Oleh: Almara Sukma Prasintia*

Shalat jama’ah, menurut bahasa adalah shalat yang dilaksanakan bersama-sama. Shalat jama’ah menurut syara’ adalah shalat yang dikerjakan bersama-sama oleh dua orang atau lebih, salah seorang di antaranya bertindak sebagai imam sedangkan lainnya manjadi makmum. Batas minimal pelaksanaan shalat jama’ah adalah dua orang, shalat jama’ah tidak mempunyai batas maksimal. Hukum pelaksanaan shalat jama’ah, ulama berbeda pendapat, ada yang berpendapat fardhu ‘ain, fardhu kifayah, dan sunnah.

Tempat pelaksanaan shalat jama’ah boleh di rumah, musholla, masjid, dan tempat-tempat yang layak lainnya. Akan tetapi tempat  yang paling utama untuk mengerjakan shalat fardhu adalah di masjid, demikian juga shalat jama’ah. Makin banyak jumlah jama’ahnya makin utama dibandingkan dengan shalat jama’ah yang sedikit pesertanya. Hal ini sebagaimana dijelaskan dalam hadis:

وَإِنَّ صَلَاةَ الرَّجُلِ مَعَ الرَّجُلِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ وَحْدَهُ، وَصَلَاتُهُ مَعَ الرَّجُلَيْنِ أَزْكَى مِنْ صَلَاتِهِ مَعَ الرَّجُلِ، وَمَا كَثُرَ فَهُوَ أَحَبُّ إِلَى اللَّهِ تَعَالَى “.

“Sesungguhnya shalat seseorang yang berjamaah dengan satu orang, adalah lebih baik daripada shalat sendirian. Dan shalatnya bersama dua orang jamaah, adalah lebih baik daripada shalat bersama seorang jamaah. Semakin banyak jama’ahnya, maka semakin dicintai oleh Allah Ta’ala.”[1]

Majalah Tebuireng

Shalat berjama’ah sangat besar manfaatnya karena di samping dapat mempererat persaudaraan juga dapat menambah syiar Islam. Dalam sholat berjamaah sudah dijelaskan antara posisi makmum dan posisi imam. Dalam sholat jama’ah juga sudah diatur posisi makmum yang disunnahkan, Yakni hendaknya belakang imam diisi oleh kaum laki-laki meskipun hamba sahaya, kemudian setelah shofnya penuh diisi oleh anak-anak, dan kemudian diisi oleh kaum wanita meskipun barisannya belum penuh.

ويسن إذا تعددت أصناف المأمومين أن يقف خلفه الرجال، ولو أرقاء، ثم بعده – إن كمل صفهم – الصبيان، ثم بعدهم – وإن لم يكمل صفهم – النساء. إلى أن قال…ومتى خولف الترتيب المذكور كره

[البكري الدمياطي ,إعانة الطالبين على حل ألفاظ فتح المعين ,2/31]

disunahkan bila barisan shalat banyak hendaknya belakang imam diisi oleh kaum laki-laki meskipun hamba sahaya, kemudian setelah shofnya penuh diisi oleh anak-anak, dan kemudian diisi oleh kaum wanita meskipun barisannya belum penuh…. Dan bila urutan barisan tersebut disalahi hukumnya makruh.”[2]

Kesungguhan shof harus runtun sesuai urutan, apabila urutan tidak runtut, otomatis akan merubah hukum yang semulanya sunnah menjadi makruh.

Dalam pelaksanaan shalat jama’ah shof jangan terlalu renggang, shof harus lurus sejajar tidak ada yang menonjol. Sebagaimana dijelaskan dalam hadis:

حَدَّثَنَا مُوسَى بْنُ إِسْمَعِيلَ حَدَّثَنَا حَمَّادٌ عَنْ سِمَاكِ بْنِ حَرْبٍ قَالَ سَمِعْتُ النُّعْمَانَ بْنَ بَشِيرٍ يَقُولُ

كَانَ النَّبِيُّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يُسَوِّينَا فِي الصُّفُوفِ كَمَا يُقَوَّمُ الْقِدْحُ حَتَّى إِذَا ظَنَّ أَنْ قَدْ أَخَذْنَا ذَلِكَ عَنْهُ وَفَقِهْنَا أَقْبَلَ ذَاتَ يَوْمٍ بِوَجْهِهِ إِذَا رَجُلٌ مُنْتَبِذٌ بِصَدْرِهِ فَقَالَ لَتُسَوُّنَّ صُفُوفَكُمْ أَوْ لَيُخَالِفَنَّ اللَّهُ بَيْنَ وُجُوهِكُ

Telah menceritakan kepada kami Musa bin Isma’il telah menceritakan kepada kami Hammad dari Simak bin Harb dia berkata; Saya telah mendengar An-Nu’man bin Basyir berkata; Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam biasa meluruskan shaf kami, sebagaimana beliau meluruskan anak panah, sehingga setelah beliau merasa bahwa kami telah memenuhi perintahnya dan memahami benar benar, tiba tiba pada suatu hari beliau menghadapkan wajahnya kepada kami dan melihat masih ada seseorang yang menonjolkan dadanya ke depan, maka beliau bersabda: “Hendaklah kalian meratakan shaf, atau (kalau tidak), maka Allah akan merubah wajah-wajah kalian.”[3]


1] Hr. Abu Dawud no. 554

[2] I’aanah at-tholibbin 2/31

[3] HR. Abu Dawud no. 567


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari