tebuireng.online–Dalam Temu Alumni dan Seminar Nasional yang diadakan oleh Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng Jombang, Sabtu (30/07/2016), Dr. H. Miftahurrohim Syarkun, MA yang sekarang menjabat sebagai wakil rektor 3 kampus tersebut berkesempatan menjadi pembicara. Beliau mengawali materi dengan menyuguhkan beberapa kasus unik yang terjadi di Indonesa yang berkenaan dengan toleransi.

Menurut dosen di Universiti Teknologi Malaysia (UTM) itu, pada dasarnya toleransi memiliki dua dimensi yaitu mutualisme understanding (saling memahami) dan mutualisme respec (saling menghormati). Menurut beliau, kebudayaan merupakan bentuk keadilan yang apabila terjadi devisit kebudayaan, akan muncul liberalisme dan radikalisme.

Kedua, para pelaku radikalisme seperti bom bunuh diri yang dilakukan orang-orang seperti Nur Rahman memang secara ontologinya benar, yaitu menggunakan referensi Al-Quran, tetapi secara epistemologi tidak benar. Mereka, lanjut Direktur Tecko Hafiz itu, tidak menggunakan epistemologi Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari dan Imam Syafi’I, tetapi epistemologi Imam Samudra. Mereka menggunakan dasar(orang yang membunuh dan orang yang dibunuh sama-sama masuk neraka). Ini merupakan suatu budaya yang memaksakan budaya kita yang sudah mengakar.

Ketiga, merupakan gerakan santoso dengan ISIS yang memunculkan gerakan khilafah muncul kembali. Dari sini pancasila sebagai solusi dari konflik antara nasionalisme sekuler dan Islam formalistik. Inilah yang beliau sebut dengan golongan mitsaqan gholidzo. Beliau juga sempat menjelaskan Islam Nusantara yang sampai kini masih meninggalkan banyak persoalan dan perbedaan. Simbol-simbol yang biasanya dimunculkan oleh Nahdlatul Ulama dalam menyelesaikan persoalan baik persoalan ideologi kebangsaan maupun keagamaan seperti Mbah Hasyim memunculkan simbol dengan Qanun Asasi dan Kiai Ahmad Sidiq dengan gagasannya Hubungan NU dengan Negara, seakan dikesampingkan.

“Resolusi jihad Mbah Hasyim mampu menjadi simbol solusi dari persoalan agama dan negara, tetapi Islam Nusantara dalam internal saja masih terjadi konflik, apalagi diluar,” tukas beliau. Beliau masih meragukan apakah Islam Nusantara ini menjadi suatu ancaman atau menjadi gerakan yang me-mansukh (menghapus) ataukan mendukung fikroh (pemikiran) Mbah Hasyim yang telah dirumuskan dalam Qanun Asasi.

Majalah Tebuireng

Dr. Miftah juga mengatakan bahwa Mbah Hasyim ketika pulang dari Mekkah membawa 3 peradaban, yang pertama Qanun Asasi sebagai dasar Negara Kesatuan Republik Indonesia, kedua membangun Nahdlatul Ulama, dan ketiga membangun pesantren. Ketiga sayap inilah yang menjadi tanda bahwa Mbah Hasyim tidak menginginkan Indonesia seperti Andalusia dan Turki.

Mbah Hasyim, tambah beliau, ketika kembali, Islam Indonesia seperti keadaan Islam saat Fathul Mekkah. Beliau menegaskan bahwa rumusan Qanun Asasi Mbah Hasyim menganggap fikih yang diusung oleh imam madzhab empat bukanlah doktrin fiqhiyah tetapi doktrin manhajiyah. Dari doktrin manhajiyah itu lah muncul manhaj tawasutiyah, manhaj islahiyah dan manhaj manhajiyah.

Beliau menjelaskan bahwa Mbah Hasyim dalam merumuskan Qanun Asasi merujuk pada dua madzhab yaitu Madzhab Imam Syafi’I dan Imam Abu Hanifah. Abu Hanifah dalam merumuskan hukum menggunakan pendekatan istidlalul hukmi (induktif ), sedangkan Imam Syafii menggunakan pendekatan istinbatul hukmi (deduktif). “Dari Qanun Asasi inilah muncul konsep istidlalul hukmi, istidlalul hukmi dan sains teknologi lah yang mampu menjawab fenomena global saat ini,” pungkas Dr. Miftah mengakhiri pemaparannya. (Adam/Abror)