Novel 33 Senja di Halmahera karya Anderu Intan. (dok. ilvi)

Apa yang harus dilakukan bila cinta tumbuh dari 2 iman yang berbeda? Tak ada yang bisa disalahkan bukan, sebab cinta ada karena ketidaksengajaan dan merupakan kelumrahan? Seperti kisah 2 tokoh dalam novel berjudul “33 Senja di Halmahera” karya Andaru Intan. Seorang penulis sekaligus dokter PTT di pelosok Halmahera Selatan. Wanita kelahiran 1990 ini telah melahirkan banyak karya seperti: novel Teman Hidup, Namamu dalam Do’aku, Kumcer Saat Waktu Berkejaran, mini novel LDR Tentang Kamu, Aku, dan Jarak, dan beberapa antologi cerpen lainnya.

Selain konflik cinta beda agama, dalam novel ini juga mengulik trauma yang dimiliki oleh seorang Gadis bernama Puan. Bagaimana mungkin gadis pesisir membenci laut? bukan hanya tidak bisa berenang dan menginjakkan kaki di laut, bahkan memandang indahnya senja di laut pun Puan tidak sanggup.

Kisah berlatar belakang indahnya Halmahera Selatan ini di mulai dari seorang tentara yang bernama Nathan, bintara yang baru saja menyelesaikan pendidikannya, dimana ia harus pindah tugas ke pelosok Halmahera Selatan, tepatnya di Sofifi, karena ulahnya berkelahi dengan anak orang terpandang.

Dibalik kerinduannya pada keluarga di Sirimau dan lukanya sebab di putuskan oleh Ervina sang mantan kekasih, di Sofifi ia jatuh hati dengan Puan. Gadis pemilik raut wajah sedih yang membuat Nathan semakin penasaran dengan sosok Puan.

Nathan yang seorang tentara dengan sengaja meminta pada atasannya untuk di tempatkan di desa Puan, dengan maksud agar lebih mudah mengenal Puan. Nathan yang belum mengetahui alasan Puan membenci laut perlahan mendekati Puan dan mencoba menghilangkan trauma yang dimiliki Puan.

Majalah Tebuireng

Puan yang terkenal rajin, taat ibadah, dan menjunjung tinggi kehormatan ini mulai tertarik untuk berkenalan dengan Nathan. Namun perasaan itu layu sebelum berkembang, ketika ia mendengar kalimat Nathan pagi itu.

“Barangkali kita bisa bicara lagi lain waktu, ini saatnya pulang. Aku harus ke gereja,” halaman 97.

Sejak saat itu Puan tidak lagi bergairah, yang ada dalam fikirannya, bagaimana mungkin ia bisa menaruh hati pada laki-laki yang tak seiman dengannya. Terdapat dinding besar yang baginya sulit di tembus.

Tak butuh waktu lama bagi Nathan untuk mengambil hati Puan kembali. Tepatnya ketika ia mengikuti ajakann Nathan, Ido, Fida, Una yang merupakan teman Puan. Mereka datang kerumah Puan bermaksud mengajak pergi ke Kepulauan Widi, untuk melihat kepiting kenari dan Lumba-lumba.

Dari ajakan itu, puan mulai belajar menghilangkan ketakutannya pada laut. Hingga sepulang dari itu, Puan harus menerima amarah dari papanya. Papa angkat yang teramat menyayanginya itu meminta Puan untuk memutus hubungan dengan Nathan.

Kerusuhan masa itu membuat Puan harus kehilangan Papa, Mama, dan kakak kandungnya. Teramat menyedihkan trauma yang dimiliki oleh gadis kecil kala itu. Ia harus melihat lautan biru yang memerah karena darah.

Diakhir penulis menciptakan kesan tokoh Nathan yang telah melewati 33 senja harus kembali, lantaran tugasnya di Sofifi telah usai. Dan Puan lebih mengedepankan pengabdiannya di desa pelosok daripada asmaranya. Puan sendiri tidak ingin perasaan yang ada pada keduanya tumbuh dan mengakar lebih dalam, seperti yang tertulis pada halaman 176.

“Kita telah sama-sama basah. Namun tak akan kubiarkan aku-apalagi kau-tenggelam di laut paling dalam”

Secara umum cerita ini klise seperti pada percintaan beda agama pada umumnya, selain itu, dalam cerita perjuangan Nathan menghilangkan trauma yang dimiliki Puan bagi saya kurang greget, terkesan terlalu gampang atau cepat trauma itu hilang.

Yang membuat menarik dari novel ini adalah penggambaran Halmahera yang mengajak kita mengetahui budaya, bahasa dan makanan penduduk setempat. Dimana penulis menceritakan beberapa kalimat menggunakan bahasa setempat, dan memperkenalkan makanan setempat seperti sabeta atau ulat sagu dan kepiting kenari.



Identitas buku
Judul     : 33 Senja di Halmahera
Penulis   : Andaru Intan
Penerbit  : Gramedia Pustaka Utama
Cetakan   : 2017
Tebal : 192 halaman
ISBN : 978-602-03-4264-1
Peresensi : Ilvi Mariana