sumber gambar: syahida.com

Oleh: Shella Carissa*

Aku adalah Ning yang kurang beruntung. Seorang Ning yang menikah lalu dijandakan begitu saja. Mantan suamiku, seorang Gus dari pesantren besar menceraikanku dengan alasan yang bagiku kurang masuk akal. Dia tak pernah mencintaiku. Tapi dalam benakku dan keluarga tentunya, persoalan cinta bisa hadir kapan saja. Dan yang terpenting dari keluarga kami adalah kehormatan serta nama baik.

Seusai konflik perceraian itu, aku bisa dibilang mengalami gangguan mental ringan. Aku sering mengurung di kamar, menangis, bahkan memutuskan untuk bercadar. Sebuah keputusan yang selalu ditolak oleh Abiku.

“Bercadar dalam pandangan Abi menurut beberapa ulama bukanlah budaya atau tradisi, pun syariat islam, melainkan budaya arab. Banyak jejak sejarah cadar yang mana salah satunya adalah menyamarkan diri wanita yang keluar pada malam hari dari laki-laki biadab, juga melindungi hidung agar tidak perih disebab tandus dan panasnya padang pasir daerah timur tengah kala itu.” Begitu kata Abi.

Lantaran kasihan dengan kondisiku, keluarga sepakat mengirimku ke kota untuk mengikuti kegiatan positif, salah satunya adalah mengikuti pelatihan Multimedia.

Majalah Tebuireng

Sebuah tempat yang mempertemukanku dengan seseorang dari masa lalu.

Banyak yang bilang aku adalah seseorang yang selalu beruntung dalam hidup. Yang mereka tidak tahu, untuk selalu terlihat baik dan tidak ada apa-apa sehingga dianggap beruntung, membutuhkan berbagai kekuatan untuk bisa menyembuhkan setiap luka dan menyembunyikan nestapa.

********

Bukhari Muslim namaku. Panggilanku Ari. Boleh juga Gus Lim, panggilan yang biasa diucapkan para santriku. Seminggu yang lalu adalah konflik batin besar yang baru kualami selama hidup. Yang mungkin bagi sebagian orang dianggap biasa saja. Kala itu adalah sebuah pengakuan, yang imbasnya masih kugetiri sampai hari ini.

Dialah Hawa. Al-Hawa Abdullah. Seorang adik kelas di masa MA-ku. Yang diam-diam pernah kucintai. Aku dan Hawa dipertemukan kembali dalam sebuah projek pembuatan film pendek bertema islamy. Juga video motivasi “Dari Santri Untuk Negeri.”

Mulanya kulihat dia berjalan bersama beberapa gadis di daerah yang lumayan dekat dengan tempat tinggalku. Setelah beberapa kali melihatnya, kutahu bahwa dia sedang mengikuti sebuah pelatihan Multimedia.

Kebetulan kala itu profesiku adalah seorang guru qiro yang mengajar di beberapa pesantren tetangga. Aku termasuk komunitas QPI (Qori Pesantren Indonesia). Dalam satu kesempatan, aku ditawari kawanku untuk menjadi pengisi sound dalam film pendek projek mereka. Tanpa ragu aku menerima. Jujur, selain karena ingin tahu keadaan Hawa sekarang, bayarannya lumayan besar. Yang saat itu, kupikir bisa menambahi biaya pernikahanku nantinya.

Ya, saat itu aku sudah berkomitmen dengan seseorang. Sebuah kepelikan yang membuat semua kisah ini tercipta.

*******

Ari. Seorang kakak kelas yang dulu pernah kusuka diam-diam. Kini dia hadir di hadapanku.

Di madrasah dulu kami berdua anggota osis dalam divisi yang sama, Pendidikan dan Budaya. Lantaran kesukaan yang sama tentang budaya indonesia kami seperti dua orang yang saling beruntung bisa bertemu dengan seseorang yang nyambung saat diajak bicara. Apalagi, pembicaraan itu mengenai hal yang kau sukai..

Kami dipertemukan lagi kala itu. Dalam satu kesempatan kami saling berbincang. Dalam obrolan itu, Ari terlihat ingin tahu lebih dalam akan keadaanku dan terus menggalinya. Akhirnya, kuceritakan tentang perceraianku.

“Aku turut berduka.”

“Tapi, Wa, boleh aku jujur sedikit sama kamu?”

“Aku menyukaimu.”

“Sebenarnya sejak lama. Tapi kupendam.”

“Jujur, sebenarnya aku iba dengan keadaanmu sekarang. Aku seolah bersangka akulah penyebabnya.”

“Cukup, Ri. Semuanya tidak memperbaiki keadaan. Apapun yang kamu katakan, entah memang benar mencintaiku atau hanya karena iba, semuanya tidak ada artinya.”

Seusai itu, Firda, Firdaus Syafa, kekasihku mengetahui pengakuan bakal calon suaminya sendiri. Dia terpuruk mengetahui kenyataan itu. Hingga suatu hari, dia berkesempatan  mengunjungiku bersama abangnya. Menuntut penjelasan.

”Jangan khawatir, Mbak. Kang Ari akan selalu menjadi milik jenengan.”

Sejujurnya pahit aku mengatakan itu. Sebuah kebohongan yang amat menyakitkan, tetapi terpaksa harus kulakukan demi kebaikan.

Amat kusesali kebodohanku yang telah mengungkapkan perasaanku kepada Hawa tanpa berpikir. Cepat atau lambat, Firda akan mengetahuinya. Entah siapa yang menjadi pengadu domba dilingkungan Komunitas ini. Sekilas saja kudengar kabar tentang Firda yang menemui Hawa.

“Kamu tidak usah khawatir. Aku bisa mengatasi semuanya. Yang terpenting sekarang adalah, kamu harus tetap pada komitmenmu dengan Firda.”

Hawa, tidakkah kamu tahu aku semakin terluka. Dan menggila saat kau membujukku untuk menemui Firda lalu meminta maaf padanya?

“Jadi, siapa yang kau cintai?” tanya Firda sekonyomg-konyomg. Kutahu dia juga menyimpan luka dalam atas kebrengsekanku.

“Yang pasti kau. Karena aku telah mengikat komitmen denganmu. Aku seorang lelaki, yang harus memegang apa yang telah diucapkannya, juga menepati apa yang telah dijanjikannya. Aku yakin aku cukup bertanggung jawab.”

Allah, benarkah ucapanku? Dustakah aku kepada Firda?

Hingga seiring waktu berjalan, seminggu kemudian setelah semuanya terjadi, aku semakin membatin dan membatin. Hingga kusadari sebuah kenyataan sesungguhnya, Hawalah yang aku cintai. Adapun Firda, adalah sebuah kecelakaan atas keputusanku yang tak kupikirkan matang dahulu. Tapi tentunya aku juga harus menjaga harkat martabat keluargaku. Itulah yang amat kami junjung; sebuah penepatan janji dan tanggung jawab.

Dan itulah yang paling kusadari, aku adalah seorang Gus yang dirundung murung hanya saja terlihat beruntung.

“Gus Lim amat beruntung. Dia ahli qiro, cerdas, lulusan kairo dan mendapat seorang Ning cantik rupawan nan bagus akhlaqnya.”

Itulah yang sering kudengar dari beberapa orang di komunitas yang mengagumi Ari. Sejujurnya aku papa mendengarnya. Hanya saja aku kuat-kuatkan diriku sendiri.

Suatu hari yang amat menyiksa, lantaran aku mendapat undangan pernikahan dari Ari, aku memutuskan keluar dari komunitas dan mengundurkan diri untuk menjadi pemain utama di projek berikutnya.

Aku pulang ke pondokku. Tanpa pikir memblokir semua akun sosmedku. Dan parahnya, sempat kutemui postingan feed instagram mantan suamiku, yang telah meminang seorang gadis. Menyakitkan. Seorang gadis yang ternyata adalah sepupunya Firda.

Undangan itu, Firdaus Syafa & Bukhari Muslim, kuremas hingga rusak serusak-rusaknya. Aku menangis sejadi-jadinya. Hingga ketukan Ummi menghentikan keterpurukanku.

Kau. Ari. Datang berkunjung. Yang mulanya enggan kutemui, lantaran terus dibujuk sebab kata Ummi, kau rela tidak ikut pemilihan dekorasi untuk pernikahanmu, demi menemuiku.

“Maaf. Amat sangat maaf. Tak pernah aku renungi dulu bahwa semuanya akan begini.”

Aku tahu Ari sungguh menyesal atas semuanya. Air matanya kulihat tiada habisnya bercucuran meminta ampun dariku.

“Cukup, Ri. Aku muak. Kamu adalah dusta yang membakar segala percaya.”

Tangis Ari menjadi. Tangis pilu seorang pria dewasa yang seperti tangisnya Adam ketika berdoa atas dosa-dosanya.

“Hei, apakah semuanya memang akan terjadi? Apa kau pikir aku tidak terluka melihatmu… melihatmu…”

“Kena mental maksudmu? Gangguan mental? Hah?”

“Ini. Untukmu. Semoga bahagia.”

Hawa, makin terluka aku melihat isi flashdisk pemberianmu. Sebuah film pendek yang dimulai dari masa Aliyah kita dulu, hingga berakhir sesuai porosnya; undangan pernikahanku dengan gadis lain.

Tahukah kau, Wa? Malam hari yang mana esoknya adalah pernikahanku, aku bermimpi indah. Bermimpi menaungi sebuah rumah, di mana ada seorang bidadari cantik yang menjadi pendampingku, yaitu kamu.

Dalam mimpi itu, kita mengundang 25 anak yatim sebagai agenda rutin bulanan. Kau memasak berbagai menu makanan; sayur, tempe, telor dan labu untuk hidangan anak yatim itu. Sedang aku tengah mendongengi mereka kisah 25 Nabi sembari menunggumu selesai memasak.

Amat indah mimpi itu, Wa. Yang saking indahnya aku tak tahu harus senang atau merasa bersalah, ketika esoknya, dalam terjagaku, aku mendengar teriakan histeris sang calon mertua yang mengabarkan kematian anak gadisnya. Firdaus Syafa.



*Mahasantri Ma’had Aly Kebon Jambu, Cirebon.