Tebuireng.online- Halaqah dzurriyah muassis (anak cucu pendiri) NU (Nahdlatul Ulama) mengenai Komite Khittah ke-3 kalinya digelar di Yayasan Pendidikan Taswirul Afkar Surabaya (Ahad, 09/12/18). Acara ini dihadiri oleh Aliansi Ulama Tapal Kuda (AUTADA) Ahlussunnah Wal Jamaah dari Probolinggo, KH. Salahuddin Wahid dan ulama NU lainnya.

Dalam halaqah ini, Gus Sholah bercerita bahwa beliau bersama Kiai Abdullah Mukhit, Kiai Roziki dan Kiai Nasihin bersilaturrahim ke Kiai Miftah, (02/12/18). “Mungkin saya menyampaikan tanggapan dari kiai Miftah. Pertama, bahwa kegiatan kita ini (komite khittah) sudah diketahui oleh PBNU. Juga Kiai Miftah menghendaki kita tidak memanfaatkan khittah ini untuk mendukung calon yang ada,” ungkap Pengasuh Pesantren Tebuireng ini.

Gus Sholah menambahkan, “Ini yang menarik, terkait dengan pencalonan Kiai Ma’ruf Amin sebagai wapres. Beliau (Kiai Miftah) mengatakan dengan diajaknya Kiai Ma’ruf Amin sebagai wapres berarti NU sekarang telah menjadi shohibul qoror, yang sebelumnya telah menjadi shohibul had. Sebetulnya tahun 2004, ketika Kiai Hasyim Muzadi juga menjadi cawapres, ya sama, itu pelanggaran.”

Selain itu, Adik Gus Dur ini melihat adanya perbedaan persepsi maupun penafsiran tentang khittah NU. Diungkapkan bahwa Kiai Miftah menganggap khittah itu situasional, tergantung kebutuhan pada suatu saat. “Walaupun tidak disampaikan secara eksplisit, saya menangkap kesan sama dengan saya melihat videonya ketua PWNU Kiai Marzuki yang menyatakan bahwa pencalonan Kiai Ma’ruf Amin itu tidak apa-apa, tidak melanggar khittah, karena itu bukan untuk kekuasaan tapi untuk kepentingan bangsa dan negara. Jadi ada perbedaan dalam melihat khittah ini dibanding dengan kita,” papar Gus Sholah.

Terjadi perbedaan banyak perbedaan penafsiran tentang khittah NU. Komite Khittah ingin merancang dialog tentang khittah, bagaimana melakukannya, apa saja yang dibahas, agar semua bisa tuntas. Sebab kalau tidak, kemudian PBNU secara sepihak menafsirakan dan dianggap itu sebagai penafsiran yang resmi. Maka ini sama dengan pemerintah menafsirkan Pancasila seperti kehendak zaman orde baru. “Jadi saya mengusulkan diadakan dialog. Kiai Miftah tidak menjawab, tidak menanggapi. Mestinya Kiai Miftah setuju dari bahasa tubuhnya tapi belum tentu yang lain setuju. Mungkin kita ketemu lagi dengan kiai Miftah didampingi beberapa orang, kita pun beberapa orang. Menurut saya tidak boleh ada penafsiran di luar forum muktamar. Jadi kalau membuat penafsiran harus disetujui forum muktamar,” terang Gus Sholah.

Majalah Tebuireng

“Semua kiai menyambut baik komite khittah dengan syarat kita tetapberdiri mengikuti tegaknya khittah, tidak condong ke kanan. Dan saya yakinratusan bahkan ribuan kiai yang akan mendukung kalau kita memang seperti itu,” pungkas Gus Sholah.


Pewarta: Ifana/Nun

Publisher: MSA