Oleh: Quratul Adawiyah*

Kematian adalah sesuatu yang pasti dan tidak ada seorang pun yang akan luput dari kematian, semua makhluk Allah akan merasakan dan mengalaminya, sebagaimana ditegaskan oleh al-Quran: “Setiap yang bernyawa pasti akan merasakan mati. Dan hanya pada hari kiamat sajalah diberikan balasanmu. Barangsiapa dijauhkan dari neraka dan dimasukkan ke dalam surga, sungguh ia telah meraih kemenangan. Kehidupan dunia itu hanyalah kesenangan yang memperdaya.” (QS. Ali Imran: 185).

Meskipun demikian, manusia tidak pernah mampu mengetahui dan bisa mendeteksi kapan dia akan dijemput oleh malaikat Izrail karena ini merupakan rahasia Allah, hanya Dia semata yang mengetahui kapan kita akan menghadap-Nya. Kematian juga tidak memandang usia dan jenis kelamin, anak-anak atau dewasa, orang tua, laki-laki atau perempuan, sudah menikah atau belum, masih gadis atau janda.

Kematian tidak mengenal waktu dan tempat, tidak pula bisa ditangguhkan kehadirannya dan tidak juga dapat dimajukan walau sesaat. Artinya dia datang menjemput secara tepat waktu di mana saja dan kapan saja sesuai dengan janji dan keputusan Allah Swt, sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran: “Apabila ajalnya tiba, mereka tidak dapat meminta penundaan atau percepatan sesaat pun.” (QS. al-A’raf: 34).

Manusia mengalami kehidupan dan kematian dua kali, kematian pertama dialami oleh manusia sebelum kelahirannya, atau saat sebelum Allah menghembuskan ruh kehidupan kepadanya, sedang kematian kedua, saat ia meninggalkan dunia yang fana ini. Kehidupan pertama dialami oleh manusia pada saat manusia menarik dan menghembuskan nafas di dunia, sedang kehidupan kedua saat ia berada di alam barzakh atau kelak ketika ia hidup kekal di akhirat.

Majalah Tebuireng

Takut mati secara umum dapat dikatakan bahwa pembicaraan tentang kematian bukan sesuatu yang menyenangkan, karena naluri manusia menginginkan hidup seribu tahun lagi, sehingga banyak faktor yang membuat seseorang enggan dan takut mati. Mungkin karena ia tidak mengetahui apa yang akan dihadapinya setelah kematian, mungkin juga karena menduga bahwa yang dimiliki sekarang lebih baik dari yang akan dihadapi nanti. Atau mungkin juga karena membayangkan betapa sulit dan pedih pengalaman mati dan sesudah mati. Atau mungkin karena khawatir memikirkan dan prihatin terhadap keluarga yang ditinggalkan, atau karena mungkin tidak mengetahui makna hidup dan mati, dan sebagainya, sehingga semuanya merasa cemas dan takut menghadapi kematian.

Padahal kematian dalam Islam bukanlah sesuatu yang buruk, karena tujuan diciptakannya kehidupan dan kematian adalah ujian buat hambanya agar diketahui siapa di antara kita yang lebih baik amalnya. Kemudian di samping mendorong manusia untuk meningkatkan pengabdiannya dalam kehidupan dunia ini, ia juga merupakan pintu gerbang untuk memasuki kebahagiaan abadi, serta mendapatkan keadilan sejati.

Dengan demikian, kematian bukanlah sesuatu yang harus ditakuti dan dikhawatirkan karena ia merupakan karunia Allah. Bagi yang berbuat baik akan mendapatkan pahala sesuai dengan amalannya, begitu juga sebaliknya. Al-Quran berulang kali menekankan bahwa kehidupan ukhrawi jauh lebih bahagia dan sempurna daripada kehidupan duniawi. Dan tidak ada jalan lain menuju kebahagiaan itu kecuali melalui kematian. Tanpa kematian, manusia tidak akan berpikir tentang apa sesudah mati, dan tidak akan mempersiapkan diri menghadapinya.

Dalam menghadapi kematian, yang perlu dipersiapkan adalah bekal, sebagaimana ungkapan orang bijak: “Bawalah bekal ketika kamu hendak pergi, dan bawalah amal ketika akan mati”, dan tentunya sebaik bekal adalah amal ibadah dan ketakwaan kepada Allah. Yang perlu diingat adalah bahwa dunia ini hanya tempat persinggahan dan tempat bersandiwara, sedangkan hari akhirat bersifat abadi. Rumah megah, mobil mewah, takhta, harta, kecantikan semuanya akan kita tinggalkan, hanya kain kafan yang melekat pada jasad kita.

Maka dalam hidup ini jauhkan diri dari sifat angkuh dan sombong, lupakan semua simbol-simbol keduniaan yang melambangkan status sosial, jagalah hubungan baik dengan Allah dan juga sesama manusia, bukankah Allah telah banyak memberi contoh dalam Al-Quran mengenai kehebatan manusia yang tiada tara seperti Firaun, kaum ‘Ad, Tsamud, Qarun, namun karena keangkuhan dan kesombongannya Allah binasakan mereka hanya dalam hitungan detik.

Imam Ghazali menggambarkan bahwa kehidupan manusia di muka bumi ini ibarat penumpang sebuah kapal yang sedang berlayar menuju sebuah tempat yang jauh dan abadi, namun kapal tersebut berhenti sejenak di sebuah pulau kecil, kemudian nakhoda kapal memberi aba-aba dan mengumumkan kepada penumpang bahwa perjalanan masih jauh, dia mempersilahkan penumpang turun untuk berbelanja mencari bekal dalam waktu yang terbatas. Di antara penumpang ada yang memaksimalkan waktu dengan sebaik-baiknya, namun tidak sedikit dari penumpang yang lupa dan lalai akan limit waktu yang diberikan sehingga waktunya habis sia-sia begitu saja.

Inilah tamsilan (perumpamaan) mengenai kehidupan manusia di muka bumi ini, sebagian menyadari bahwa hidup ini hanya sementara sehingga dia menggunakannya seefisien mungkin, dia selalu melaksanakan perintah Allah dan RasulNya, serta meninggalkan laranganNya. Sehingga ketika menghadapi kematian, dia sudah memiliki bekal dan tersenyum karena akan menempati surga yang Allah janjikan.

Namun ada juga sebaliknya, dia kurang menyadari dan hanya menghabiskan umurnya untuk berhura-hura dan maksiat kepada Allah, seperti terlibat narkoba, perjudian, korupsi, pergaulan bebas, perzinaan dan lain-lain. Sehingga ketika ajal tiba, dia menyesal dan memohon kepada Allah untuk diberikan kesempatan hidup walau hanya sedetik, maka sungguh merugi orang-orang seperti ini.

Semua orang menginginkan mati dalam keadaan husnul khatimah, maka satu-satunya jalan menuju itu adalah berbuat baik di manapun dan kapan pun.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari