Sumber gambar: http://www.hukumonline.com/berita/baca/lt58636cf3cc4d7/uu-ite-baru-dan-risiko-hukum-bagi-pengguna-media-sosial

Oleh: Muhammad Masnun*

Media sosial pada zaman milenial ini sudah menjadi makanan sehari hari. Dimulai dari pagi setelah bangun tidur hingga malam sebelum terlelap. Segala hal telah tersedia di sana, mulai dari curhatan hati hingga jual beli. Tersebar pula dakwah yang membangun keimanan ataupun hoaks yang dianggap serius.

Akun sosial media seperti Instagram didesain khusus untuk tempat unggah foto atau video. Sosok KH. Ahmad Mustofa Bisri yang akrab dipanggil Gus Mus pun aktif di Instagram. Akun pribadi beliau adalah “s.kakung”. Beliau menggunakan akun Instagramnya untuk silaturahmi dan talabul ilmi wal ma’rifah. Namun ada saja orang yang memanfaatkan kealiman beliau untuk mendapatkan keuntungan pribadi. Muncul akun “gusmusgusmu” untuk menyebarkan kata-kata vulgar dan berjualan. Akun yang dibuat oleh entah siapa dan entah dari mana.

Di sisi lain, hampir setiap hari muncul foto-foto “cewek cantik” di timeline ataupun story. Entah penyebaran itu melalui publikasi ulang (repost) ataupun publikasi langsung. Mirisnya lagi pengelola akunnya malah laki-laki. Mereka sengaja mengunggah ulang foto-foto “cewek cantik” untuk meningkatkan pengikut (follower). Bila pengikutnya sudah banyak maka akun tersebut akan dijual. Harganya pun bervariasi, mulai dari seratus ribu hingga satu juta, bergantung pada berapa banyak pengikut yang dimiliki.

Kebanyakan akun tersebut melakukan publikasi ulang tanpa melakukan izin kepada pemilik akun. Hal ini sebenarnya sudah menyalahi aturan Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (ITE) dan revisinya, yakni Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016.  Dalam pasal 32 ayat 1 disebutkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun mengubah, menambah, mengurangi, melakukan transmisi, merusak, menghilangkan, memindahkan, menyembunyikan suatu Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik milik orang lain atau pemilik publik. Kemudian di ayat 2 pasal 32 diungkapkan bahwa setiap orang dengan sengaja dan tanpa hak atau melawan hukum dengan cara apa pun memindahkan atau mentransfer Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik kepada Sistem Elektronik orang lain yang tidak berhak.

Majalah Tebuireng

Dari undang-undang tersebut, bisa diambil keterangan bahwa orang yang mengunggah foto orang lain secara tanpa izin adalah melanggar hukum. Foto seseorang merupakan bagian dari Dokumen Elektronik. Namun ayat ini berlaku dengan delik aduan, yakni sanksi akan berlaku apabila ada orang yang mengajukan gugatan terhadap pihak yang menyalahgunakan Dokumen Elektronik.

Lebih dalam lagi, masih dalam Instagram, malah ada yang sengaja berjualan “gambar fisik manusia”. Pemerintah juga sudah mengatur dengan Undang-Undang Nomor 44 Tahun 2008 tentang Pornografi. UU Pornografi ini mengikuti aturan Hukum Acara Pidana, tanpa ada pengaduan oleh seseorang atau masyarakat tetap berlaku. Namun aturan ini masih belum terlaksana sepenuhnya. Perhatian pemerintah terhadapnya masih minim. Menunggu video viral terlebih dahulu, baru diproses secara hukum. Padahal 16,68 persen pengguna internet Indonesia masih berumur 13-18 tahun, berdasarkan hasil survey Asosiasi Penyelenggara Jasa Internet Indonesia (APJII). Generasi penerus bangsa akan terancam terjerumus ke dalam dunia hitam bila tidak dikontrol dan didampingi dengan baik.

Fisik tubuh manusia perlu dijaga dengan baik. Islam sering mengungkapkan dengan kata “aurat”. Imam Asy Syairozi dalam kitabnya Al Muhadzab, disebutkan bahwa aurat adalah segala sesuatu yang menjadikan seseorang malu ketika dibuka, termasuk pula selain tubuh fisik manusia. Berarti aurat itu ada dua, pertama fisik manusia dan kedua non fisik. Fisik berarti perlu ditutupi yang perlu dan non fisik sering dikatakan dengan aib. Patokan standar aurat menurut Adul Aziz al Khuli adalah sesuatu yang ketika ditutupi itu lebih memilik maslahat daripada dibuka.

Sayangnya di Indonesia masih belum menjalankan aturan dengan seutuhnya. Aturan-aturan negara maupun agama digunakan untuk menjadikan manusia lebih bermartabat. Dalam kitab Jam’ul Jawami’ manusia diartikan sebagai “hewan berakal”. Akalnyalah yang membedakan antara manusia dan hewan. Bila sudah mengerti aturan-aturan yang ada, bagaimanakah sikap kita? Apakah menjadi manusia dengan seutuhnya? Ataupun setengah manusia.


*Mahasantri Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng Jombang.