Sumber foto: https://backpackerjakarta.com/pesona-padang-pasir-di-pantai-oetune/

Oleh: Silmi Adawiyah*

Dalam kehidupan ini tidak semua orang diberi kesempatan menuntut ilmu; baik ilmu agama maupun ilmu umum. Ada di antara mereka yang pergi menuntut ilmu dan ada pula yang menghabiskan waktu dengan aktivitas yang lain. Allah berfirman dalam QS At Taubah: 122:

ومَا كَانَ الْمُؤْمِنُونَ لِيَنفِرُوا كَافَّةً ۚ فَلَوْلَا نَفَرَ مِن كُلِّ فِرْقَةٍ مِّنْهُمْ طَائِفَةٌ لِّيَتَفَقَّهُوا فِي الدِّينِ وَلِيُنذِرُوا قَوْمَهُمْ إِذَا رَجَعُوا

“Tidak sepatutnya bagi mukminin itu pergi semuanya (ke medan perang). Mengapa tidak pergi dari tiap-tiap golongan di antara mereka beberapa orang untuk memperdalam pengetahuan mereka tentang agama dan untuk memberi peringatan kepada kaumnya apabila mereka telah kembali kepadanya.” 

Berbagai latar belakang, mereka tidak sempat dan tidak memiliki peluang seperti orang-orang yang disebutkan Al Quran tersebut. Orang-orang yang pergi berperang tidak sempat menuntut ilmu. Sejarah mencatat Abu Hurairah adalah sahabat yang banyak menghabiskan waktu menuntut ilmu, sementara Kholid bin Walid tidak demikian.

Majalah Tebuireng

Kasus yang berlaku pada panglima Kholid juga banyak  terjadi pada sahabat yang lain. Namun, dengan sederet keterbatasan tidak menjadikan mereka absen keistimewaan. Bermodalkan pengetahuan ala kadarnya, mereka bisa mencapai derajat mulia.

Abad ini, banyak dijumpai orang-orang seperti Abu Hurairah ra  yang gemar menuntut ilmu dan tak sedikit pula ditemukan orang-orang seperti Kholid bin Walid yang sibuk berperang demi bertahan hidup. Menariknya, orang dengan tipologi kedua (Kholid) dengan akal pikiran yang sehat serta ilmu secukupnya lahir sikap hormat, sopan dan santun dari prilakunya sehari-hari.

Di kala bertemu dengan orang yang lebih tua, spontan rasa hormat muncul; ketika bersua dengan yang lebih muda, lahir darinya sikap saling menyayangi. Pendek kata, dengan segenap kekurangan tersebut mampu mereka tutupi dengan sikap arif dan bijak yang pada akhirnya mereka disenangi dan dicintai oleh semua golongan.

Flashback di zaman Rasulullah Shalalallahu ‘Alaihi Wassallam hidup, ada sebuah kisah yang patut dicontoh oleh umat Islam. Ketika itu sekelompok orang membawa jenazah orang Yahudi di depannya, spontan beliau berdiri dari tempat duduknya guna menujukkan sikap hormat dan menghargai meski beda keyakinan, karena menurutnya, setiap manusia perlu dihormati dan dihargai.

Akhlak mulia yang diteladankan oleh baginda Rasulullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam dewasa ini sudah mulai memudar. Ada sekelompok orang atau individu yang mengaku ‘berilmu’ dan mengikuti sunnah justru tidak mencerminkan sebagai orang berilmu dan pengikut sunnah. Bahkan sebaliknya, semakin tinggi titel akademik yang diraih dan semakin luas bacaannya yang dijelajah, semakin jauh dari akhlak salaf.

Secara bahasa kata salaf bermakna orang-orang terdahulu. Secara istilah Salaf adalah sebutan untuk generasi yang hidup pada abad pertama sampai ketiga hijriah (sahabat, tabi’in dan tabi’ tabi’in). Dalam hadis disebutkan generasi salaf adalah sebaik-baik generasi.

خَيْرَ أُمَّتِـي قَرْنِي ثُمَّ الَّذِيْنَ يَلُونَهُمْ ثُمَّ الَّذِينَ يَلُونَهُمْ

Sebaik-baik umatku adalah pada masaku. Kemudian orang-orang yang setelah mereka (generasi berikutnya), lalu orang-orang yang setelah mereka.” (Shahih Al-Bukhari, No. 3650)

Namun fenomena yang menggelitik adalah mereka yang mengklaim telah berilmu dan berjalan di atas sunnah tersebut tidak mengindahkan akhlak-akhlak ulama salaf. Bahkan di kala bertemu dan berpapasan dengan orang-orang yang notabene tidak berilmu (tidak selevel dengannya), dan dianggap tidak tidak ‘nyunnah’ (mengikuti sunnah Nabi Shalallahu ‘Alaihi Wassallam) diklaim rendah dan hina, tak jarang banyak kita temukan saat berbicara dan mengkritik orang lain semaunya dan sinis. Pada intinya orang yang tidak sebanding dengannya dipandang sebelah mata.

Tentu fenomena seperti ini tidak diajarkan dalam Islam. Seharusnya semakin luas ilmu seseorang, semakin rendah hati dan tawadhu. Rasulullah SAW diutus ke jagad ini untuk merubah tatanan sosial yang penuh carut-marut itu. Rasullah Shalallahu ‘Alaihi Wassallam bersabda:

إنما بعثت ﻷتمم مكارم الأخلاق

“Sesungguhnya aku diutus untuk menyempunakan akhlak

Akhlak menjadi pembeda antara umat terdahulu (jahiliah) dan umat Nabi Muhammad. Mereka yang telah merasakan manisnya ajaran Islam lahir dari dirinya prilaku yang baik, sopan, santun, ramah dan berbudi. Substansi risalah Rasulullah SAW membawa umat manusia ke jalan keselamatan, karena Islam adalah agama keselamatan bagi seluruh umat manusia dan alam.

Oleh karenanya, jika Allah Subhanahu Wata’ala beri keistimewaan kepada kita berupa ilmu pengetahuan, kepintaran dan kecerdasan sehingga mampu menyabet sejumlah titel dan pangkat serta kedudukan yang tinggi, tidak lantas membuat kita congkak, sombong dan merasa hebat dari orang lain, karena setiap orang memiliki kelebihan.


*Alumnus Unhasy Tebuireng dan Pesantren Putri Walisongo Cukir Diwek Jombang, kini menempuh pendidikan Pascasarjana di UIN Jakarta