Dalam membincangkan persoalan gender, selalu muncul beragam perspektif yang mencoba menelaah apa konten dan esensi gender itu sendiri bagi setiap manusia dan hubungannya dengan kondisi sosial yang sedang berkembang.

Ternyata beragam perspektif tentang gender berdampak pada perkembangan kondisi sosial, yang pada gilirannya akan mensubordinasikan peran wanita, atau memprioritaskan wanita, bahkan menyetarakan wanita. Perspektif beragam tersebut yang begitu memiliki dampak langsung timbul dari perspektif yang didasari dalil agama.

Perspektif mengenai keagamaan tersebut, secara khusus Manteb’s (Mahasiswa Alumni Tebuireng di Surabaya) dan Kopri PMII Cabang Surabaya mengadakan diskusi/dialog interaktif  di Museum NU (28/04), dengan tema, Refleksi Hari Kartini; Gender dalam Perspektif Tafsir Tradisional dan Kontemporer. Dengan moderator Moch. Andre Agustianto, Lc mantan Ketua TC (Tebuireng Cairo), dan dengan narasumber, Prof. Hj. Istibsyaroh, BA, MA, Atik Hidayatul Ummah, dan Prof. H. Ismail Nawawi.

Dalam dialog tersebut muncul argument, bahwa wanita tidak dapat disetarakan oleh pria, dalam posisi tertentu, terlebih dalam posisi  kepemimpinan. Argument tersebut diungkapkan oleh Prof. H. Ismail Nawawi seorang professor ekonomi  perusahaan dan sekaligus alumni Tebuireng.

Di satu sisi Prof. Ny. Hj. Istibsyaroh beranggapan, ada beberapa dalil Qur’an yang menyatakan bahwa ukuran derajat wanita dan pria itu sama di mata Allah SWT. Ada pun dalil ar-rijalu qowwamuna ‘ala an-nisa (QS: An-Nisa ayat 34), bukan lah menyatakan peran pria selalu berada diatas wanita, tetapi jika dalam konteksnya wanita memiliki kelebihan (pengetahuan atau harta) yang tidak dimiliki oleh pria. Maka secara otomatis wanita memiliki peran mengayomi pria.

Majalah Tebuireng

“Gender bukan sex, tetapi gender adalah konstruk sosial”, ujar pengasuh PP. Urwatul Wutsqo itu. Sehingga gender tidak boleh dipahami secara parsial, namun dibutuhkan pemahaman yang komperhensif mengenai gender dan konteks sosial yang berkembang.

Dari dua argument tersebut, Atik Hidayatul Ummah, mengungkapkan, agar tidak terlalu tergesa-gesa dalam menafsiri potongan ayat Qur’an atau Hadits, seyogyanya kita merasionalisasikan akar hikmah dibalik dalil Qur’an tersebut. “kita seharusnya lebih bijak dalam menafsiri potongan ayat Qur’an terutama tentang gender”. Atik menghubungkan dengan persoalan warits yang terkesan wanita tidak menjadi prioritas. “Dalam hal warits, wanita yang tidak mendapat bagian banyak bukan berarti dikucilkan, akan tetapi kalau dirasionalkan, uang yang diterima oleh pria akan kembali ke wanita, karena pria terbebani kewajiban menafkafi harta kepada istri, sedangkan istri tidak terkena kewajiban”, ujar Atik yang dahulu pernah menjabat Ketua Kopri PMII Jawa Timur 2013-2014.

Jadi, pada dasarnya, perspektif yang bermunculan mengenai gender baik dari sudut tradisionis yang cenderung mengekang peran wanita, atau sudut kontemporer yang cenderung abai terhadap nilai etika adiluhung wanita pada adat setempat , yang lebih condong pemuasan kemauan pasar. tetapi, bagaimana mempertemukan perspektif tradisionis dan kontemporer dalam satu bingkai yang berkesinambungan. Sehingga wanita memiliki peran yang tak kalah dengan pria dan tidak keluar dari kultur yang dipegang. (Muft)