KH, Irfan Yusuf memukul bedug sebagai tanda dimulainya Gema Takbir 2017 Pesantren Tebuireng pada Kamis (31/08/2017). (Foto: Kopi Ireng).

Oleh: Lu’luatul Mabruroh*

Lebaran tinggal menghitung jam. Setiap muslim sibuk bersiap menyambutnya dengan suka cita. Berbagai macam kue lebaran ditata di ruang tamu. Fitting baju baru untuk silaturrahim ke rumah saudara dan tentu saja mengembalikan diri pada fitrah suci manusia setelah satu bulan menempuh perjuangan.

Adalah keniscayaan menggemakan takbir di hari kemenangan. Agar semarak kebersamaan umat Islam, menyatu dalam satu seruan. Allahu akbar walillahilhamdu. Dalam sejarah, umat Islam menemui kemenangan besar saat terjadinya perang badar, yang pada saat itu hanya memiliki pasukan yang lebih sedikit dari jumlah pasukan Quraisy yang secara akal mustahil untuk menang. Namun pada saat itu, tak sedikitpun pasukan minoritas Islam gentar menghadapi pasukan Quraisy. Kekuatan besar mereka keluar dari satu kalimat yang dilantangkan dengan sepenuh hati, yaitu lafadz takbir.

Umat Islam mengucapkan takbir. Namun pada saat itu, takbir digaungkan bersanding dengan persatuanan dan keutuhan umat islam dalam satu tubuh. Kemenangan hanya akan ditemui bila umat Islam bersatu padu mengucapkan takbir tanpa mengunggulkan ataupun mendiskreditkan kelompok yang lain. Sejarah kehancuran Turki Usmani cukup menjadi pelajaran akibat dari perpecahan umat dan bertakbir atas nama kelompoknya sendiri-sendiri.

Oleh sebab itu, beberapa tahun yang lalu, KH Maimoen Zubair, Pengasuh PP. Al-Anwar, Sarang Rembang- menghimbau, dalam bacaan takbir tidak menambahi dengan lafadz ولو كره المنافقون (wa lau karihal munafiqun/ walau kaum munafik membenci) sebab yang tercantum dalam Al Quran hanyalah dua yaitu, ولوكره الكافرون  ولو المشركون (walau karihal musyrikun walau karihal kafirun/ walau orang-orang musyrik dan kafir membenci), sedangkan lafadz ولو كره المنافقون tidak terdapat dalam Al Quran.

Majalah Tebuireng

Orang munafik merupakan orang yang masuk barisan umat Islam dan memperlihatkan keislamannya, sekalipun pada hakikatnya mereka adalah orang kafir. Namun demikian alangkah baiknya bila tidak dimusuhi dan memusuhinya. Sebab jika memusuhi orang-orang munafik sama halnya dengan memusuhi sesama muslim, atau minimal seakan-akan umat Islam terlihat bermusuhan satu sama lainnya.

Al Quran memerintahkan dengan tegas (bukan keras) untuk bersikap tegas terhadap orang kafir dan orang munafik. Namun, Rasulullah memiliki pemikiran dan politik sendiri di mana pada suatu waktu beliau menolak memerangi para pembelot yang dipimpin oleh Abdullah bin Ubay bin Salul saat perang Uhud. Suatu ketika beliau ditanyai seorang sahabat, “Apakah tidak kita perangi orang-orang munafik itu wahai Rasulullah?”. Kemudian Rasulullah bersabda,

ﻟﻮ ﻗﺎﺗﻠﺘﻬﻢ ﻟﻘﺎﻟﻮﺍ ﺇﻥ ﻣﺤﻤﺪﺍ ﻗﺎﺗﻞ ﺃﺻﺤﺎﺑﻪ

Andaikan saya memerangi mereka, niscaya mereka akan berkata, ‘Sesungguhnya Muhammad memerangi para sahabatnya’”.

Namun demikian, terkadang Allah masih mengampuni mereka.

ﻭﺃﺧﺮﻭﻥ ﻣﺮﺟﻮﻥ ﻷﻣﺮ ﺍﻟﻠﻪ ﺇﻣﺎ ﻳﻌﺬﺑﻬﻢ ﻭﺇﻣﺎ ﻳﺘﻮﺏ ﻋﻠﻴﻬﻢ ﻭﺍﻟﻠﻪ ﻋﻠﻴﻢ ﺣﻜﻴﻢ

Dan ada (pula) orang-orang lain yang ditangguhkan sampai ada keputusan Allah. Adakalanya Allah akan mengadzab mereka dan adakalanya Allah akan menerima taubat mereka. Dan Allah Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana” demikian kiranya Allah masih memberikan peluang bagi orang munafik untuk diampuni segala dosanya apabila mereka bertaubat. (QS. at Taubah: 106)

Namun, ketegasan Islam terhadap kafir dan musyrik tidak bisa dilakukan dengan kondisi yang sedang damai. Kedamaian menjadi acuan Islam dalam bersikap, namun Islam juga tidak lembek. Islam mengharagai perbedaan, toleransi, dan saling menghargai satu sama lain. Tapi, Islam juga harus tegak, diperjuangkan, disyiarkan, dan ditunjukkan kebesarannya. Sejatinya, Ramadan adalah medan perang melawah hawa nafsu sebagai jihad besar, dan Idul Fitri adalah medan kebahagiaan setelah menang dari jihad itu. Maka, sejatinya kemenangan di dalam Idul Fitri merupakan kemenanga umat atas perjuangannya melawan dirinya sendiri.

Hal yang terlihat sepele terkadang megandung kekuatan vital bagi kebangkitan sebuah umat dan negara. Oleh sebab itu, sangat penting dalam memperhatikan kehati-hatian dalam beragama. Sebab kemenangan akan tiba bila terdapat keselarasan dan kesatuan ruh dalam satu kata, Allahu Akbar, Walillahil Hamdu, merasa dirinya kecil dan mengagungkan Allah sebagai Dzat yang Maha Besar, Maha Agung, dan Maha Kuasa atas segala hal.

Selamat menuju kemenangan. Mari kita kumandangkan takbir di seluruh penjuru kampung-kampung, desa-desa, sudut-sudut kota, ramai-ramai dengan sanak saudara, tetangga, dan masyarakat.


*Santri PP Putri Walisongo Cukir dan mahasiswi Unhasy