(ilustrasi by: arindan/tbi3)

Oleh: Rufki Ade Vinanda*

Generasi Z atau yang lebih akrab kita sebut dengan gen Z (kelahiran 1997-2011) di era saat ini menjadi salah satu kelompok yang kerap menjadi sorotan di media sosial, karena citra buruk mereka atau kerap dicap sebagai generasi pemalas, tak mau bekerja keras, lemah dan memiliki etika yang buruk. Namun, benarkah demikian?

Citra buruk gen Z diawali dari keramaian di media sosial salah satunya di media Twitter. Topik terkait etika buruk dari gen Z bahkan pernah menjadi trending topic di Twitter. Belum lama ini, warga Twitter Indonesia ramai-ramai mengungkapkan keluhan mereka tentang etika buruk gen Z dalam lingkungan kerja.

“Gen Z emang beda, kerja, dikasi gaji yang pantas, tiba2 beberapa hari ga ada kabar, ga ada kerjaan masuk, dihubungin gak bisa.. dicariin ga ditanggepin sama sekali.. kereeeeeeeen,”

“Ngilang abis terima gaji. Kewajibannya ga ada yang dituntasinnn. Diomongin baik-baik, jawabannya “ill try my best”. Ditegur tegas “Sorry kalau emang belum maksimal, kerjaan aku banyak”. NGERIIIII!! Padahal gue bolehin WFA,” cuit salah seorang warganet dengan akun @revina_vt.

Majalah Tebuireng

Cuitan dari akun @revina_vt mengawali pembicaraan maya terkait gen Z hingga menjadi trending topic pada posisi ke-11 dengan jumlah tweet 15,5 ribu kali pada 18 Januari 2023. Posting-an ini mendapatkan banyak sekali respon senada yang juga mengeluhkan tentang etika gen Z dalam lingkungan kerja. Keluhan warganet dan keramaian pembahasan media sosial tentang minimnya tata krama dari generasi Z bukan pertama kali terjadi. Sebelumnya pada 18 April 2022, pembahasan serupa juga sudah ramai dibicarakan. Dan keramaian ini juga sama-sama diawali dari keluhan salah seorang warganet melalui salah satu akun populer yang khusus membahas dunia kerja yaitu akun @hrdbacot.

“Hai mincot. Numpang tanyain ke follower dong min. Pengalaman mereka kerja bareng gen Z. Jujur yak, gua beberapa kali punya anak buah gen z, bikin stressnya ampun-ampunan. Dari attitude sampai skill bikin elus dada semua. Jadi bertanya-tanya, ini semua hen Z levelnya cuma segitu, atau cuma gua aja nih yg apes dapat sampah. Thanks Mincot. Semoga banyak yang minat berbagi pengalamannya, sebagai acuan cari tim baru di kantor.” Keluh warganet melalui screenshot yang diunggah oleh akun @hrdbacot.   

Generasi Z Minim Tata Krama

Hasil riset dari United State (US) atau Amerika Serikat (AS) sebagaimana dilansir dari Satu Persen, Rabu (22/2/2023) telah menemukan bahwa gen Z atau generasi muda memiliki rasa empati 40% lebih rendah dibandingkan generasi sebelumnya yakni generasi Y atau generasi millenial (kelahiran 1981-1995). Banyak pendapat diungkapkan baik oleh para pakar, akademisi maupun masyarakat awam tentang apa yang menyebabkan degradasi atau kemrosotan etika.

Dari berbagai opini yang diungkapkan oleh berbagai kalangan tersebut, media sosial menjadi salah satu yang dinilai menjadi salah satu penyebab terjadinya krisis etika pada gen Z.  Generasi Z bisa dikatakan sebagai kelompok yang sangat akrab dengan media sosial. Mereka merupakan generasi yang lahir dan tumbuh di tengah perkembangan teknologi, hal inilah yang membuat gen Z tidak bisa lepas dari kehidupan internet. Ryan Jenkins (2017) dalam artikelnya berjudul “Four Reasons Generation Z will be the Most Different Generation” menyebut, gen Z menjadikan media sosial sebagai jembatan atas keterasingan, karena semua orang dapat terhubung, berkomunikasi, dan berinteraksi. Internet dan media sosial telah menjadi bagian sendi kehidupan bagi gen Z.

Kedekatan gen Z dengan internet dan media sosial pada dasarnya banyak membawa manfaat positif di antaranya memudahkan komunikasi menembus ruang dan waktu serta sebagai wadah kreatifitas. Namun, di sisi lain, dampak negatif dari media sosial juga cukup signifikan dan tidak kalah banyak dari dampak positif yang didapat. Pada dasarnya generasi ini telah menggunakan teknologi dengan sangat baik akan tetapi mereka kerap menggunakan media sosial dengan tidak bijak dan terlalu bebas. Hal ini karena gen Z menjadi korban over information atau luapan informasi yang nyaris tanpa filter. Dalam situasi luapan informasi memicu orang untuk beradu cepat dalam merespons dan mereaksi segala hal yang ditampilkan media sosial. Apa yang mereka serap di media sosial ini kemudian menjadi pengaruh yang tidak gen Z sadari dalam perilaku mereka di keseharian.

Media sosial tidak mampu menyaring konten dengan muatan negatif, sangat mudah untuk menemukan unggahan dengan penggunaan kata-kata kasar, penggunaan gestur yang bermakna kasar, konten yang mengandung unsur pornografi dan lain sebagainya. Belum lagi saat ini, banyak anak-anak di bawah umur yang diberi akses untuk mengakses media sosial dengan bebas.

Hal inilah yang kemudian diduga telah menjadi salah satu faktor yang membentuk karakter buruk seseorang pribadi generasi muda dan mendegradasi tata krama. Media sosial telah membuka jendela tentang dunia luar dengan sangat luas, dan faktor globalisasi ini tak jarang mempengaruhi kehidupan sosial di kehidupan nyata mulai dari perilaku, cara berbicara, cara berpakaian. Dengan demikian hal tersebut telah mengakibatkan perubahan dalam budaya karena kebiasaan dan etika sosial yang biasa di Indonesia semakin terkikis. Terkikisnya etika sosial memberi efek domino yang menyebabkan penurunan etika moral pada gen Z.

Cap atau citra buruk terkait etika gen Z ini semakin menjadi-jadi karena ukuran etika yang diberikan oleh generasi sebelumnya. Disitat dari BBC, bukti memang menunjukkan bahwa generasi yang lebih muda menunjukkan perilaku yang dianggap sebagai “kelemahan” oleh para generasi yang lebih tua. Bahkan, generasi yang lebih tua ini mengukur perilaku generasi yang lebih muda dengan standar sudut pandang mereka sendiri.

Profesor manajemen di Queensland Institute of Technology, Australia, Peter O’Connor menyebut merupakan sebuah perilaku alami manusia untuk menilai karakter dari orang-orang yang lebih muda dari mereka. Hal tersebut yang melatarbelakangi istilah “anak zaman sekarang”. Generasi terbaru kerap dianggap memiliki kualitas yang tidak sama dengan generasi pendahulunya. Generasi sebelumnya memiliki tendensi untuk membandingkan diri mereka dan menganggap anak muda saat ini adalah “kurang”. Apa yang diungkapakan profesor O’Connor ini telah membantu menjelaskan mengapa gen Z sering kali dianggap sebagai generasi yang lemah.

Penelitian American Psychological Association menemukan bahwa kemampuan mengelola stress dan mencapai gaya hidup sehat semakin menurun di setiap generasi. Bisa dikatakan gen Z ini adalah generasi yang paling stress untuk saat ini, kondisi ini juga berkaitan dengan karakter Gen Z yang tidak memiliki batasan dengan individu lain. Situasi yang dihadapi para gen Z ini menyebabkan mereka tumbuh menjadi pribadi yang labil akibat terpaan informasi yang tanpa filter, cepat berubah dan serba tak pasti (acak).

Gen Z menghadapi banyak penyebab stres dan mereka mengalami versi yang intens akibat media sosial ditambah mereka harus bertumbuh di tengah situasi pandemi Covid-19 yang menyebabkan minim sosialisasi. Sementara generasi yang lebih tua mungkin memiliki lebih banyak perspektif dan pengalaman yang memungkinkan mereka untuk mengatasi perubahan.

Tentunya fenomena krisis etika pada gen Z ini tidak boleh dibiarkan terus terjadi dan menjadi tanggungjawab semua generasi. Tanggungjawab di tingkat paling bawa ada pada tingkatan keluarga. Para orangtua generasi X (kelahiran 1960-1979) dan Y menjadi faktor yang sangat vital dalam membangun karakter baik dan penanaman etika bagi anak-anak mereka. Kedua generasi tersebut memiliki peranan penting dalam membentuk perkembangan manners gen Z.

Lapisan berikutnya adalah lembaga pendidikan atau sekolah, di era saat ini sangat disayangkan karena kerap kali ditemukan guru, dosen atau tenaga pengajar lainnya mengabaikan faktor pendidikan etika pada anak muridnya dan sekedar menyelesaikan mengajar materi. Oleh karena itu sudah menjadi sebuah tanggungjawab dan kewajiban bagi semua tenaga pengajar untuk turut serta membimbing generasi selanjutnya tidak hanya dari sisi materi tapi juga membantu membangun etika moral yang baik bagi individu-individu gen Z agar trend negatif ini tidak berkelanjutan.

*Pengajar di Universitas Amikom Yogyakarta.