Tiga artis pemeran dalam film “Ipar adalah Maut”. (sumber: pasundannews)

Oleh: Yuniar Indra*

Baru-baru ini viral sebuah film garapan Hanung Brahmantio yang berjudul “Ipar adalah Maut”. Film yang dibintangi oleh Deva Mehenra, Davina Karamoy, dan Michelle Ziudith ini banyak mendapat perhatian publik. Cerita ini diangkat dari kisah yang dibagikan oleh @elizasifaa di media sosialnya. Cerita yang melibatkan dua kakak beradik yang bernama Nisa dan Rani (samaran). Nisa ini berkarakter lembut dan kalem. Sementara Rani itu sosok yang ceria dan humoris. Prahara rumah tangga Nisa dan Aris geger karena hubungan gelap suaminya (Aris) dengan adik kandung Nisa, Rani. Yang tak lain adalah saudara ipar dari Aris.

Menariknya sang aktor utama, Deva Mahenra saat diwawancarai dalam sebuah podcast, ia mengatakan bahwa ia kaget bahwa ada sesuatu yang menakjubkan. “Film itu kan selain medium kita untuk hiburan, ada lah sesuatu yang bisa dibawa pulang. Ipar adalah maut bahwa saya baru paham kalimat itu ada dalam sebuah hadis. Sehingga dari berabad-abad lalu kita sudah dihimbau untuk hati-hati, namun sekarang kita mulai lupa.” Begitu katanya. Lalu, apakah memang hadis tersebut benar-benar ada?

Ya, hadis yang dimaksud dalam judul film tersebut adalah;

 إيَّاكُمْ والدُّخُولَ علَى النِّساءِ، فقالَ رَجُلٌ مِنَ الأنْصارِ: يا رَسولَ اللَّهِ، أفَرَأَيْتَ الحَمْوَ؟ قالَ: الحَمْوُ المَوْتُ

“Janganlah kalian menemui para wanita.” Ada seorang Anshar bertanya; “Wahai Rasulullah, bagaimana pendapat anda dengan saudara ipar?” Beliau menjawab: “Saudara ipar adalah kematian.” 

Majalah Tebuireng

Usai melakukan penelusuran dalam Gawami’ al-Kalim hadis “Ipar adalah Maut” diriwayatkan oleh sahabat ‘Uqbah ibn ‘Amir Al-Juhan. Riwayat jalur ‘Uqbah dijumpai sebanyak 38 jalur. Dari 38 jalur itu 20 jalur (51,3 %) bernilai sahih, 8 jalur (20,5%) bernilai Hasan, 10 jalur (25,6 %) bernilai Daif. Dengan melakukan takhrij (pelacakan sumber buku hadis) ditemukan bahwa hadis tersebut ditemukan dalam sumber utama rujukan hadis. Yakni, Sahih al-Bukhari, Sahih Muslim, Sunan al-Tirmidzi, Sunan al-Nasa’i, dan Musnad Ahmad.

Baca Juga: Memetik Pesan dalam Film Ipar adalah Maut

Secara bahasa teks hadis tersebut sudah jelas, tidak perlu ada takwil, sebab awal kalimatnya berupa larangan Nabi agar tidak masuk sembrono ke dalam rumah perempuan. Meskipun perempuan tersebut adalah saudara ipar. Hingga Nabi menyamakan kedudukan ipar sama dengna kematian, yakni penyebab celaka/maut.

Al-Tirmidzi berkomentar bahwa kemakruhan berdekatan dengan ipar itu sejalan dengan hadis Nabi,

لاَ يَخْلُوَنَّ رَجُلٌ بِامْرَأَةٍ إِلاَّ كَانَ ثَالِثَهُمَا الشَّيْطَانُ

Ia memaknai kata “al-Hamw” adalah saudara laki-laki suami yang dimakruhkan untuk berduaan dengannya. Al-Darimi memaknai “al-Hamw” adalah kerabat suami. Laits ibn Said dalam Sahih Muslim mengatakan bahwa “al-Hamw” itu saudara laki-laki suami, atau yang semakna dengannya dari pada kerabat-kerabat suami seperti anak paman (keponakan suami).

Muhammad Amin Al-Harari dalam Syarh Sahih Muslim mengomentari bahwa mati yang dimaksud dalam hadis tersebut adalah matinya agama bisa berupa perceraian atau perzinahan. Ibnu Hajar dalam Fath al-Bari mengatakan bahwa “mati” bisa secara hakiki, dikarenakan hukuman mati dirajam, atau “mati” secara majas, yakni mati agama. Hal serupa juga tertulis dalam Irsyad al-Sari syarh Sahih Bukhari karya Al-Qasthalani, Hukum ini tidak hanya tertuntut pada seorang lelaki yang akan bertamu dengan istri saudaranya saja, begitupun sebaliknya.

Salah seorang cendekiawan dalam akun instagramnya @ismaelalkholilie memberi uraian panjang tentang prosedur bersikap dengan saudara ipar. Ia mengutip pendapat Habib Alwi Alaydrus dalam kitab I’la’ al-Shaut bi Bayani Hadis al-Hamw al-Maut, bahwa hendaknya sikap antar saudara ipar itu;

pertama, tidak ada khalwah (berduaan) di manapun entah rumah, mobil, dapur, dan lain sebagainya, kedua, saudara ipar perempuan tidak berhias dan memakai parfum, atau hal lain yang dapat membuka godaan nafsu dan setan, ketiga, saudara ipar perempuan tidak menampakkan kecuali wajah dan telapak tangan saja. Selayaknya memang bagi orang yang berkecukupan untuk tinggal bersama istrinya berjarak dari kerabat-kerabatnya yang bukan mahram dalam rumah yang terpisah. Jika memang tidak berkecukupan dan harus tinggal serumah, maka tidak masalah dengan syarat dan batasan harus terpenuhi.

Hadis tersebut tidak melarang kita untuk berbuat baik kepada saudara ipar, tidak melarang kita untuk tetap hormat pada saudara ipar, atau perhatian dan mengasihinya. Hadis ini juga tidak dapat dijadikan dalil untuk mencurigai, memusuhi dengan ipar-ipar kita. Larangan yang seperti ini untuk menjaga kedamaian hubungan suami istri.

Para ulama sepakat bahwa inti dari pada hadis tersebut adalah larangan berduaan dengan selain mahram. Karena khalwah itu adalah awal mula bencana. Sebagaimana kata Nabi jika lelaki dan perempuan berduaan, maka yang ketiga adalah setan. Jadi, yang berbahaya secara nyata itu adalah kondisi khalwah (berduaan), bukan ipar itu sendiri. Sementara fitnah; pelecehan, perzinahan, perselingkuhan yang ditimbulkan oleh khalwah itu tidak hanya dengan pintu “ipar” saja.



*Mahasantri M2 Mahad Aly Hasyim Asy’ari Jombang.