Santri Tebuireng sedang belajar memaknai kitab kuning.

Oleh: Faizal Amin*

Di tengah zaman yang semakin maju, teknologi yang semakin canggih, berselancar di internet yang menghabiskan waktu, tanpa terasa kita sedang ditipu. Maka dari itu solusi terbaik ialah kita tetap menggunakan teknologi secara proporsional namun tetap mendapatkan kebaikan.

Dalam kesempatan ini, penulis mengajak para pembaca meluangkan waktu beberapa menit untuk mengaji dan belajar bersama ilmu ushul fiqh, selain untuk memperdalam pengetahuan, ngaji ini bisa melatih kita mengurangi berselancar media sosial.

Secara umum bab dalam bidang keilmuan ushul fiqh ini ada empat. Pertama, dimulai hukum-hukum syariat mulai dari pengertian hukum, hakim, muhkam dan sebagainya. Kedua,  qowaid ushul secara bahasa dan istilah-istilah yang ada di ushul fiqh, mulai dari amar, nahi dzilalah dan sebagainya. Ketiga, sumber-sumber hukum mulai dari al-Quran, hadis, sampai dengan saddu dzaro’i. Keempat, qowaid ushul yang berbentuk tasyrii’yyah, kita akan belajar apa itu ijtihad, taqlid, maqoshid dan lain-lain.

Sebelum kita masuk pada empat bab (praktis) di atas. Mari kita sedikit belajar apa itu ushul fiqh dan faidah mempelajarinya. Definisi ushul fiqh biasanya para ulama menggunakan dua definisi (laqob dan murokab) dalam memahami arti ushul fiqh itu sendiri, namun untuk lebih mudahnya kita ambil satu saja dari dua pengertian tersebut.

Majalah Tebuireng

عرف البيضاوي من الشافعية أصول الفقه بأنه “معرفة دلائل الفقه إجمالًا، وكيفية الاستفادة منها، وحال المستفيد”

Imam Baidhowi dari kalangan syafiiyah mendifinisikan Ushul Fiqh dengan “Mengetahui dalil-dalil yang masih global, dan cara mengambil faidah dari dalil-dalil tersebut, serta keadaan dari orang yang mengambil faidah (mujtahid)[1]

Jadi paling sedikitnya nanti dalam bidang atau fan ilmu ini akan membahas atau mengetahui dalil fiqh yang masih global dan akan membahas pula cara menggunakan dalil tersebut serta akan diterangkan juga tentang kriteria seorang mujtahid atau orang yang dapat mengelola dalil tersebut.

Proses pembuatan (produk hukum) fiqih dan fungsi dari ushul fiqh jika diumpamakan dengan proses pembuatan gula, maka tanaman tebu ibarat al-Quran atau hadis (bahan mentah), pabrik ialah ushul fiqhnya, pengelola pabrik sebagai mujtahid, dan gula merupakan produk fikihnya.

Jadi sebelum menghasilkan produk hukum fiqih dari sebuah dalil, butuh proses dan tahapan yang mendalam, dan pihak yang memproses pun adalah orang-orang yang ahli di bidangnya, seperti proses pembuatan gula maka pabrik butuh orang-orang yang kompeten di dalam nya.

Sedangkan untuk dalil fiqih sendiri terbagi menjadi dua. Pertama, tafshiliah/juz’iah/muayyanah merupakan  dalil yang tentu (khusus) pada satu permasalahan. Contoh:

 أقيموا الصلاة

Laksanakanlah shalat

Ayat ini merupakan dalil dari kewajiban melaksanakan shalat, dan tidak bisa diartikan ayat di atas dalil dari wajibnya zakat, haji dan lainnya, karena memang ayat tersebut khusus menjelaskan tentang kewajiban shalat.

Kedua, ijmaliah/kuliyah/ghoiru mu’ayyanah merupakan sebuah dalil yang tidak tentu pada satu permasalahan saja akan tetapi bisa digunakan untuk berbagai masalah selama masih sesuai. Contoh :

 الأصل في الامر للوجوب

 “Hukum asal dari perintah adalah wajib

Nah, contoh di atas adalah dalil yang tidak tentu pada satu permasalahan, namun bisa masuk di sejumlah permasalahan. Bisa diartikan, selama masih ditemukan fi’il amar maka akan bermakna wajib.

Dan dalil di atas bisa kita praktikkan ke berbagai contoh dan permasalahan

 أقيموا الصلاة ، وأتو الزكاة

Kalimat aqim adalah fiil amar, berarti bermakna wajib, begitupun aatu zakah lafadz tersebut masih amar jadi dimaknai wajib. [2]

Nah adapun faidah dari mempelajari ilmu ini sangatlah banyak di antaranya memahami ilmu agama secara mendalam. Bisa mengetahui hukum dari sesuatu fenomena yang baru muncul dan belum pernah dibahas oleh para ulama. Mengetahui rahasia dan maksud dari syariah yang sebenarnya dan berbagai faidah lainnya.[3] 

Wallahua’lam


[1] الوجيز في أصول الفقه الإسلامي(1/ 23)

[2] تيسراصول الفقه : 7

[3] أصول الفقه الذي لا يسع الفقية جهله : ١٥


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari