu hendaknya untuk Allah, untuk Islam, bukan sekedar untuk kebangsaan dan nasionalisme semata.


*Mahasantri putri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng