KH. Salahuddin Wahid (Foto: Kopi Ireng)

Oleh: Fathur Rohman*

Sekitar tiga atau empat bulan yang lalu, kami diundang untuk rapat di ndalem kasepuhan Pesantren Tebuireng bersama Gus Sholah, sebenarnya undangan itu bukan murni ditujukan kepada saya, tetapi kepada dua unit di bawah Pesantren Tebuireng yaitu unit Balai Diklat dan unit Pusat Kajian Pemikiran Hadratussyaikh KH. Hasyim Asy’ari.

Saya pribadi hadir sebagai bagian dari anggota tim Balaidiklat Tebuireng, undangan rapat itu pukul 14.00 Wib. Saya datang tepat pukul 14.00 Wib. Beliau sudah siap dan hadir mendahului saya di ruang tamu ndalem kasepuhan, beliau memang dikenal sebagai pribadi yang on time, disiplin waktu yang umumnya saya ketahui ketika ada kegiatan rapat atau acara lain yang melibatkan kehadiran beliau.

Pada pertemuan itu, saya mengira kalau saya akan jadi pendengar saja yang mendengarkan laporan hasil kerja dari tim kami di Balaidiklat dan dari tim Pusat Kajian, serta mendengarkan masukan-masukan atau nasihat-nasihat beliau setelah masing-masing tim melaporkan hasil kerjanya, ternyata saya salah besar.

Dalam ruang pertemuan itu kami dimintai untuk menyampaikan pendapat kami, diantara kami yang berkenan mengutarakan pendapatnya bergantian mengutarakan pendapatnya, beliau mendengarkan kami dengan seksama dan sesekali bertanya kepada kami untuk mempertajam pemahaman beliau akan pandangan yang kami sampaikan, tidak jarang pandangan beliau berbeda dengan pandangan kami sebagaimana yang saya rasakan saat itu, ketika saya menyampaikan pandangan saya.

Majalah Tebuireng

Beliau sesekali bertanya untuk mempertajam pandangan saya, beliau mendengarkan dengan seksama sampai selesai walaupun saat itu, saya merasa banyak sekali pandangan yang berbeda dengan beliau, beliau tidak sedikitpun mematahkan arguman kami, beliau menerima perbedaan pandangan itu, serta menyimpulkan beberapa titik sebab terjadinya silang pendapat yang muncul.

Setelah pertemuan itu berjalan beberapa lama, sebelum ditutup tiba-tiba untuk pertama kalinya saya mendapatkan tugas langsung dari beliau di hadapan banyak orang dengan kurang belih beliau berkata; nanti yang mencatat hasil pertemuan kita hari ini adalah saudara Fathur Rohman.

Betapa bingung dan kaget saya mendapat tugas itu, karena memang saya tidak mencatat apa pun apalagi merekamnya, namun alhamdulillah teman-teman yang baik yang hadir saat itu yang sudah biasa rapat dengan beliau membantu saya mengirimkan bahannya kepada saya untuk kemudian saya narasikan dalam bentuk laporan notulensi rapat.

Keesokan harinya tugas dari beliau pun segera saya tuntaskan, kalau tidak salah hasil rapat itu saya narasikan menjadi sekitara 10an lebar lebih, kemudian selepas Dzuhur saya kirimkan kepada beliau, saya khawatir kalau keduluan beliau menagihnya.

***

Sekitar empat tahunan lalu saya diajak oleh Wakil Rektor II Unhasy ke rumah kasepuhan Pesantren Tebuireng untuk ikut menemui tamu-tamu dari Negara Lebanon. Dalam pertemuan itu saya diminta menjadi juru bicara (penerjemah) yang mewakili Unhasy, pertemuan itu berlangsung beberapa jam, kemudian setelah acara itu berakhir, Almarhum KH. Salahuddin Wahid tiba-tiba menghampiri saya, beliau bertanya tentang nama saya dan meminta nomer handphone saya.

Betapa kegetnya saya ketika ditanya nama saya dan dimintai nomer handphone oleh beliau, karena memang sebelumnya mungkin saya termasuk orang yang hampir tidak pernah intents berkomunakasi sama beliau. Seketika itu, saya sampaikan; mohon maaf yai, nama saya Fathur Rohman dan nomer saya akan saya kirim ke nomer hp yai, biar yai tidak perlu repot-repot mencatat nomer saya. Karena saya tidak bisa membayangkan kalau dilihat orang bila saya mengatakan nomer hp saya dan beliau mengetik di hp beliau, menurut saya kurang sopan, santri kok mendikte kiai.

Sesegera mungkin saya langsung kirim nomer hp saya ke beliau dengan memberi nama lengkap saya. Saya pun berpikir; betapa tidak ada jarak, sekat, atau pembatas antara beliau yang semua orang telah kenal sebagai orang yang terhormat, tidak hanya dihormati di Unhasy karena sebagai Rektor, di Pesantren Tebuireng karena sebagai pengasuh, tetapi juga dihormati di tingkat nasional sebagai tokoh panutan bangsa dengan orang yang ada di hadapan atau di dekat beliau.

Saat itu saya merasa bahwa beliau sedang mengajari saya tentang karakter seorang pemimpin yang baik, yang tidak meminta dihormati, tidak canggung, tidak malu-malu, tetap bersikap rendah hati atau tetap tawaduk walaupun telah dihormati oleh banyak orang.

Mungkin itulah momen pertama bagi saya beliau mengenal saya, walaupun saya sudah lama mengenal beliau karena kiprah dan prestasi beliau yang luar biasa.

Allahummaghfirlahu warhamhu waafihi wa’fu’anhu. Amin.

*Dosen PBA Unhasy Jombang.