Sumber foto: http://www.hukumonline.com

Oleh: Aulia Rahmah*

Bicara soal sejarah bangsa, maka yang ada dalam benak kita yakni peristiwa-peristiwa pertumpahan darah. Dimana terjadi perebutan kekuasaan antara kubu penjajah dengan kubu yang terjajah. Negeri kitapun tidak terlepas dari peristiwa itu. Banyak peristiwa berdarah yang telah dilalui para pendahulu-pendahulu kita. Salah satunya yakni tragedi 10 november di Surabaya, yang kemudian dikukuhkan sebagai Hari Pahlawan.

Bila kita menengok kebelakang, mengenang sejarah perjuangan para pahlawan dalam mempertahankan bumi pertiwi ini tidaklah cukup jika hanya dibalas dengan puja-puji dan materi. Karena segalanya telah mereka korbankan demi negeri, baik harta maupun nyawa. Tidak ada rasa gentar sedikitpun dari mereka untuk mengakhiri pendholiman pada saat itu.

Mengingat kejadian 70 tahun silam, ketika tentara Inggris mulai melancarkan aksi besar-besaran di Surabaya, dengan mengerahkan sekitar 30 ribu serdadu, 50 pesawat terbang dan beberapa kapal perang. Bumi Surabaya dihujani bom, ditembaki secara membabibuta dengan meriam dari laut dan darat. Ribuan penduduk menjadi korban, banyak yang meninggal dan lebih banyak lagi yang luka-luka.

Semangat arek-arek Suroboyo yang pada saat itu telah dibakar oleh Bung Tomo, menyulap bambu runcing seakan menjadi nuklir. Ketika Surabaya telah dibumi hanguskan oleh Inggris, rakyat tidak tinggal diam. Banyak penduduk dari luar kota Surabaya turut terjun ke medan tempur. Mereka bersatu untuk menghabisi para kolonial yang menginginkan Indonesia dijajah kembali. Di Surabaya juga dikibarkannya bendera Belanda (Merah Putih Biru) di hotel Yamato telah melahirkan Insiden Tunjungan, yang menyudut berkobarnya bentrokan-bentrokan bersenjata antara pasukan Inggris dengan beraneka ragam badan perjuangan yang dibentuk oleh rakyat dan juga organisasi-organisasi perjuangan telah dilahirkan oleh beraneka ragam golongan dalam masyarakat, termasuk di kalangan pemuda, mahasiswa dan pelajar. Badan-badan perjuangan itu telah muncul sebagai manifestasi tekad bersama untuk membela republik yang masih muda, untuk melucuti pasukan Jepang, dan menentang masuknya kembali kolonialisme Belanda.

Majalah Tebuireng

Pertarungan terjadi kurang lebih selama 4 tahun, dimana para pahlawan-pahlawan Indonesia tak pernah gentar dan tetap kukuh memperjuangkan kemerdekaan yang diproklamasikan sejak tahun 1945. Kemudian pada tahun 1949 terjadilah penyerahan kedaulatan oleh tentara sekutu kepada Indonesia, sejak itulah bangsa Indonesia benar-benar bebas dari penjajahan.

Makna Hari Pahlawan

Kata “pahlawan” berasal dari Bahasa Sanskerta “phala-wan” yang berarti orang yang dari dirinya menghasilkan buah (phala) yang berkualitas bagi bangsa, negara, dan agama. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) pahlawan adalah orang yang menonjol karena keberaniannya dan pengorbanannya dalam membela kebenaran, atau pejuang yang gagah berani. Sedangkan aktivis ’98 Soe Hoek Gie mengatakan bahwa pahlawan seorang yang mengundurkan diri untuk dilupakan seperti kita melupakan yang mati untuk revolusi. Penulis ternama, Mahbub Junaidi mengartikan kepahlawanan adalah sikap selalu siap membunuh dan dibunuh. Baginya, mereka adalah zamrud di tengah-tengah batu kali. Dari berbagai definisi di atas, hari pahlawan berarti memberikan perhormatan kepada merka, mempelajari sejarah perjuangan mereka, dan mengambil pelajaran yang dapat diaplikasikan dalam kehidupan.

Memperingati hari pahlawan tidaklah cukup jika hanya dengan seremonial saja. Perlu pergerakan yang nyata dari para pemuda Indonesia khususnya, untuk menggelorakan kembali semangat para pahlawan yang telah gugur. Bukan dengan angkat senjata seperti dulu kala, melainkan dengan prestasi-prestasi gemilang yang dapat mengharumkan nama bangsa. Semangat para pemuda yang dapat memberi kontribusi positif untuk bangsa dalam menghadapi polemik-polemik yang tak kunjung reda.

Pemuda Indonesia harus mempunyai nilai juang yang tinggi, tidak untuk berjuang melawan penjajah, melainkan untuk melawan kebodohan. Mampu memanfaatkan sumber daya alam dan kemampuan yang dimiliki untuk mengembangkan potensi yang ada di dalam diri. Berawal dari diri sendiri maka kita akan dapat mengubah negeri ini.

Bagaimana Cara Kita Menghargai Jasa Para Pahlawan?    

Mencintai negeri ini (patriotik) merupakan bentuk penghargaan kepada para pahlawan. Mencintai negeri ini berarti menjaga negeri ini dari kerusakan, baik secara fisik maupun secara mental. Kerusakan alam yang diakibatkan oleh eksploitasi yang berlebihan dan pencemaran adalah contoh dari kerusakan fisik dari negeri ini. Sedangkan kerusakan mental misalnya penyakit korupsi, kolusi dan nepotisme yang selalu menggentarkan negeri.

Semua itu harus kita cegah dan hentikan demi menghargai jasa para pahlawan pendiri negeri ini. Atau kalau tidak, kita akan menjadi bangsa yang kecil tak beradab, dan kalimat “Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pahlawannya” hanya akan menjadi sebuah retorika yang tak bermakna.

Bukan saatnya kita meneladani pahlawan dengan mengangkat senjata, karena eranya bukan era peperangan lagi. Lantas apa yang harus kita lakukan? Paska penyerahan kedaulatan, sampai pada era dimana kebebasan berekspresi diterapkan, memungkinkan setiap warga negara berjuang dalam bidang masing-masing, asal tidak melanggar hukum yang berlaku. Guru dengan ilmunya, TNI dengan kekuatan militernya, polisi menjaga keamanan dan ketertiban masyarakat, profesor terus mengembangkan keilmuan anak bangsa, petani dengan menyiapkan bahan makanan untuk 250 juta jiwa penduduk negeri ini, olahragawan terus mencetak sejarah kemenangan, begitu juga penulis dengan mata penanya yang tajam. Semua berkesempatan untuk mengabdikan dirinya untuk mensejahterahkan bangsa.

Baru-baru ini Menteri Pertahanan, Ryamizard Ryacudu mengeluarkan program wajib bela negara. Menteri berpangkat jenderal ini, mengklarifikasi soal bela negara yang bukan merupakan wajib militer seperti yang diterapkan di beberapa negara seperti Korea Selatan dan Amerika Serikat. Sebagai warga negara tentunya menganggap ini adalah program yang baik. Namun perlu kiranya dipersiapkan dengan matang, perencaan yang jelas, dan proyeksi jangka panjang yang tak samar, bisa jadi program ini sukses, dan tidak hanya program pelipur lara semata, hanya sesaat muncul dan kemudian hilang tanpa jejak.

Pendidikan Kewarganegaraan Sejak Dini

Program Bela Negara itu mungkin salah satu dari cara yang dipakai Kemenhan untuk memupuk nasionalisme dan patriotisme warga negara. Tetapi sebenarnya, pendidikan kewarganegaraan sejak dini yang perlu diperkuat kembali. Pelajaran PKN seharusnya merupakan pelajaran yang primer dan diperhatikan secara khusus. Tidak halnya sekarang yang hanya menjadi pelengkap dan tidak banyak digemari. Jikalau eksak dan ilmu sosial menjadi pilihan utama, seharusnya PKN menjadi sejajar dengan mereka.

Namun, apakah pendidikan kewarganegaraan ini hanya dibebankan kepada sekolah dan pemerintah? Pendidikan utama dan pertama adalah pendidikan tingkat keluarga. Orang tua wajib memberikan pengertian soal dasar-dasar negara, sejarah, dan pentingnya membela negara, di samping pendidikan agama. Hal itu justru lebih merasuk dan tertanam kuat di hati anak-anak Indonesia. Orang tua, tidak hanya bertugas merawat, dan memenuhi nafkah lahir, namun bekewajiban pula mengajak sang buah hati, mencintai negara, merajut asa untuk menjadi manusia yang bermanfaat untuk sesama. Selamat Hari Pahlawan 10 Novermber 2015.


*Mahasiswi UNHASY semester 3 dan aktif di Komunitas Penulis Muda Tebuireng, Sanggar Kepoedang