sumber gambar: www.google.com

Oleh: Fitrianti Mariam Hakim*

Perempuan menampakkan payudaranya di depan orang lain dengan alasan menyusui sang bayi adalah salah satu kasus di masyarakat yang sering kali terjadi. Saking lumrahnya masyarakat tidak lagi mempersoalkan hal ini. Bagaimanakah tanggapan fikih mengenai fenomena ini? Simak pembahasan kali ini!

Sore itu, Udin benar-benar terjebak. Di saat dia naik bus kota jurusan Probolinggo-Surabaya, tanpa disengaja, sorot matanya tertuju pada salah seorang penumpang bus yang duduk di baris paling depan. “Astaghfirullah…” ungkapnya kaget sambil melotot dengan fokus pandangan yang agak grogi. Nampaknya, Udin melihat seorang Ibu yang sedang menyusui anaknya.

Dengan santainya si Ibu menyusui sang bayi tanpa menggunakan penutup, auratnya pun tersingkap sehingga terlihat oleh Udin dengan jelas, atau bahkan orang lain yang di sekitar ibu tersebut. Pertarungan antara iman dan eman bergejolak dalam diri Udin. Tidak mau melihat, tetapi sudah kadung melihatnya. Mau dilihat tetapi takut dosa, “dilema,” ungkapnya agak kesal.


Pembaca sekalian, apa yang dialami Udin adalah salah satu dari sekian banyak orang yang pernah mengalami hal yang sama. Dan tidak bisa dipungkiri bahwa ilustrasi di atas adalah pengalaman yang sering terjadi di berbagai tempat dengan pemeran utama yang berbeda-beda. Si perempuan yang mengumbar aurat dengan dalih menyusui anak, dan si laki-laki yang tidak mau menyia-nyiakan peluang emas dengan alasan tidak sengaja melihat.

Majalah Tebuireng

Kenyataan ini memang sangat memilukan serta meresahkan. Ilutrasi singkat di atas mengindikasikan bahwa untuk saat-saat ini, aurat perempuan bak di film lagi tayang senantiasa menjadi tontonan wajib untuk semua kalangan tanpa ada sekat pemisah baik secara usia maupun tempat. Lantas bagaimana fikih memotret fenomena di atas? Apakah boleh menampakkan payudaranya di tempat umum? Seperti di pasar-pasar, angkutan umum dan lain sebagainya dengan alasan menyusui sang anak? Serta bagaimanakah solusinya?

Untuk menjawab beberapa permasalahan tersebut, kita harus tahu bahwasanya ijma (konsensus) ulama telah menetapkan kewajiban menutup aurat bagi perempuan. Ijma’ ini didasarkan terhadap firman Allah swt.

يا أيها النبي قل لأزواجك و بناتك و نساء المؤمنين يدنين عليهن من جلابيبهن ذلك أدني أن يعرفن فلا يئذين و كان الله غفورا رحيما

“Hai Nabi katakanlah kepada istri-istrimu, anak-anak perempuanmu dan istri-istri orang mukmin: “Hendaklah mereka mengulurkan jilbabnya ke seluruh tubuh mereka.” Yang demikian itu supaya nereka lebih mudah untuk dikenal, karena itu, mereka tidak diganggu. Dan Allah adalah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (Q.S. Al-Ahzab: 59)

Berdasarkan ayat di atas, perempuan diperintahkan untuk menutup seluruh auratnya. Jilbab yang dimaksud dalam ayat ini adalah baju kurung yang bisa menutupi seluruh anggota badan. Berdasarkan konteks sebab turunnya ayat ini, penggunan jilbab bertujuan sebagai penanda bahwa perempuan tersebut adalah perempuan merdeka (al-hurrah). Karena di zaman Nabi, perempuan jarang sekali menggunakan busana yang menutupi seluruh anggota badannya selain wajah dan telapak tangan. Akibatnya, mereka sulit untuk dibedakan  antara perempuan merdeka atau budak. Dengan menutupi seluruh tubuhnya, perempuan tersebut akan terpelihara dari berbagai gangguan tangan usil, kata-kata tidak pantas, senonoh, dan niat jahat. Ini berdasarkan keterangan dalam kitab Fath al-Qadir hal. 79.

Menurut Imam al-Qurthubi ayat yang seirama dengan kewajiban di atas adalah firman-Nya :

يا بني آدم قد أنزلنا عليكم لباسايواري سوآتكم وريشا

“Hai anak Adam, sesungguhnya kami telah menurunkan  kepadamu pakian untuk menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan.”

Sedangkan yang dimaksud dengan aurat (عورات) secara semantis terambil dari kata (عار) yang berarti aib atau sesuatu yang tidak pantas. Dari segi hukum, aurat adalah bagian tubuh dari manusia yang wajib ditutup.

Akan tetapi para ulama berbeda pendapat terkait batasan aurat perempuan. Menurut jumhur ulama, aurat perempuan di dalam shalat maupun di hadapan laki-laki ajnaby (bukan suami atau mahram) adalah seluruh badannya kecuali muka dan dua telapak tangan. Salah satu dasar argumentasi jumhur adalah hadis nabi yang dijelaskan dalam kitab Sunan al-Kubra li al-Baihaqi, juz 2 hal. 226.

إن المرأة إذا بلغت المحيض لم يصلح أن يرى منها إلا هذا و هذا

“Sesungguhnya apabila perempuan telah sampai pada usia haid, maka dia tidak boleh untuk dilihat. Kecuali ini (Nabi menunjuk muka dan dua telapak tangan.”

Berdasarkan alur berpikir di atas, maka bisa ditarik sebuah jawaban bahwa perempuan yang menampakkan payudaranya di hadapan ajnabiy ketika menyusui bayinya adalah haram. Karena kalau kita mengikuti pendapat jumhur terkait dengan batasan aurat perempuan, maka payudara termasuk aurat yang wajib ditutupi.

Akan tetapi boleh saja menampakkan payudara asalkan di hadapan mahramnya. Karena aurat perempuan di hadapan mahramnya adalah anggota badan yang berada di antara pusar dan lutut. Kebolehan melihat selain aurat di sini berlaku jika tidak timbul syahwat, jika timbul syahwat maka haram. Syahwat yang dimaksud adalah tergeraknya hati terhadap keinginan untuk berjima’ baik dibarengi dengan istinsyar-nya dzakar atau tidak, serta baik dibarengi dengan tampaknya madzi atau tidak.

Lantas bolehkah menampakkan payudara di tempat-tempat umum dengan alasan hajat atau darurat? Pada dasarnya syara’ memberikan ruang gerak kepada kaum hawa untuk membuka aurat di saat dalam kondisi emergency (darurat). Seperti untuk keperluan pengobatan dan khitan. Dalam terminologi fikih, darurat adalah suatu kondisi yang apabila tidak dilakukan, maka seseorang akan ditimpa kesulitan dimana tidak ada sesuatu apapun yang bila mengganti hal tersebut kecuali melakukan hal itu. Sebagian pakar fikih juga mendefinisikan darurat sebagai suatu kondisi yang bisa mengakibatkan hilangnya nyawa atau hilangnya anggota badan. Sebuah kaidah fikih yang mengatakan:

الضرورات تبيح المحظورات

“Kemudharatan bisa membolehkan perbuatan yang dilarang.”

Berdasarkan kaidah ini, perempuan boleh saja membuka auratnya dalam situasi darurat. Dijelaskan dalam Nadham al-Qawa’id al-Fiqhiyyah hal. 59, bahwa ulama juga membolehkan membuka aurat karena ada kebutuhn (al-hajah), seperti ketika mandi, membuang air kecil dan besar, serta berhias. Namun, kebolehan itu berlaku ketika tidak ada orang sama sekali (khalwat). Hajat didefinisikan sebagai suatu keadaan yang menuntut pada kemudahan untuk mencapai tujuan. Kedudukan hajat terkadang diposisikan sama seperti dharurat. Sebuah kadiah fikih berbunyi:

الحاجة تنزل منزلة الضرورة عامة كانت أو خاصة

“Kebutuhan terkadang diposisikan seperti dharurat, baik secara umum maupun khusus.”

Dari kaidah ini bisa ditarik kesimpulan bahwa terkadang hajat juga bisa membolehkan sesuatu yang dilarang sebagaimana darurat. Lalu bagaimana dengan menampakkan payudara untuk kepentingan menyusui anak. Apakah termasuk dalam kategori darurat atau yang lainnya? Jawabnya dipilah.

Artinya menyusui anak di depan khalayak ramai bisa saja dalam kategori darurat. Misalkan kalau sampai tidak menyusui bayi akan terus menerus menangis sehingga akan mengganggu orang-orang di sekitarnya. Maka dalam situasi seperti ini, si ibu boleh-boleh saja menyusui sang anak.

Tetapi menurut az-Zarqa’, kasus ini bisa masuk dalam kategori hajat yang hanya sekadar menuntut kemudahan sama seperti aurat untuk kepentingan mandi, membuang air kecil dan besar serta berhias. Dalam konteks ini, menampakkan payudaranya untuk menyusui anak adalah diperbolehkan selama ia tidak dilihat oleh orang lain (ajnabiy).

Adapun titik keharaman melihat aurat perempuan adalah adanya kekhawatiran akan terjadi fitnah. Baik kekhawatiran itu jarang terjadi atau sering terjadi. Standarisasi kekhawatiran adalah kekhawatiran adanya dorongan terhadap diri seseorang untuk menyentuh atau berkhalwat berdua-duaan dengan perempuan tersebut.

Kesimpulannya, untuk ibu-ibu yang menyusui sang buah hati, hendaknya menjaga diri dengan semaksimal mungkin auratnya agar tidak kelihatan oleh siapapun di tempat umum. Caranya adalah dengan menggunakan busana yang bisa menutupi payudara dari pandangan orang lain. Sang ibu dianjurkan untuk menyediakan DOT sebagai asi alternatif.

Begitupun dengan kaum adam, menjaga pandangan adalah sikap terbaik yang harus lakukan. Jika pun sudah terpaksa melihat sebaiknya segera memalingkan diri. Sebab pencegahan adalah lebih baik daripada menghilangkan. Wallahu a’lam.

*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.