Oleh: Almara Sukma Prasintia*

Pengertian Wudhu

Wudhu secara bahasa berasal dari sighat:  وَضُؤَ وُضُوْءًا وَضَاءَةً  artinya bersih. [1]

Dalam kitab Fathul Qorib dijelaskan bahwa lafadz “al-wudlu” dengan terbaca dlammah huruf wawu-nya, menurut pendapat yang paling masyhur adalah nama pekerjaannya. Dan dengan terbaca fathah huruf wawu-nya “al-wadlu” adalah nama barang yang digunakan untuk melakukan wudhu’. Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI), wudhu merupakan menyucikan diri (sebelum shalat) dengan membasuh wajah, tangan, kepala, dan kaki.

Dari pengertian di atas dapat kita ketahui bahwa wudhu merupakan kegiatan bersuci dari hadats kecil dengan cara membasuh anggota badan tertentu dengan air yang suci dan mensucikan disertai dengan niat. Selain untuk membersihkan diri, wudhu juga merupakan syarat sah mengerjakan ibadah, seperti shalat, membaca Al-Qur’an, thowaf, dan lain-lain.

Majalah Tebuireng

Dalam Islam, perintah melaksanakan wudhu ini bersamaan dengan perintah mengerjakan shalat. Oleh karena itu, ulama sepakat bahwa wudhu merupakan syarat sahnya shalat. Perintah melaksanakan wudhu ini terdapat dalam beberapa dalil, di antaranya adalah dalam ayat al-Quran berikut ini:

Allah Subhanahu Wa Ta’ala berfirman:

يٰۤـاَيُّهَا الَّذِيْنَ اٰمَنُوْۤا اِذَا قُمْتُمْ اِلَى الصَّلٰوةِ فَا غْسِلُوْا وُجُوْهَكُمْ وَاَ يْدِيَكُمْ اِلَى الْمَرَا فِقِ وَا مْسَحُوْا بِرُءُوْسِكُمْ وَاَ رْجُلَكُمْ اِلَى الْـكَعْبَيْنِ  ۗ وَاِ نْ كُنْتُمْ جُنُبًا فَا طَّهَّرُوْا  ۗ وَاِ نْ كُنْتُمْ مَّرْضٰۤى اَوْ عَلٰى سَفَرٍ اَوْ جَآءَ اَحَدٌ مِّنْكُمْ مِّنَ الْغَآئِطِ اَوْ لٰمَسْتُمُ النِّسَآءَ فَلَمْ تَجِدُوْا مَآءً فَتَيَمَّمُوْا صَعِيْدًا طَيِّبًا فَا مْسَحُوْا بِوُجُوْهِكُمْ وَاَ يْدِيْكُمْ مِّنْهُ  ۗ مَا يُرِيْدُ اللّٰهُ لِيَجْعَلَ عَلَيْكُمْ مِّنْ حَرَجٍ وَّلٰـكِنْ يُّرِيْدُ لِيُطَهِّرَكُمْ وَ لِيُتِمَّ نِعْمَتَهٗ عَلَيْكُمْ لَعَلَّكُمْ تَشْكُرُوْنَ

Wahai orang-orang yang beriman! Apabila kamu hendak melaksanakan sholat, maka basuhlah wajahmu dan tanganmu sampai ke siku, dan sapulah kepalamu dan (basuh) kedua kakimu sampai ke kedua mata kaki. Jika kamu junub, maka mandilah. Dan jika kamu sakit atau dalam perjalanan atau kembali dari tempat buang air (kakus) atau menyentuh perempuan, maka jika kamu tidak memperoleh air, maka bertayamumlah dengan debu yang baik (suci); usaplah wajahmu dan tanganmu dengan (debu) itu. Allah tidak ingin menyulitkan kamu, tetapi Dia hendak membersihkan kamu dan menyempurnakan nikmat-Nya bagimu, agar kamu bersyukur.”[2]

Selain ayat Al-Qur’an juga terdapat hadis yang menjelaskan perintah berwudhu,

حَدَّثَنَا مُحَمَّدُ بْنُ رَافِعٍ حَدَّثَنَا عَبْدُ الرَّزَّاقِ بْنُ هَمَّامٍ حَدَّثَنَا مَعْمَرُ بْنُ رَاشِدٍ عَنْ هَمَّامِ بْنِ مُنَبِّهٍ أَخِي وَهْبِ بْنِ مُنَبِّهٍ قَالَ هَذَا مَا حَدَّثَنَا أَبُو هُرَيْرَةَ عَنْ مُحَمَّدٍ رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَذَكَرَ أَحَادِيثَ مِنْهَا وَقَالَ رَسُولُ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ لَا تُقْبَلُ صَلَاةُ أَحَدِكُمْ إِذَا أَحْدَثَ حَتَّى يَتَوَضَّأَ

Telah menceritakan kepada kami Muhammad bin Rafi’ telah menceritakan kepada kami Abdurrazzaq bin Hammam telah menceritakan kepada kami Ma’mar bin Rasyid dari Hammam bin Munabbih saudara Wahab bin Munabbih, dia berkata, “Inilah sesuatu yang diceritakan oleh Abu Hurairah kepada kami, dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, beliau bersabda: “Tidak akan diterima shalat seseorang yang berhadas sehingga dia berwudlu.”[3]

Telah dijelaskan dalam kitab Fathul Qorib bahwa Hal-hal yang membatalkan wudhu juga ada 6:

  • Adanya sesuatu yang keluar dari salah satu dua jalan (qubul dan dubur),
  • Tidur dengan keadaan tidak menetapkan pantatnya di lantai (tidur dengan dubur yang tidak menempel di atas tanah),
  • Hilangnya akal,
  • Bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahrom,
  • Menyentuh alat kelamin manusia dengan menggunakan bagian dalam telapak tangan,
  • Menyentuh lubang anus (dubur) menurut qaul jadid.

Yang membatalkan wudhu adalah bersentuhan kulit laki-laki dan perempuan yang bukan mahram. Apabila seorang laki-laki bersentuhan kulit dengan wanita yang mahram seperti: Ibu, saudara kandung, saudara sepersusuan, dan seterusnya, maka tidak batal.

Jadi, hukum persentuhan kulit antara suami dan istri adalah batal karena suami istri bukan mahram. Mahram itu orang yang haram dinikahi. Istri adalah istri dan tentu saja bukan mahram, artinya bukan wanita yang haram dinikahi. Istri itu halal untuk dinikahi, maka halal hukumnya untuk digauli, dicumbu, bahkan disetubuhi.


[1] Ahmad Warson  Munawwir, Kamus al-Munawwir Arab-Indonesia Terlengkap, (Yogyakarta: Pustaka Progerssif, 2002), hal. 1564

[2] QS. Al-Ma’idah 5: Ayat 6

[3] HR. Muslim no. 225


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari