tebuireng.online—Dosen senior Psikologi Universitas Airlangga, Dr. Joseph Jangkung Karyantoro, MBA., menyampaikan materi tentang Nilai Dasar Pesantren Tebuireng yang kelima, toleransi atau tasamuh, Senin-Selasa (10-11/10/2016) kepada peserta Diklat Kader Pesantren Tebuireng angakatan ke-2. Pria asal Jogjakarta tersebut menjelaskan bahwa toleransi telah diciptakan oleh Tuhan bersamaan dengan penciptaan dunia dan isinya ini.

Dr. Jangkung menjelaskan bahwa toleransi yang ada sejak penciptaan tersebut menunjukkan bahwa Tuhan telah menciptakan toleransi sebagai sunnatullah, ketentuan-ketentuan yang inheren atau melekat pada setiap interrelasi ciptaan-Nya. Beliau menyampaikan bahwa manusia sebagai ciptaan Allah yang tertinggi adalah benar, karena dianugerahi akal budi.

Namun, terang beliau, banyak manusia yang budinya sudah hilang, tinggal akal yang dijadikan akal-akalan. “Akal budilah yang membuat manusia mampu menyadari diri sendiri dengan seluruh potensialitasnya yang paling mungkin dan yang sampai batas tertentu tidak terhitung jumlah dan kualitasnya,” jelas beliau dengan penuh semangat.

Dr. Jangkung yang merupakan penganut Katolik yang taat mengaku sering membaca al Qur’an dan merenungi makna-maknanya. Beliau menemukan banyak sisi unversal dan global dalam al Qur’an yang menunjukkan bahwa penciptaan manusia secara berbeda-beda adalah bagian dari sunnatullah. Perbedaan itu, menurut beliau, bukan untuk dibeda-bedakan dan disama-samakan, melainkan saling menghargai satu sama lain dan tidak melakukan sikap dan prilaku yang intoleran.

“Manusia yang bermacam-macam (baca: plural dan multikultural) seperti itu, diciptakan untuk saling mengenal, belajar, dan saling bermanfaat satu terhadap yang lain, dalam interrelasi yang tidak akan pernah bisa berhenti atau dihentikan,” ujar alumnus Scotland University itu. “Demikian menegaskan dengan ikhlas, bahwa toleransi sebagai konsekwensi yang melekat atau inheren pada interrelasi seperti itu adalah sunnatullah,” tambah dosen kelahiran 1950 tersebut.

Majalah Tebuireng

Toleransi itulah yang mendasari terbentuknya NKRI yang berideologi Pancasila dan UUD 1945 dalam suasana perbedaan suku, budaya, etnis, tradisi, dan agama dapat hidup bersama seperti sapu lidi yang saling menguatkan satu dengan lainnya. Mereka yang merusak kerukunan tersebut, menurut beliau, berarti tidak berkomitmen (rushdan) dengan kesepakatan atas dasar dan bentuk negara.

Secara negasi, lanjut beliau, tidak jarang toleransi yang seharusnya adalah sunnatullah itu tersendat-sendat dalam implementasinya, bahkan yang terjadi kadangkala adalah larangan-larangan ibadah, dihadang berperan secara publik, pembakaran rumah ibadah, pengusiran, radikalisme, dan terorisme. Hal itu, beliau katakan sebagai bagian dari hilangnya budi manusia dan menyisakan akal-akalan saja.

Tarakhir, beliau memberikan saran, bagaimana Tebuireng nantinya dapat terus menjadi benchmarking toleransi. Di antara saran tersebut adalah agar Tebuireng memberikan transformasi positif kepada masyarakat dengan membuka diri secara luas, masuknya informasi yang bebas dari superioritas semu tentang keragaman kehidupan, membiasakan “listening” dalam setiap permasalahan, berjuang secara riil terhadap hak-hak dasar orang lain yang berbeda, berani benar dengan hormat melakukan dialog penyadaran kepada kelompok sektarian, serta proaktif melakukan pencerahan kepada masyarakat tentang penghayatan kehidupan yang lebih moderat, sehingga terlindung dari radikalisme. (Abror)