Judul Buku                 : CEKIDOT GUSROWI: Coretan Reflektif,   Menginspirasi, dan                                               Menggerakkan.

Penerbit                     : Ar-Ruzz Media

Tahun Terbit               : 2017

Tebal Buku                 : 172 hlm

Peresensi                   : Fitrianti Mariam Hakim*

Majalah Tebuireng

 

Dalam perjalanan hidup manusia, ada bermacam hal dan peristiwa yang dihadapi. Kesuksesan, kesenangan, kebahagiaan, kesedihan, kekecewaan, kebutuhan, dan lain sebagainya yang datang silih berganti. Bahkan hal-hal yang aneh dan lucu pun kita temukan. Oleh karen aitu, kemampuan untuk mempelajari makna di balik berbagai peristiwa yang dihadapi harus kita asah terus-menerus. Sebab, belajar memaknai pun akan membantu kita untuk dapat melihat sebuah masalah dari perspektif yang berbeda. Yang pada akhirnya, kita akan mempunyai energi dan keyakinan baru untuk melanjutkan langkah.

Sejak SD, kita sering mendengar ungkapan, “Pengalaman adalah guru terbaik.” Terutama saat seseorang mengalami peristiwa yang menuntut adanya refleksi atas kegagalan yang menimpanya dan mengambil pembelajaran, setidaknya agar tidak mengalami kegagalan itu di masa mendatang.  Pertanyaanya, lalu apa proses yang harus dilewati untuk bisa belajar dari pengalaman? Misalnya, apakah cukup dengan nasihat normatif ketika mengalami peristiwa yang sama, tidak melakukan kesalahan yang sama pula?

Dalam masalah ini, Gur Rowi merumuskan, ada tiga proses belajar dari pengalaman, mengalami, merefleksikan pengalaman, dan memodifikasinya. Bagi sebagian orang, proses merefleksikan pengalaman bukanlah hal mudah. Sangat mudah untuk menjelaskan kronologi peristiwa, namun tidak mudah untuk mendapatkan pembelajaran dari peristiwa. Banyak orang yang justru terjebak dengan dampak langsung dari peristiwa. Akibatnya, pembelajaran menjadi tidak mendalam.

Misalnya A mendapatkan pembelajaran dari kegagalan memenangkan lomba memasak nasi goreng. Kekalahan itu karena A kurang memerhatikan takaran garam yang tepat. Sehingga masakannya terlalu asin. Jika A mendapatkan kesempatan mengikuti lomba memasak nasi goreng lagi, maka apa yang harus ia lakukan? Respon cepat terhadap pertanyaan tersebut adalah A akan membuat takaran garam secara khusus agar nasi gorengnya tidak keasinan.

Lalu, apakah dengan menggenggam strategi itu, A terjamin terbebas dari kegagalan lain atau tidak? Gus Rowi menjawab tidak. Karena potensi kegagalan tetap akan mengancam dan bisa terjadi kembali. Dan tentunya, menghitung kegagalan bukan seperti hitung-hitungan matematis: jika A hanya melakukan kesalahan, percobaan berikutnya, fokus pada 1 kesalahan agar tidak terulang lagi.

Mengambil pembelajaran dari nasi goreng yang keasinan, tak cukup hanya melihat faktor garam yang berlebih. Namun, sangat penting membawanya ke ranah yang lebih luas, dengan mengajukan pertanyaan-pertanyaan kritis. Misalnya, bagian mana dalam proses memasak nasi goreng yang membuat A tidak memberikan takaran yang pas? Adakah yang mengganggu A ketika masak? Adakah proses perencanaan yang lengkap? Dengan pertanyaan kritis ini, maka A memiliki gambaran lebih lengkap atas peristiwa kegagalan memasak nasi goreng.

Gus Rowi menjelaskan bahwa pelajaran yang bisa diambil, A memiliki lebih banyak pilihan solusi dan perspektif. Misalnya, Nasi goreng yang keasinan tidak hanya karena takaran garam terlalu banyak. Teburan garam pada masakan merupakan bagian proses memasak secara keseluruhan. Faktor-faktor lain dalam memasak juga harus menjadi perhatian, baik mulai dari perencanaan, urutan memasukka bumbu, serta konsentrasi dan fokus saat memasak.

Ketika masuk fase modifikasi setelah melewati proses refleksi atas pengalaman, maka A mempunyai keleluasaan untuk merekonstruksi proses memasak. Yang mana tidak melulu fokus pada keasinan makanan. Namun juga pada performa masakan keseluruhan. Kemampuan merefleksikan pengalaman sangat menentukan kualitas pembelajarannya. Dan pengalaman tidak akan bisa menjadi guru terbaik, manakala tidak bisa memaksimalkan dan menemukan opsi-opsi memodifikasinya. Sehingga menjadi pengalaman baru yang lebih terkontekstual.

Dari satu tulisan diatas, bisa kita simpulkan bahwa Gus Rowi menyuguhkan sebuah tulisan yang mengajak kita untuk menggali potensi di dalam diri kita. Tulisan-tulisan ini sangat ringan sekali, karena ia berisikan peristiwa-peristiwa keseharian yang ditemui oleh penulis. Tentunya tulisan ini mendokumentasikan pemikiran dan pengalaman Gus Rowi, salah satunya adalah Cara Efektif Belajar dari Pengalaman pada halaman 17.

Keunggulan dari buku ini adalah tulisan yang disuguhkan, dijelaskan dengan bahasa yang jelas dan sangat runtut sekali, sehingga memberikan pemahaman yang jelas kepada pembaca. Ditambah dengan tulisan reflektifnya, dapat membuat pembaca berkaca dan belajar. Berkaca sekali lagi dan belajar kembali. Tentu bukan tunetang jurus sakti menjadi manusia sukses, tetapi bagaimana kita memaknai atas perjalanan hidup, sukses, dan gagal. Sangat menarik sekali.

Selain itu, jika dilihat dari sampulnya, dengan design yang lucu, campuran warna kuning dan putih, ia terlihat seperti buku anak-anak usia remaja. Namun, isi dari buku ini sangat menginspirasi dan menggerakkan untuk semua kalangan. Banyak cerita-cerita pendek yang penuh makna, seperti Spontanitas Itu Refleksi Kejujuran, Bekerja Sama sebagai Gaya Hidup, Kita Pun Bisa Gagal dalam Hal Terbaik, dan sebagainya.


*Tim Redaksi Tebuireng Online