Oleh: Alvian Iqbal Zahasfan*

Dalam kitab al-Bidayah wa an-Nihayah 10/191 karya Ibnu Kasir (w. 774 H) dikisahkan suatu kali Abdullah Ibnul Mubarak (w. 181 H) berangkat haji bersama rombongannya. Ketika melintasi sebuah negeri, burung yang bersama rombongan mati. Ia menyuruhnya agar dibuang ke tempat sampah. Rombongan berjalan di depan. Ketika melewati tempat pembuangan sampah beliau mendapati seorang perempuan keluar dari sebuah rumah yang tak jauh dari pembuangan sampah. Perempuan itu memungut bangkai burung tersebut lalu bergegas membawanya ke rumah.

Ibnul Mubarak mendatanginya seraya bertanya kejadian tadi. Ia menceritakan: “Aku dan saudaraku di sini tidak mempunyai apa-apa kecuali sarung ini, dan kami tidak mempunyai makanan kecuali yang dibuang ke tempat sampah. Bangkai telah menjadi halal bagi kami sejak beberapa hari yang lalu. Dulunya bapak kami kaya, tapi kemudian didzalimi, ditipu dan hartanya diambil lalu dibunuh.

Kemudian Ibnul Mubarak memerintahkan bendahara kafilahnya agar mengurangi bekalnya. Ia berkata kepadanya: “Berapa uang yang kamu bawa?”, “1000 Dinar” katanya. “Sisakan 200 Dinar buat kita pulang ke Merv! Selebihnya berikan kepadanya. Ini lebih utama ketimbang haji kita tahun ini”, Pinta Ibnul Mubarak. Sejurus kemudian mereka balik ke negerinya (Merv-Khorasan/Turkmenistan). Demikian riwayat Ibnu Kasir tanpa sanad.  

***

Majalah Tebuireng

Banyak versi terkait kisah haji Ibnul Mubarok. Ada yang mengisahkan yang berhaji adalah Ibnul Mubarok sendiri, lalu ia tertidur di Tanah Suci bermimpi melihat dua malaikat berdialog tentang berapa jamaah haji yang diterima tahun ini. Salah satu malaikat menjawab tidak satu pun dari 600 ribu yang hajinya diterima. Tetapi haji mereka semua akhirnya diterima Allah lantaran haji Muwaffaq Al-Iskafi As-Syami (si tukang sol sepatu dari Suria). Setelah bangun dari tidur, beliau bergegas meluncur ke Suria. Dia tanyai tukang-tukang sol sepatu seluruh Suria adakah yang mengenal Muwaffaq. Lelah mencarinya, akhirnya man jadda wajadd ia menemukannya.

Ibnul Mubarok bertanya kepadanya amalan apa yang menghantarkannya kepada derajat yang tinggi. Muwaffaq kaget ada apa kok tiba-tiba orang yang baru dikenalnya ini bertanya seperti itu. Ibnul Mubarok berjanji akan menceritakan mimpinya jika dia menceritakan amalannya. Muwaffaq bercerita aku ini tukang sol sepatu, sebagian hasil kerjaku saya tabung untuk naik haji selama bertahun-tahun. Ketika sudah kuhitung dan cukup untuk ongkos naik haji, aku berniat menunaikan kewajiban haji. Pas pulang kerja ke rumah aku menemui istriku sedang ngidam makan makanan (daging panggang) tetangga yang aroma masakannya menggoda selera makan istriku. Aku dimintanya ke sana guna meminta sekerat dua kerat daging panggang itu.

Di depan rumah si tetangga itu, Muwaffaq memohon agar si tetangga berkenan membagi masakannya. Si tetangga menjawab daging ini haram bagimu halal bagiku. Kuceritakan padamu jika kau pandang masakan ini halal bagimu maka akan kuberi kau. Aku memiliki anak-anak yang telah ditinggal mati ayahnya. Sembako kami sudah habis. Mereka diancam kelaparan dan diintai kematian. Untuk menyelamatkannya aku pergi mencari makanan. Kutemukan bangkai keledai/kambing/burung/ (banyak versi) kuambil sekerat dagingnya. Kubawa pulang dan kumasak sekarang.

Mendengar cerita itu Muwaffaq bergegas balik ke rumahnya. Diambilnya tabungan hajinya. Dikasikan semuanya kepada perempuan tadi. “Ambillah uang ini untukmu dan anak-anakmu”. Ia berpikir bagaimana mungkin saya berhaji sedangkan tetanggaku dililit kelaparan dan diancam kematian? Sejatinya “haji”(ku) berada di depan pintu rumahku, lalu kemana aku harus pergi!?

Menurut riwayat lain yang dimimpikan Ibnul Mubarok bukan Muwaffaq melainkan Said bin Muhafah. Tapi itu tidak sahih. Buka kitab Irsadul Ibad Ila Sabilir Rosad karya Zainuddin Al-Malaibari (penulis kitab Fathul Mu’in) hal. 259 Cetakan Darul Ma’rifah.

***
Konon setelah jamaah haji pulang, mereka berterima kasih kepada Abdullah Ibnu al-Mubarak, karena telah dibantu dan diajari tentang manasik haji selama di tanah suci. Beliau heran kok bisa terjadi sedangkan dia tidak jadi berangkat haji. Malam harinya beliau bermimpi ada cahaya lalu berkata “Tahukah kamu siapa saya? Saya adalah Muhammad Rasulullah kekasihmu di dunia dan pemberi syafaatmu di akhirat. Wahai Abdallah Ibnu al-Mubarak sesungguhnya Allah telah menerima sedekahmu atas perempuan itu lantas Dia mengutus malaikat menyerupai wajahmu supaya menunaikan ibadah hajimu dan bagimu 70 haji.” Riwayat ini ramai beredar di internet tanpa sanad. Sama seperti Ibnu Kasir dan Al-Malaibari juga meriwayatkan cerita Ibnul Mubarak ini tanpa sanad.

***

Dari kisah di atas kita dapat memetik pelajaran dari seorang tabiin yang kaya raya, pengusaha, dermawan, alim dan berakhlak mulia. Sejarah mencatat Ibnu al-Mubarak adalah orang yang dianugerahi Allah kekayaan yang melimpah. Setahun haji, setahun berperang di jalan Allah. Beliau haji berulang kali. Karena beliau kaya. Namun ketika di jalan berpapasan dengan orang miskin beliau tidak melanjutkan perjalanan ibadah hajinya, karena 80 persen bekalnya diinfakkan kepada orang miskin  dan 20 persen dipakainya untuk bekal kembali ke negaranya. Beliau menilai ibadah sosial (sedekah) lebih utama dibanding ibadah individual (haji sunnah).

Dalam kitab Mawahib al-Jalil karya al-Hattab ar-Ruaini (w. 954 H) diceritakan suatu ketika Imam Malik (w. 179 H) ditanyai mana yang lebih dia sukai antara haji dan sedekah. Beliau menjawab: “Haji, kecuali jika terjadi paceklik (krisis ekonomi)”.

Pada dasarnya haji adalah ibadah yang utama, terlebih haji yang pertama, karena itu wajib. Tetapi kewajiban haji bisa tertunda jika di sekiling kita masih ada orang yang diserang busung lapar. Seperti berbanding terbalik, saat ini, di negeri yang dengan muslim terbanyak di dunia, muslim Indonesia, masih berpikir, haji adalah segalanya dengan perangkat pahala dan janji-janji surga-Nya. Namun, terlebih, ada surga lain, yang jauh lebih penting dari pada haji berkali-kali.

Kesalehan sosial, kepedulian terhadap sesama, jauh tertinggal dengan kesalehan ritual. Seperti dalam konteks ini, haji berkali-kali sebagai salah satu bentuk kesalehan ritual menempati urutan lebih atas, ramai diperebutkan, dari pada membayar zakat maal sebagai penyucian harta sekaligus membantu sesama. Bagaimana Ibnu al-Mubarok dengan segala kemampuannya untuk menunaikan haji berkali-kali, atas dasar sosial ia sedekahkan untuk orang yang seketika itu hanya ia temui sekali dalam seumur hidupnya. Bagaimana jika ternyata juragan-juragan itu, berumah gedong, berhaji berkali-kali, tapi disekelilingnya ada banyak manusia papah dan berekonomi rendah.

Setiap tahun kuota haji bagi Indonesia adalah 168.800 jama’ah. Bahkan pemerintah menggunakan kuota haji negara lain yang tidak diambil sepenuhnya, untuk memberangkatkan jama’ah lain yang mengantri berikutnya. Terlebih, antrian haji sudah terisi hingga beberapa tahun kedepan. Begitu besar animo muslim Indonesia terhadap haji.

Kita bandingkan dengan zakat. Seperti yang dikemukakan Dr. Ir KH. Salahuddin Wahid dalam tulisannya “Menggemakan Kesalehan Sosial”, bahwa pada tahun 2014 jumlah Zakat Infaq Sedekah (ZIS) yang dihimpun LAZ/BAZ mencapai angka Rp 2,77 triliun. Target capaian pada 2015 adalah Rp 4,22 triliun. Jumlah itu, dikatakan Gus Sholah jauh dari potensi yang seharusnya bisa menapai 217 triliun per tahun. Bisa disimpulkan, ZIS belum mampu bersaing dengan haji sebagai kendaraan menuju surga Allah.

Secara tersirat kisah di atas dan data-data yang terpaparkan, juga mengajarkan hujjaj (orang-orang yang haji) Indonesia yang sudah haji dan ingin haji lagi agar memedulikan lainnya yang belum pernah menunaikan haji wajib. Karena mempertimbangkan untuk berangkat haji harus waiting list mengantri beberapa tahun, tujuh sampai sepuluh tahun.

Menteri Agama, Lukman Hakim pun, berujar, agar muslim Indonesia yang sudah berhaji untuk “tahu malu” karena mengambil hak orang lain untuk berhaji. Ia menggembor-gemborkan jargon “Haji Cukup Sekali” dan akan memilah-milah calon jama’ah haji berdasarkan usia. Semisal calon jama’ah yang belum baligh sebaiknya menunda hingga baligh.

Prinsip sosial dan tenggang rasa jamaah haji Indonesia mestinya “Haji cukup sekali, sedekah berulang kali” perlu diterapkan. Berbeda dengan konteks zaman Ibnu al-Mubarak di atas, yang bisa haji berulang kali dan sedekah berkali-kali, karena di jamannya haji tidak perlu daftar di suatu instansi.

Tentu bukan berarti haji berkali-kali adalah hal yang buruk. Namun alangkah baiknya, antara kesalehan ritual dan kesalehan sosial, mampu berimbang, sehingga tujuan Islam yang dibawa Rasulullah, benar-benar mampu memakmurkan umat dan membantu mengentaskan kemiskinan yang melanda negeri ini.

*Candidat Doktor Muda di Jurusan Tafsir dan Akidah, Universitas Dar El Hadith El Hassania, Rabat Maroko dan Rais Aam PCINU Maroko