Oleh: Ibnu Ubai*

Hidup sering kali berjalan tidak sesuai dengan apa yang kita rencanakan. Bahkan rencana yang kita rencanakan, yang sudah dibuat skejul ataupun sudah disusun secara sistematis malah tidak sesuai apa yang kita inginkan, bahkan ada yang sampai gagal dengan aturan yang kita buat (ambyar). Kadang juga ada yang berjalan mulus di awal proses dan di pertengahan malah gagal dan rusak tidak seperti yang diinginkan.

Memang manusia hanya bisa menyusun rencana dan terus berikhtiar dengan caranya sendiri, ketetapan Allah atau kekuasaan Allah bisa meruntuhkan aturan kita kapan saja. Sebagaimana Allah SWT berfirman dalam Surah Ar-Ra’du ayat 11:

….اِنَّ اللّٰهَ لَا يُغَيِّرُ مَا بِقَوْمٍ حَتّٰى يُغَيِّرُوْا مَا بِاَنْفُسِهِمْۗ… الآية

Majalah Tebuireng

Artinya : “Sesungguhnya Allah tidak akan mengubah keadaan suatu kaum sehingga mereka mengubah keadaan yang ada pada diri mereka sendiri.”

Ayat ini menjelaskan bahwa jika seseorang menginginkan sesuatu, misalnya perubahan nasib, mendapatkan rezeki, ilmu, kelulusan ujian, kesehatan, dan sebagainya, maka ia harus melakukan suatu usaha secara aktif dan nyata, dan inilah yang disebut ikhtiar atau usaha lahiriah.

Akan tetapi kita kerap sekali mencemaskan berbagai hal dalam kehidupan. Seperti rezeki, jodoh, keturunan, ujian dan berbagai hal permasalahan dan kebutuhan yang kita lalui setiap hari-hari ataupun yang akan datang. Padahal menurut Syekh Ibnu Athaillah, hasil dari semua apa yang kita ikhtiar itu sama pastinya dengan ajal yang akan mendatangi kita. Jadi, kita tidak perlu mencemaskan segala suatu yang sejatinya telah ditetapkan oleh Allah SWT. Meski demikian, bukan berarti pasrah dan tidak melakukan apa-apa ataupun usaha dan ihktiar sama sekali dalam setiap kegiatan atau setiap langkah yang akan kita jalani.

Sebab, jika kita terlalu menganggap bahwa hidup kita selayaknya wayang, yang segala geraknya ditentukan oleh dalang, kalau seperti itu kita bisa termasuk golongan kaum Jabariyyah, jika kita terlalu berpegang pada ikhtiar dan kemampuan kita sebagai manusia lemah ini, kita akan dianggap dalam kelompok Qadariyyah.

Oleh karena itu, Allah berfirman dalam surat Al-A’raf ayat 96:

وَلَوْ اَنَّ اَهْلَ الْقُرٰٓى اٰمَنُوْا وَاتَّقَوْا لَفَتَحْنَا عَلَيْهِمْ بَرَكٰتٍ مِّنَ السَّمَاۤءِ وَالْاَرْضِ وَلٰكِنْ كَذَّبُوْا فَاَخَذْنٰهُمْ بِمَا كَانُوْا يَكْسِبُوْنَ

Artinya : “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.”

Berikhtiar adalah wajib. Maka, barangsiapa mau berikhtiar, ikhtiarnya akan dicatat sebagai ibadah. Jika ikhtiarnya membuahkan hasil, maka setidaknya iya akan mendapatkan 2 (dua) keuntungan. Akan tetapi sisanya kita tetap berdoa kepada Allah SWT, jangan hanya ikhtiar dan tidak disandarkan kepada Allah maka itu sama saja kita yang menginginkan urusannya lancar tanpa melibatkan Allah.

Sebagaimana dalam Surat Al-Ghofir ayat 60 sebagai berikut :

وَقَالَ رَبُّكُمُ ادْعُوْنِيْٓ اَسْتَجِبْ لَكُمْ ۗاِنَّ الَّذِيْنَ يَسْتَكْبِرُوْنَ عَنْ عِبَادَتِيْ سَيَدْخُلُوْنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيْنَ

Artinya : “Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu (apa yang kamu harapkan). Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk (neraka) Jahanam dalam keadaan hina dina.”

Di antara keuntungan jikalau kita berikhtiar ataupun segala suatu dibarengi dengan doa. Pertama, ia akan memperoleh pahala dari Allah. Kedua, ia akan mendapatkan keberhasilan atau manfaat dari apa ia yang telah ia lakukan. Tetapi jika ikhtiar belum berhasil, maka ia akan mendpatkan pahala dari Allah. Jika sabar, maka ia akan mendapatkan pahala yang berlipat.

Selain melakukan ikhtiar dan doa kepada Allah dalam upaya kita melepaskan diri dari perbuatan yang tidak diinginkan yakni mengikuti apa yang Allah atur dalam takdir itu sudah dijelaskan dalam Surat Al-imran , ayat 159, Allah berfirman :

…….فَاِذَا عَزَمْتَ فَتَوَكَّلْ عَلَى اللّٰهِ ۗ اِنَّ اللّٰهَ يُحِبُّ الْمُتَوَكِّلِيْن

Artinya : “Kemudian, apabila engkau telah membulatkan tekad, bertawakallah kepada Allah. Sesungguhnya Allah mencintai orang-orang yang bertawakal.

Menurut Imam Hambali, tawakkal merupakan perbuatan hati, tawakal bukan sesuatu yang diucapkan oleh lisan semata, bukan pula sesuatu yang dilakukan oleh anggota tubuh. Tetapi sekali lagi, tawakal merupakan perbuatan hati sehingga tidak bisa diwujudkan dalam bentuk fisik, seperti berdiam diri tanpa melakukan seuatu ikhtiar lahiriah. Artinya tawakal tidak meniadakan ikhtiar.

Jika kita renungi dengan seksama, seperti menginginkan sesuatu, misalnya perubahan nasib, mendapatkan rezeki, ilmu, kelulusan ujian, kesehatan, dan sebagainya, ini bisa masuk dalam fasal ke 4 dalam kitab Al-Hikam karya Ibnu Athoillah As-Sakandari yang berbunyi:

أرح نفسك من التدبير، فما قام به غيرك عنك لا تقم به لنفسك

Artinya : “Istirahatkanlah dirimu dari kesibukan mengurusi dunia, apa yang telah Allah atur tidak perlu kau sibuk ikut campur.”

Ibnu Athoillah mendorong kita untuk memasrahkan urusan duniawi yang Allah sudah atur, dan hendaknya kita tidak perlu ikut dan sibuk mengurusinya, karena Allah sudah menakar semua apa yang ada di dunia ini, tugas kita hanya ikhtiar dan berusaha sebaik mungkin, untuk hasil kita serahkan kepada Allah Swt.

Dan yang dimaksud At-tadbir (mengatur diri sendiri) dalam hikmah di atas yakni suatu perbuatan yang tidak dibarengi At-tafwid (menyerahkan kepada Allah). Apabila At-tadbir dilakukan dengan perbuatan At-tafwid maka itu diperbolehkan, sebagaimana Rasulullah bersabda:

التّدبیر نصف العیش

Artinya: “Mengatur apa yang menjadi keperluan itu sebagian dari hasilnya mencari ma’isah/penghidupan.”

Ketetapan Allah yang sudah ditetapkan dalam urusan duniawi yang mereka jalani. Seseorang menentukan pada dirinya sendiri berdasarkan atas kehendak syahwatnya saja akan mengosongkan hatinya dari Allah.

Pengaturan diri sendiri atau At-tadbir itu berhubungan dengannya dari segi tingkah laku dan pengamalannya. At-tadbir ini sebenernya ada baiknya dan tidak, menurut Syekh Zaruk di dalam menjelas At-tadbir ini ada 3 (tiga) pembagian:

At-tadbir madmum (dicela)

At-tadbir Matlub (diperintahkan)

At-tadbir mubah (diperbolehkan)

Dan bisa kita lihat bahwa setiap pengaturan (tadbir) ada yang bersifat sudah ditetapkan dan ada juga yang memaksa dalam kehendaknya.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari