http://www.nu.or.id/post/read/85728/ini-pengertian-dan-cakupan-kajian-fiqih

Oleh: Hilmi Abedillah*

Kita mengenal fikih sebagai salah satu ilmu dalam Islam. Dari kecil kita diajari fikih, mengenai wudu, bersuci, shalat, puasa, dan praktik ibadah lainnya. Namun, tahukah kita bahwa pada zaman Nabi dan beberapa kurun setelahnya, pengertian fikih tidak sama seperti yang kita pahami sekarang?

Fikih secara bahasa ialah al fahm (paham).

قَالُوا يَا شُعَيْبُ مَا نَفْقَهُ كَثِيرًا مِمَّا تَقُولُ

“Mereka berkata: Hai Syu’aib, kami tidak banyak mengerti tentang apa yang kamu katakan itu” (QS. Huud: 91)

Majalah Tebuireng

Sedangkan secara istilah, fikih didefinisikan Imam Hanafi (80-150 H) sebagai pengetahuan hak dan kewajiban diri. Definisi ini mencakup akidah, kewajiban beriman, akhlak, tasawuf, serta ibadah amaliah seperti shalat, zakat, puasa, dan jual beli. Definisi tersebut bisa dimaklumi, karena pada masa Abu Hanifah tidak ada pemisahan antara ilmu fikih (yang kita kenal sekarang) dengan ilmu syariat lainnya. Baru setelah itu ada pemisahan.

Para ulama Hanafiyah menambahi definisi tersebut dengan kata ‘amalan’ di belakangnya agar membedakan dengan akidah. Sementara Imam Syafi’i (150-204 H) menyebut fikih sebagai ilmu tentang hukum-hukum syariat praktis yang diperoleh dari dalil-dalil yang rinci. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu, I, 29-30)

Fikih dalam Islam mecakup dua; fikih makro (al-fiqh al akbar) dan fikih mikro (al-fiqh al ashghar). Fikih makro ialah kepercayaan (akidah) dan tauhid yang mendasari berdirinya agama Allah, sementara fikih mikro ialah ibadah beserta klasifikasinya, fardlunya, dan sunnahnya. Nabi pernah bersabda:

مَنْ يُرِدِ اللَّهُ بِهِ خَيْرًا يُفَقِّهْهُ فِي الدِّينِ

Barangsiapa yang Allah kehendaki baik, maka ia akan diberi pemahaman dalam masalah agama.” (HR. al-Muttafaq ‘alaih)

Kata ‘Yufaqqih’ di sini mencakup fikih makro dan mikro sekaligus. Jadi, hamba yang dikehendaki baik oleh Allah, akan diberi akidah dan syariat.

Fikih akbar pertama kali dicetuskan oleh Imam Abu Hanifah dengan menulis kitab berjudul al-Fiqh al Akbar yang memuat beberapa akidah salaf. Hal ini mengisyaratkan bahwa ilmu akidah merupakan hal yang besar dalam syariat Islam. Fikih akbar juga bisa disebut ushuluddin (pokok-pokok agama), tauhid, atau ilmu kalam. Sedangkan fikih ashghar berisi tentang ilmu halal dan haram serta furu’ (cabang-cabang). Fikih yang kita kenal selama ini, itulah fikih mikro. (al-Madkhol li Dirosatil ‘Aqidah al-Islamiyyah li Ibrahim al-Barikan, 13)

Dalam dakwah globalnya, Islam selalu berpegang pada akidah dan syariat tanpa memisahkan antara keduanya. Akidah memelihara akal dan pikiran. Dengannya, manusia mencapai derajat kesempurnaan, tidak terjatuh dalam lubang syirik dan menyembah selain Allah. Dengan syariat, manusia mengerti teknis beribadah di dunia, mengantarkan pada keberuntungan pribadi dan sosial, duniawi dan ukhrawi.

Poin terpenting, Islam tidak memisahkan antara konsentrasi akidah dan syariat. Islam mencela mereka yang berpikir dengan landasan akidah saja tanpa syariat, serta meringkas agama hanya pada tataran iman, tanpa amal. Tetapi memandang bahwa meninggalkan amal bisa memusnahkan akidah. Di satu sisi, juga mencela mereka yang meremehkan akidah dan mengagungkan amal dan ibadah. (Isyaratus Sabqi,3).

Syaikh al allamah al muhaddits Hammad al Anshari, fikih ashghar memang terkadang membuat seseorang menjadi unggul. Namun tanpa fikih akbar yang mengandung doktrin dan metodologi salaf, ia tidak akan berharga. Karena dengan melupakan fikih akbar, ia akan jatuh ke dalam syirik, bid’ah, dan jalan yang menyimpang dari metodologi salaf.

Namun menurut al Ghazali, fikih ialah satu, fikih untuk manusia. Yakni apa yang mengantar mereka kepada permulaan dan tujuan. Ia berkata, “Pada periode pertama, sebutan fikih itu mutlak untuk ilmu akhirat, mengetahui negasi hati, perusak amal, kuatnya pengetahuan tentang kehinaan dunia, cara meraih kebahagiaan akhirat, dan menguasai ketakutan hati.” Pengertian itu ditunjukkan oleh sebuah ayat:

لِيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنْذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا إِلَيْهِمْ

Untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya.” (QS. At-Taubah, 122)

Apapun yang menghasilkan indzar (ancaman) dan takhwif (intimidasi) itulah fikih, tanpa cabang-cabang seperti talak, li’an, ijarah, pesan, dll. Itu semua tidak menghasilkan indzar dan takhwif.

Komentarnya, istilah akbar dan ashghar kurang tepat, karena dikhawatirkan akan terjadi istikhfaf (meremehkan) ibadah amal. Padahal, sebenarnya penyebutan akbar-ashghar hanya sebagai klasifikasi, bukan tingkatan. Selain itu, ada beberapa ibadah amaliah yang lebih penting daripada akidah. Untuk itu, ada baiknya jika istilah fiqh akbar diganti dengan fiqh i’tiqadi, sementara fiqh ashghar diganti dengan fiqh ‘amali. Istilah ini lebih aman dan tidak terkesan merendahkan salah satu. (Ushulul Ijtihad al-Kalami, 98)

Akidah dan syariat harus dipegang teguh. Keduanya yang menjadi ciri khas Islam, membedakan dengan agama lainnya. Keduanya sama-sama penting, dijalankan bersama dan beriringan. Mengabaikan salah satunya berarti memeluk Islam dengan pincang. Akidah menuntun kita pada keesaan Allah dan syariat mengajak kita berlaku sesuai dengan yang perintahkan. Akidah menjadi keyakinan, syariat berwujud perbuatan.


*Redaksi Majalah Tebuireng