“Aku menulis catatan ini dengan tinta, bukan air mata. Sebab aku tahu, untuk membuatmu bahagia, yang perlu aku lakukan adalah melepas tulus dengan kepasrahan doa-doa. Berjanjilah untuk terus baik-baik saja, bersama orang berbeda.”

Aku tidak pernah meminta kamu melupakan masa lalumu untuk menjadikan aku yang pertama dan satu-satunya. Aku hanya ingin kamu membiarkan aku punya tempat yang baik di hatimu. Ruang yang tak akan pernah tergantikan karena orang baru, sekaligus ruang yang tak akan pernah terkalahkan oleh masa lalu.

Menjadi tempat untuk sebuah kepulangan dan kepergian. Sebuah tempat yang membuat aku yakin, bahwa aku masih dianggap ada di dunia ini. Di saat semua orang tak mampu menganggap keberadaanku, sedang kamu menganggap aku begitu istimewa di mata indahmu. Itu yang membuat aku begitu beruntung Tuhan membiarkan aku hidup hingga akhirnya bisa bertemu orang setulus kamu.

Terima kasih, telah mau bersama, terima kasih telah memilih aku sebagai orang baru yang mungkin (istimewa), meski akhirnya aku sadar, aku tak boleh begitu tinggi mempunyai harapan untuk suatu saat kita bisa berdua memperjuangkan kehidupan yang hakiki.

Majalah Tebuireng

***

Hingga akhirnya segala terima kasih itu menjadi syukur yang terus berkepanjangan selama aku mengingat pernah nikmat hidup dipedulikan orang seperti kamu. Beruntung, waktu itu aku sepakat pada diriku sendiri untuk tidak begitu membiarkan mimpiku melambung terlalu tinggi soal memiliki kamu. Hingga akhirnya, hari ini, aku masih baik-baik saja meski setiap hari dikikis oleh air mata sebuah pesakitan yang maha.

Dan barangkali aku perlu juga berterima kasih lagi padamu. Terima kasih telah membuat aku memilih mengurung diri dan menyelesaikan tulisan ini sendiri, dibungkam sunyi, dicabik sepi, diporak-porandakan gelap sendiri.

Terima kasih sudah menjadi bait utuh di antara kalimat yang berserakan di bawah meja tulisan, atau kata yang terbuang semenjak kita memutuskan untuk berjalan di arah berbeda tak seperjuangan.

Sejak malam itu, aku menumpahkan air mata di atas kertas kosong, meluapkan tinta di kedalaman mimpi, dan tentu, aku telah memarahi Tuhan untuk segala perasaan yang entah berantah ini. Harusnya aku tahu, bahwa untuk bersama tak perlu memaksa kemauan atau mengecam Tuhan dengan sebuah perjanjian.

Aku hanya ingin menyampaikan padamu, mari kita mulai dengan baik, tepat saat engkau membaca tulisan ini, berjanjilah untuk terus baik-baik saja dengan apa yang selama ini telah engkau simpan rapi dan selalu menjadi rahasia sendiri. Aku tak memintamu kembali pada seorang seperti aku, aku ingin kau tetap baik-baik saja, bahagia, dan mengizinkan aku menjadi teman baikmu, tak lebih dari harapan yang pernah kita tulis bersama, dulu.

Aku menulis dengan hati yang teramat dalam, meminta agar engkau membaca dengan hati yang begitu lapang, setidaknya untuk membiarkan tulisan ini tetap dibaca oleh ribuan mata yang mungkin (barangkali) merasakan hal yang sama denganku. Patah berkali-kali, bangun sendiri lagi, lalu berdiri tegak (mencoba punya harga diri).

Jika pun ini masih kegagalan, anggap saja ini adalah kegagalan yang lebih elegan, daripada aku tak menerima keputusanmu unutuk pergi karena orang lain dan ku rebut paksa dengan berbagai cara. Aku pikir, pasrah dan mendoakan yang terbaik untukmu adalah jalan paling suci yang harus aku biasakan meski dengan air mata dan hati yang lara.

***

Sejak air mata itu berbicara, aku berusaha bangun dari tak berdayaku. Biar, ku jadikan ini pembelajaran yang baik. Barangkali memang sudah saatnya aku mendekat pada Tuhan. Tidak menjadikan Tuhan sebagai musuh yang terus-terusan aku salahkan dan ku tinggalkan saat kehidupanku tak sesuai harapan.

Berkat tamparanmu, aku masih ingat soal kuasaNya. Tentang halaman-halaman yang terus akan menjadi tempat singgah dan berlalulalangnya semua orang dan bocah-bocah yang masih begitu suka dengan air hujan. Aku akan menjadi lebih baik, setidaknya untuk diriku dan Tuhanku.

Semoga kamu bahagia. Halaman itu akan terus ada, menjadi bukti paling nyata kita pernah sama-sama setia hingga akhirnya Tuhan mengirimkan orang berbeda yang mungkin terbaik untuk menjadi teman yang berjuang bersama denganmu. Di sini, aku akan terus memperbaiki diri, mencintai Tuhan lebih dari pada diriku sendiri. Mencintai sebuah proses, dan meyakini bahwa orang baik tak akan pernah di sakiti, kecuali ia begitu bodoh membiarkan hak hidupnya dirampas oleh orang lain, dan tak pernah merasa bahagia lagi.

Sekali lagi, yang terakhir. Terima kasih sudah menjadi guru terbaik dalam kehidupan sepanjang perasaanku yang jalang. Biarlah ku balas segala kebaikanmu dengan doa-doa kepasrahanku. Agar ku pinta pada Tuhan tentang kebahagiaanmu dengan tunduk dan permohonan berkali-kali dariku. Aku percaya, bahwa kehidupan akan terus memberikan yang terbaik, selama kita mau kebaikan itu sendiri. Dan aku ingin memulainya, sejak saat ini. Sejak engkau memilih pergi, sejak engkau menganggap ada orang lain yang lebih baik daripada aku. Sejak segala hal yang membuat aku sadar, bahwa untuk hidup tak cukup hanya dengan mencintai diri sendiri.


*Penulis adalah pemilik aktif akun IG @sabdawaktu