Oleh : Yayan Mustofa*

Mengartikan halal-haram sebagai doktrin agama dan simbol ketaatan kepada Allah tidaklah salah sepenuhnya memang. Misalnya kenapa arak itu diharamkan, begitu pula babi dan darah, sebagai ajaran agama yang tidak bisa diganggu gugat, tidaklah keliru. Adapun seseorang menggali kemadlaratan (dampak buruk) dari barang yang diharamkan adalah sesuatu yang lain, karena penggalian hikmah selalu mempunyai dua sisi, kadang benar dan kadang keliru.

Quray Shihab menjelaskan bahwa keharaman diatas adalah haram dzati (esensi). Dimana secara esensinya memang diharamkan oleh Allah untuk kita hindari. Keharaman lainnya adalah li gharihi (faktor lain), seperti barang hasil curian. Selaras dengan itu, Hamka dalam tafsirnya, memasukkan hasil korupsi, menjual azimat, atau seluruh yang merugikan orang lain sebagai barang haram li ghairihi.

Penginterjeksian haram li ghairihi dalam diri individu mempunyai dampak yang sangat besar jika diterapkan dalam kehidupan sehari-hari bagi umat Islam. Orang tidak akan berbuat curang terhadap yang saudaranya demi keuntungan pribadi, tidak ada mencuri uang, waktu, dan penindasan tenaga buruh. Karena doktrin memakan atau memanfaatkan hasil dari perbuatan demikian, tidaklah diperkenankan di sisi Tuhan.

Ibn Katsir melansir Hadits Nabi Saw yang berbunyi: “Wahai Sa’ad! Perbaikilah makanan engkau, niscaya engkau akan dijadikan Allah seorang yang terkabulkan doanya. Demi Tuhan, yang jiwa Muhammad ada dalam tangan-Nya, sesungguhnya seorang laki-laki yang melemparkan suatu suapan yang haram ke dalam perutnya, maka tidaklah akan diterima amalnya selama empatpuluh hari. Dan barangsiapa di antara hamba Allah yang bertumbuh dagingnya dari harta haram dan riba, maka api lebih baik baginya.”. Dalam hadist ini menunjukkan ada keterkaitan misterius antara halal-haram dengan hubungan ketuhanan dengan diterimanya doa.

Majalah Tebuireng

Walaupun penalaran semacam ini adalah penalaran logika talazum dalam pandangan Imam al-Ghazali, ada keterikatan sifat-mausuf (sifat dan yang disifati). Akan tetapi bukan berarti lantas dinafikan secara keseluruan. Gamblangnya, syarat do’a makbul itu adalah memperhatikan halal-haram. Tapi bukan berarti bahwa perhatian terhadap halal-haram menjamin secara pasti do’a dimakbulkan.

Dengan logika seperti itu, bukan kemudian kita bersikap acuh terhadap halal-haram, sebab tidak bisa menjamin terkabulkannya doa. Melainkan bagaimana usaha seseorang itu mencari sisi syarat lain yang belum terpenuhi. Karena halal-haram bukan satu-satunya syarat yang Allah ajukan terhadap hamba yang berdoa. Selain memberikan dampak sosial yang bagus karena masing-masing individu menjaga agar tidak menciderai yang lainnya demi menjaga dirinya dari halal-haram dan di sisi lain, memantabkan kedekatannya pada Allah.

Wira’i

Wira’i (ketaatan) seseorang selanjutnya oleh Imam al-Ghazali dihubungkan dengan halal-haram dan membaginya menjadi empat tingkatan. Pertama, wara’ al-adl, yakni orang yang meninggalkan keharaman yang nampak jelas (al-haram al-dhahir). Kedua, wara’ al-salihin, orang meninggalkan kehalalan yang mempunyai kemungkinan keharaman (syubhat). Ketiga, wara’ al-muttaqin, orang yang meninggalkan sesuatu yang jelas kehalalannya, karena khawatir akan terus membimbing pada kesyubhatan. Terakhir, wara al-siddiqin, orang yang meninggalkan seluruh kehalalan semata-mata karena Allah. Mereka merasa khawatir selaras dengan perjalanan waktu, kehalalan itu belum tentu menambah kedekatannya pada Allah. Ada pembandingan antara dominasi halal dan penciptanya.

Bayangkan jika dua sampai empat tingkatan wira’i ini mengakar pada kebanyakan individu di dunia ini, atau setidaknya di Indonesia. Kehidupan tidak lagi fokus dalam pengejaran materi belaka, tidak ada penindasan seseorang terhadap lainnya karena sebuah materi duniawi belaka. Alangkah harmonisnya hidup bersama bukan?

Berbeda dengan kasus wira’i yang pertama, halal-haram masih bisa direkayasa sedemikian rupa asalkan ada dalil pendukungnya, seperti kasus Qadli Abu Yusuf dalam menyiasati zakatnya. Beliau menyerahkan harta bendanya akhir tahun pada istrinya untuk menggugurkan zakatnya. Lantas seseorang menanyakan pada Imam Abu Hanifah tentang hukum tindakannya. Abu Hanifah menjawab, “Yusuf benar dalam segi fiqh, tapi akhirat mempunyai perhitungannya sendiri”.

Kalau dua sampai empat adalah segi idealis harapan terciptanya masyarakat harmonis dengan tidak terikatnya hubungan hati dengan materi duniawi. Kalau yang pertama, anda mau bayar berapa untuk penghalalan produk anda? Allahu A’lam!

*Kepala Divisi Balitbang Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng

Pernah belajar di Ponpes al-Amin Mojokerto, Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang dan Madina Institute, Cape Town, Afrika Selatan