ilustrasi: arindan/tbi3

Oleh: Bela Fataya Azmi*

Belakangan ini masyarakat media sosial dihebohkan oleh pernyataan seorang influencer sekaligus publik figur Gita Savitri, atau yang dikenal dengan nama Gitasav. Menanggapi komentar seorang pengikutnya di media sosial perihal wajahnya yang tampak awet muda, Gita Savitri mengungkap pernyataan bahwa pilihan untuk tidak punya anak atau childfree-lah yang menjadikan dirinya tampak lebih muda dan cantik dibandingkan umurnya. Tidak mendengar rengekan bayi, tidak perlu keluar uang untuk keperluan anak, hingga bisa mempercantik diri menurutnya adalah alasan mengapa ia bisa tampak awet muda. 

Not having kids is indeed natural anti aging. You can sleep for 8 hours every day, no stress hearing kids screaming. And when you finally got wrinkles, you have the money to pay for botox,” tulis Gita Savitri dalam akun instagramnya. 

Pernyataan tersebut mengundang berbagai komentar masyarakat media sosial. Mulai dari masyarakat yang menyetujui, menolak, hingga mengkritik habis-habisan pernyataannya karena dianggap sebagai sesuatu yang egois, tidak paham agama, dan menyakiti hati banyak perempuan yang menjadi ibu. Beragam konten tandingan berupa kritikan hingga bullying terhadap Gita Savitri pun bermunculan. 

Namun, dibalik keributan ini ada sebuah masalah yang sebenernya lebih menjadi fokus perhatian kita bersama: Mengapa konteks childfree ini menyeruak dalam masyarakat? Apakah memiliki anak di Indonesia adalah sebuah beban berat hingga perempuan yang menjadi ibu seringkali kehilangan kecantikan, bahkan hingga kehilangan jati dirinya sendiri? Sehingga kemudian muncul ketakutan dan keputusan untuk hidup bebas tanpa adanya anak. 

Majalah Tebuireng

Perempuan karir: tanda kebebasan atau tantangan baru? 

Seperti yang kita ketahui, pemikiran primitif termasuk masyarakat patriarki masih menempatkan perempuan dalam ranah domestik semata, sedangkan laki-laki bertugas mencari nafkah (ranah publik). Namun, dalam konteks masyarakat hari ini tentu pembagian peran ini tidak bisa lagi dilihat secara kaku. Perempuan bekerja dalam ruang-ruang publik bukan lagi menjadi barang baru. Perempuan/ibu yang menjadi buruh, pekerja kantoran, guru, dokter, hingga terjun ke dunia politik telah lumrah kita temukan. 

Dibalik kebebasan perempuan yang tidak lagi dikungkung untuk sekadar menjadi ‘penunggu rumah’, terdapat tantangan baru bagi perempuan, terutama yang juga berperan sebagai istri dan ibu. Ketika perempuan dipersilakan untuk turut hadir dalam ruang publik dan berkarir sebagaimana laki-laki pada umumnya, muncul polemik baru dalam masyarakat yang kental akan budaya patriarki. Bekerja di luar rumah boleh, tetapi pekerjaan dalam ranah domestik—termasuk pengasuhan anak—tetaplah dibebankan pada perempuan, bahkan tetap dinilai sebagai perkerjaan utama mereka. 

Peran pengasuhan dan ranah domestik sendiri bukanlah pekerjaan mudah. Ketika dilakukan hanya seorang diri (baca: Ibu) tentu akan terasa sangat berat. Terlebih ketika suami atau bapak berlepas diri dari peran tersebut. Tak ayal kemudian kita jumpai istilah fatherless atau father hunger, yakni ketidakhadiran bapak secara fisik dan psikologis dalam pengasuhan anak. Berbagai masalah depresi dan stres para ibu—terutama pasca melahirkan (baby blues)—karena kurangnya support system dalam keluarga juga seringkali kita baca atau dengar belakangan ini. 

Belum lagi ketika perempuan memilih untuk memperjuangkan haknya dan bekerja di ruang-ruang publik, namun, tidak dibarengi dengan pembagian yang adil terkait pengasuhan dan peran-peran domestik tadi. Istri atau Ibu tetap yang bertanggung jawab penuh akan peran-peran tersebut. Di sinilah ketidakadilan gender kembali hadir, potensi apa yang disebut oleh Mansur Fakih sebagai ‘beban kerja ganda’ kembali mendiskriminasikan perempuan.  Ada sebuah aturan tak tertulis agar sebelum dan setelah atau bahkan selama perempuan bekerja di ruang publik, dia juga harus mengerjakan semua pekerjaan domestik (termasuk pengasuhan) seorang diri. 

Dalam masyarakat kita, laki-laki yang ikut berperan dalam ranah domestik dan pengasuhan seringkali dipuji sebagai “laki-laki hebat dan penuh dedikasi” atau “membantu pekerjaan ibu”. Term ini sangat jarang atau mungkin tidak pernah dilekatkan pada perempuan yang melakukan pekerjaan domestik dan pengasuhan, seakan peran ini memang tanggung jawab kodrati mereka. Bahkan, perempuanlah yang pertama kali dipertanyakan ketidakhadirannya ketika masyarakat melihat sosok laki-laki yang mengerjakan pekerjaan domestik atau pengasuhan. 

Bisa jadi, beban berat menjadi perempuan (istri dan ibu) ini yang menjadikan banyak perempuan takut untuk memiliki anak. Banyak perempuan yang takut pekerjaan—dan tentunya tekanan hidupnya akan bertambah ketika harus mengurus anak sendirian, tanpa dibarengi dengan kerjasama dan komunikasi yang baik dengan suami. 

Atas dasar permasalahan di atas, daripada mempertanyakan keputusan childfree Gita Savitri, terlebih larut dalam kritikan menjurus bullying di media sosial, jauh lebih elok jika kita mulai mengevaluasi diri dan lingkungan kita. Turut andil mempersiapkan lingkungan pengasuhan anak yang adil gender sehingga tidak kehilangan peran-peran orangtua—baik bapak maupun ibu, dengan pembagian peran tanpa memberatkan salah satu pihak. Pembagian peran yang terbuka akan komunikasi dan diskusi yang nyaman antara anggota keluarga. Dan tentunya, lingkungan yang tidak menjadikan perempuan, terutama ibu kehilangan dirinya. 

*Dosen di Universitas Amikom Yogyakarta.