Oleh: Fathurrahman Karyadi*

Alkisah, ada seorang lelaki muda perjaka yang berniat menghabiskan seluruh waktunya untuk beribadah. Seorang nenek merasa iba melihat kehidupannya, lantas ia  membantu pemuda itu dengan membuatkan sebuah pondok kecil. Tak hanya itu ia memberinya makan, sehingga lelaki itu dapat beribadah dengan tenang.

Waktu berjalan dan keduanya masih aktif menjalankan pekerjaannya. Si pemuda tetap beribadah sedangkan si nenek memberinya makanan. Beberapa tahun kemudian, si nenek ingin melihat kemajuan yang telah dicapai lelaki itu. Ia memutuskan untuk mengujinya dengan seorang wanita cantik.

”Masuklah ke dalam pondok,” katanya kepada wanita itu. ”Peluklah ia dan katakan ‘Apa yang akan kita lakukan sekarang’?”

Maka wanita itu pun masuk ke dalam pondok dan melakukan apa yang disarankan oleh si nenek. Lelaki itu menjadi sangat marah karena tindakan yang tak sopan itu. Ia mengambil sapu dan mengusir wanita itu keluar dari pondoknya dengan cara kasar.

Majalah Tebuireng

Ketika wanita itu kembali dan melaporkan apa yang terjadi, si nenek menjadi marah. ”Percuma saya memberi makan pemuda itu selama bertahun-tahun. Ternyata tidak bisa menasehati dengan cara yang bijak,’ ungkapnya.  WaLlahu a’lam.

Dari secuplik kisah di atas menunjukkan adanya kesenjangan yang cukup besar antara taat beribadah dengan memiliki budi pekerti yang luhur. Taat beragama ternyata sama sekali tak menjamin perilaku seseorang. Baik dan buruknya seseorang bukan semata karena agama melainkan diri sendiri. Agama laksana jembatan lurus bagi kehidupan manusia. Entah orang itu berjalan sesuai arah jembatan atau belok ke lain jalur, mandek di tengah-tengah, atau bahkan mundur ke belakang, itu hanya dia yang bisa menentukan.

Kondisi di sekeliling juga sangat penting diperhatikan. Mana mungkin seseorang bisa berjalan sendirian tanpa bantuan orang lain. Sejak kecil ia pasti dibimbing oleh keluarga untuk bisa berjalan, mulai tahapan-tahapan duduk, merangkak, dan jatuh bangun. Bagaimana pula seseorang bisa menempuh perjalanan dengan nyaman tanpa menggunakan alas kaki, busana, bekal atau kendaraan transportasi yang semuanya tentunya melibatkan berbagai belah pihak.

Sebagai umat beragama kita jangan sampai melakukan kesalahan cara berpikir. Banyak orang yang memahami agama dalam pengertian ritual dan fiqih belaka. Dalam konsep mereka, beragama berarti melakukan shalat, puasa, zakat, haji dan  membaca Alquran. Padahal esensi beragama bukan hanya disitu. Esensi beragama justru pada budi pekerti yang mulia.

Kedua, agama sering dipahami sebagai serangkaian peraturan dan larangan. Dengan demikian makna agama telah tereduksi sedemikian rupa menjadi kewajiban dan bukan kebutuhan. Agama diajarkan dengan pendekatan hukum (outside-in), bukannya dengan pendekatan kebutuhan dan komitmen (inside-out). Ini menjauhkan agama dari makna sebenarnya yaitu sebagai sebuah sebuah cara hidup (way of life), apalagi cara berpikir (way of thinking).

Maka seharusnya, agama dipahami sebagai sebuah kebutuhan tertinggi manusia. Tujuan beribadah bukanlah karena ingin surga dan menolak neraka belaka, tetapi karena kita “lapar” secara rohani. Menghadap dan konsultasi kepada Tuhan sambil beramal saleh sosial. Beribadah karena menginginkan kesejukan dan kenikmatan batin yang tiada banding. Kita beribadah karena rindu untuk menyelami jiwa sejati kita dan merasakan kehadiran Tuhan dalam keseharian kita. Kita berbuat baik bukan karena takut tapi karena kita tak ingin melukai diri kita sendiri dengan perbuatan yang jahat itu.

Hakikat beragama sebetulnya adalah berbudi luhur. Karena itu orang yang ”beragama” seharusnya juga menjadi orang yang baik. Itu semua ditunjukkan dengan integritas dan kejujuran yang tinggi serta kemauan untuk menolong dan melayani sesama manusia.

Pada Februari 2010 Pustaka Tebuireng menerbitkan buku yang merupakan kompilasi tulisan Hadratus Syaikh KH. Muhammad Hasyim Asy’ari berbahasa Jawa. Judulnya Beragama yang Baik dan Benar. Point terpenting dalam buku itu adalah, sebagaimana yang dikutip dari kitab Nataij al-Afkar al-Qudsiyyah tentang kriteria memilih guru. Orang yang beragama harus memiliki guru, dan mencari guru pun tidak sembarang orang. Ada beberapa ketentuan yang harus dipenuhi.

Seorang yang beragama pastilah memiliki guru sebagai pembimbingnya. Sehingga segala perbuatannya bisa terpantau dan dapat dinasehati sesuai tuntunan agama. Manusia bermacam-macam, begitu halnya dengan guru. Perbedaan pendapat, prinsip dan amaliyah bisa dipayungi dengan agama. Semua guru benar asalkan mereka patuh dan berpegang teguh pada ajaran agama secara benar. Banyak arah menuju sebuah kota, tidak hanya satu. Ada yang jauh, dekat, sedang, ada juga yang praktis serta rumit berliku-liku. Semua sama akan tertuju pada kota tersebut, tinggal jalur mana yang anda pilih.

Tiga Tipologi “Islam”

Di dalam Al-Quran disebutkan, “Masuklah kalian ke dalam Islam secara penuh (QS al-Baqarah [2]: 208).” Dalam memahami al-silm, Gus Dur sedikit berbeda dengan kalangan tekstualis yang memahami kata tersebut dengan formalisasi syariat.

Menurut Gus Dur, kata tersebut harus dimaknai sebagai kata sifat, yaitu perdamaian yang mempunyai makna bagi universalitas nilai. Tafsir seperti ini mempunyai konsekuensi yang amat penting bagi kebangsaan. Hal ini karena Islam tidak ditilik dari sudut yang sempit, melainkan diteropong dari sudut ruang yang lebih leluasa, terutama dalam konteks keragaman, baik agama, suku, maupun ras.

Islam hadir bukan untuk membentuk sebuah institusi negara, melainkan untuk mendorong terwujudnya nilai-nilai universal. Atas dasar itu pula, NU memandang bahwa solidaritas kemanusiaan (ukhuwwah basyariyyah) merupakan solidaritas yang menempati urutan teratas, lalu solidaritas kebangsaan (ukhuwwah wathaniyyah) dan solidaritas keislaman (ukhuwwah islamiyyah).

Untuk mengetahui corak Islam, perlu kiranya membedah kembali wacana keislaman yang pernah disampaikan alm. KH. Abdurrahman Wahid, yaitu “Islamku, Islam Anda dan Islam Kita”. Yenny Wahid menafsirkan statement itu bahwa yang dikehendaki dengan “Islamku”, adalah keberislaman yang berlandaskan pengalaman pribadi perseorangan. Sebagai sebuah pengalaman, pandangan keislaman seseorang tidak boleh dipaksakan kepada orang lain. Jika dipaksakan, hal itu akan mengakibatkan munculnya dislokasi pada orang lain, yang dapat membunuh keindahan dari pandangannya sendiri.

Kedua, “Islam Anda”, yaitu keberislaman yang berlandaskan keyakinan. Dalam hal ini, harus diakui bahwa setiap komunitas mempunyai keyakinan tersendiri terhadap beberapa hal tertentu. Pandangan kalangan NU bisa berbeda dengan kalangan Muhammadiyah. Namun, perbedaan tersebut tidak dapat dijadikan alasan untuk menebarkan kekerasan di antara satu kelompok terhadap kelompok yang lain. Intinya, keyakinan kelompok tertentu harus dihormati dan dihargai.

Ketiga, “Islam Kita”, yaitu keberislaman yang mempunyai cita-cita untuk mengusung kepentingan bersama kaum muslimin. Kita harus bias menitikberatkan pentingnya menerjemahkan konsep kebajikan umum (al-mashlahah al-‘ammah) sebagai jembatan untuk mengatasi problem Islamku dan Islam Anda.  

Dengan memahami dan menjalani tiga tipologi di atas, semoga kita menjadi umat beragama yang baik dan benar.