Sumber foto: http://bangkitmedia.com/hikmah-silaturrahim-lebaran-bersama-gus-sholah/

Oleh: KH. Latif Malik*

Tradisi mudik dan riyayan sudah menjadi bagian dari budaya baik bangsa. Tak perlu lah ambil pusing sebagian pihak yang melarang atau paling tidak banyak tanya mana dalil mudik, mengucapkan selamat berlebaran, dan lain-lain, yang datang belakangan ini. Cukuplah sebenarnya melakukan tradisi leluhur, sepanjang tidak ada dalil paten agama yang menentangnya, sebagai dalil kebolehan itu sendiri. Bahkan, dalam tataran tertentu, nilai baik budaya bangsa itu bisa jadi naik level kepada baik secara agama (fikih) yang selanjutnya berimplikasi mustahab atau bahkan wajib.

Lain dari itu, dalam melestarikan tradisi berlebaran dan mengamalkan ibadah wajib shilaturahim ada banyak kebaikan yang bisa kita petik dalam perjumpaan kita bersama keluarga, sanak saudara, handai tolan, dan tentunya orang-orang yang salih. Kisah berlebaran kami semalam (17 Juni 2018) mungkin salah satunya.

Ada transformasi nilai nilai kesalehan leluhur yang dituturkan melalui cerita bagaimana dahulu kala hubungan erat para pendahulu, baik secara ilmu ataupun nasab, yang oleh mereka mampu dikapitalisasi menjadi titik sambung perjuangan kepentingan umat.

Saat beliau KH Sholahudin Wahid bercerita sosok dan kiprah Hadaratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, Mbah Wahab, Mbah Hamid, Mbah Bisri, Mbah Romli, dan lain-lain. Tentunya beliau, saya yakin, tidak sedang ingin memamerkan dan membanggakan leluhur (التفاخر بالأنساب). Tetapi secara halus sebenarnya sedang mengajarkan kepada kami generasi muda yang hadir agar menjadikan kisah-kisah nyata leluhur di atas sebagai etos kejuangan dan platform dalam melangkah.

Majalah Tebuireng

Selanjutnya, ada pula suri teladan yang secara real time beliau amalkan dan kita saksikan. Betapa seorang tokoh nasional sekelas beliau berkenan meladeni umat dari berbagai kalangan tanpa membeda-bedakan.

Meskipun baru pulih dari perawatan kesehatan setengah bulan lalu, tidak menghalangi semangat beliau untuk menemui dan jagongi tamu dalam waktu yang lama. Untuk ukuran sowan riyayan, satu jam lebih beberapa menit sowan kami tadi malam sudah terhitung panjang, tapi kami masuk dalem (kasepuhan) di sana sudah ada tamu dan begitu kami keluar sudah banyak tamu yang antri di depan pintu ingin bergantian sowan kepada beliau dan tentunya dengan beragam tema terbahas tanpa ada yang ada membatasi.

Amanat melayani umat inilah sebenarnya nilai lain uswah hasanah yang harus kita petik sebagai estafet dari generasi ke generasi. Begitu melihat kami yang sowan masih terhitung keluarga (Tambakberas dengan Tebuireng masih terhubung dua sepupu/mindoan) maka beliau seketika memanggil putra beliau, Gus Billy, untuk bersama bercengkerama. Beliau telah mengambil contoh dari generasi sebelumnya, mencontohkan pula secara nyata kepada kami. Maka sewajibnya lah kita generasi muda nanti melanjutkan estafet suri teladan ini.

Sebenarnya kami masih ingin berlama-lama sowan untuk lebih banyak mengambil ilmu dari beliau, tetapi sikap tahu diri untuk berbagi waktu kepada tamu yang lain dan menghargai betapa mahalnya waktu beliau, maka kaidah yang harus kami terapkan, الأخلاق قبل العلم  (sikap budi pekerti lebih didahulukan sebelum sikap keilmuan).

Kami pun pamit undur diri dan memohon barokah doa. Tetapi beliau lebih memilih mengaminkan doa para tamu sehingga meminta salah satu dari kami memimpin doa. Akhirnya, kita menunjuk Gus Rozaq Sholeh untuk memimpin doa setelah sebelumnya saya berbisik agar disediakan doa khusus untuk shahibul bait (tuan rumah).

Untuk kesehatan dan panjang umur beliau Gus Salahudin Wahid. Mari kita semua menghadiahkan al Fatihah.


*Salah satu kiai muda Pesantren Tambakberas Jombang


*Sumber artikel: http://bangkitmedia.com/hikmah-silaturrahim-lebaran-bersama-gus-sholah/