Oleh : Farha Kamalia*

“Change your thoughts and you change your world.” ~ Norman Vincent Peale

Pendidikan dibutuhkan sebagai pupuk dalam kehidupan agar kita dapat berkembang dengan baik. Pendidikan tidak hanya sekedar transfer ilmu di sekolah saja namun juga pembentukan karakter pribadi yang lebih baik. Diperlukan usaha yang lebih untuk mendongkrak kualitas yang lebih baik. Ilmu pengetahuan yang diterima selama proses belajar mengajar di sekolah harus ditambah dengan pengalaman-pengalaman lain agar membuka kemampuan atau keahlian yang bernilai lebih.

Adalah suatu keniscayaan bahwa di era globalisasi ini banyak aspek kehidupan menjadi saling mempengaruhi satu dengan lain, tidak terkecuali aspek pendidikan. Persaingan global antaraktor pun semakin kompetitif sehingga semakin banyak orang berlomba-lomba untuk dapat bersaing dengan yang lain.

Bertempur atau Digempur

Majalah Tebuireng

            Ketakutan akan dampak negatif globalisasi memang tidak dapat dipungkiri. Akan tetapi, menutup diri atas datangnya globalisasi juga bukan merupakan solusi yang tepat. Persaingan global yang semakin kompetitif membuat kita tidak punya pilihan selain menyesuaikan diri dengan situasi global. Meskipun globalisasi memberikan permasalahan yang semakin kompleks namun globalisasi juga menawarkan solusinya, yaitu akses pendidikan yang seluas-luasnya.

Globalisasi memberikan kontribusi pada kebijakan, sistem, dan luasnya konektifitas dalam bidang pendidikan. Hal ini juga berarti bahwa jendela kesempatan untuk mendapatkan pengetahuan dan pengalaman dari berbagai tempat semakin terbuka lebar. Salah satu manfaat yang dapat diambil di bidang pendidikan adalah menimba ilmu di luar negeri, seperti melalui program pertukaran pelajar. Adapun program pertukaran pelajar tersebut umumnya ditawarkan di tingkat sekolah menengah hingga perguruan tinggi, baik dengan beasiswa ataupun dengan biaya mandiri.

Tidak sedikit pelajar Indonesia yang bercita-cita merantau untuk menggali ilmu di luar negeri, misalnya dengan mengikuti pertukaran pelajar. Salah satu program pertukaran pelajar tingkat SMA dengan tingkat peminat yang tinggi adalah American Field Service (AFS)-Kennedy-Lugar Youth Exchange and Studies (YES). Program pertukaran pelajar ini diikuti oleh berbagai negara. Khusus program YES, program pertukaran pelajar dengan beasiswa penuh dari Amerika Serikat selama satu tahun ini diikuti oleh pelajar dari Amerika Serikat dan negara-negara dengan populasi muslim yang signifikan, bahkan pelajar SMA yang tinggal di pondok pesantren, atau yang sering dikenal dengan santri, didorong untuk mengikuti program ini. Hal ini dimaksudkan agar siswa, keluarga, dan masyarakat sekitar dapat memahami kebudayaan dan nilai satu dengan yang lain agar tercipta common understanding, terutama bagi masyarakat Amerika Serikat pasca peristiwa pengeboman gedung World Trade Centre (WTC) pada 11 September 2001.

Di Indonesia, tiap tahunnya program ini menyeleksi ribuan pelajar Indonesia dan mengirim puluhan pelajar terpilihnya untuk merasakan pengalaman yang berbeda di negeri Paman Sam ini. Meskipun program ini memberikan pengalaman baru, khususnya bagi seorang santri, namun tidak serta merta program ini selalu mendapatkan pandangan dan apresiasi yang baik. Rumor dan spekulasi terhadap program ini muncul di sebagian kalangan. Pasalnya, program ini memberikan kesempatan juga bagi santri untuk merasakan belajar di Amerika serikat, di mana muslim menjadi minoritas, bahkan dianggap sebagai negara yang memusuhi Islam. Hal ini menjadi tabu ketika melihat pada umumnya santri dikirim ke Timur Tengah untuk menimba ilmu. Terang saja, program ini terlihat kontroversial. Pandangan skeptis ataupun kecurigaan muncul dengan dalih program ini merupakan kedok paham liberal atau misionaris untuk memengaruhi mereka.

Mengubah Pandangan

Diperlukan pandangan baru untuk menampik spekulasi tersebut. Bukan berarti kita menjadi fear nothing, namun fear less. Fear less di sini dalam artian positif yang dimaksudkan agar kita tetap waspada guna membekali diri dengan baik. Dengan dalih takut akan terpengaruh paham liberal ataupun misionaris, sangat disayangkan apabila mereka yang ingin menggali potensi diri dengan mengikuti pertukaran pelajar harus legowo untuk tidak mencobanya.

Santri sudah dibekali dengan ilmu agama yang lebih di pesantren. Inilah yang justru menjadi momentum bagi mereka untuk mengimplementasikan ilmu yang sudah diterima. Tidak hanya itu, dengan berada di tengah-tengah masyarakat yang awam atau mempunyai pandangan negatif terhadap Islam, mereka dapat menjadi agent of change. Tidak dapat dianggap remeh bahwasanya tutur kata dan perilaku mereka dapat mengubah pandangan mereka terhadap Islam dan Indonesia. Media sering kali menyiarkan berita-berita mengenai tindakan oknum-oknum tertentu yang merusak citra Islam di mata dunia sebagai agama yang rahmatal lil alamin. Oleh karena itu, untuk melawan persepsi tersebut, hubungan people-to-people sangat dibutuhkan karena interaksi langsung dapat mengubah pandangan orang-orang setidaknya yang berada di sekitarnya.

Belajar di negeri asing juga memberikan pengalaman yang tidak dapat didapatkan ketika hanya belajar di negeri sendiri. Menuntut ilmu di luar negeri pada usia muda dapat dapat menjadi batu loncatan untuk membuka kesempatan berikutnya karena manfaat yang didapatkan mencakup mendapatkan teman maupun kenalan yang dapat menjadi “tabungan” koneksi, pengalaman dan pengetahuan budaya lain, dapat berbahasa asing, meningkatkan soft skill, bahkan dapat lebih mengenal negara dan agama kita sendiri.

Bukan lagi saatnya mendiskreditkan kesempatan baik yang ada di depan mata. Dukungan dan pengertian dari berbagai pihak dibutuhkan. Tugas yang seharusnya diemban sekarang, yaitu memanfaatkan kesempatan yang ada, mendukung dan membekali mereka yang ingin mencoba kesempatan tersebut, dan mengingatkan serta meluruskan apabila terdapat penyimpangan atas kemaslahatan agama dan bangsa. Dengan demikian, mereka yang belajar dari basis pendidikan Islam, khususnya pondok pesantren tidak perlu khawatir lagi untuk menunjukkan eksistensinya di dunia internasional. Karena untuk mencetak generasi pemimpin unggul dengan kepribadian dan akhlak yang mulia, selain pendidikan Islam, dibutuhkan juga pengalaman-pengalaman tambahan di luar sana untuk mendapatkan prespektif baru.

Mengingat bahwa globalisasi tidak dapat dibendung, sudah saatnya kita juga turut aktif memanfaatkan globalisasi, khususnya di bidang pendidikan. Hubungan people-to-people, khususnya ketika menimba ilmu di luar negeri dapat mengimbangi cepatnya arus informasi yang terkadang mencemari nama Islam di berbagai belahan dunia. Menimba ilmu di tanah asing, tidak hanya memberikan manfaat pada peningkatan kapasitas diri untuk menghadapi persaingan yang semakin kompetitif—khususnya persiapan menghadapi Masyarakat Ekonomi ASEAN 2015—namun juga memberikan kontribusi kepada nama Indonesia dan Islam di dunia. Dengan demikian, kita tidak lagi hanya menjadi penonton atau objek globalisasi namun juga ikut serta menjadi pemeran dalam globalisasi, khususnya di bidang pendidikan.

*Penulis adalah Sekretaris Divisi Balitbang Unit Penerbitan Pesantren Tebuireng, penerima beasiswa berbagai program internasional diantaranya: American Field Service/Kennedy-Lugar Youth Exchange and Studies (AFS/YES), United State of Amarica.