Oleh: Bajoel segoro

Antara padepokan, pondok pesantren, dan boarding school. Apa hal yang membedakan dari ketiga lembaga pendidikan berikut. Kemudian apa pula yang melatarbelakangi penyebutan istilah untuk lembaga-lembaga pendidikan tersebut?

Barangkali untuk dua istilah di awal adalah yang sering kita dengar di telinga. Bahwa keduanya adalah lembaga pendidikan berbasis agama, yang menganut tradisi lama dan memberlakukan gaya klasik. Kemudian berlanjut pada sekilas definisi boarding school, bahwa lembaga ini sebetulnya tak jauh berbeda dengan lembaga pendidikan yang pertama dan kedua. Yakni sama-sama menganut tradisi lama (namun oleh mereka ditampik dan menjadi mengadopsi) dan memberlakukan sedikit modifikasi dengan gaya modern, dengan teknis ala sekolah Barat yang menawarkan sebuah konsep-konsep pengenalan sains.

Kembali ke pembahasan awal, yakni apa yang membedakan di antara tiga lembaga pendidikan yang pada hakikatnya adalah sama-sama memberadabkan manusia, mencerdaskan kepribadian manusia dan menjadikannya mengerti bahwa dirinya adalah manusia.

Majalah Tebuireng

Jamak kita ketahui, bahwa ada beberapa golongan orang yang lebih bangga mendapat level “anak pondokan”, bahkan ada pula yang melebihi kebanggaannya jika dengan gaya dada membusung lalu berujar, “aku boarding school di tempat ini”. Namun sebaliknya, akan ada rasa malu ketika menyebut dirinya sebagai “santri atau pengikut padepokan itu”.

Sekilas remeh, namun tak bisa diremehkan, bahwa ‘papan ngangsu kawruh’ ternyata memiliki prestis, punya peran dominan dalam menaikkan rasa kepercayaan diri. Saya sebagai santri padepokan dan mewakili rekan-rekan santri yang lain sebetulnya merasa miris, ketika mendengar kasus semacam itu. Bagaimana tidak, bahwa sebagai lembaga pendidikan tertua, cikal-bakal sebelum populer dengan sebutan pesantren, apalagi hendak sampai pada eranya boarding school, padepokan adalah perintis pemberadaban nilai-nilai luhur yang kemudian diadopsi oleh pesantren, diadopsi dan dimodifikasi lagi menjadi boarding school.

Pada proses perjalanannya, padepokan telah terbukti lulus uji kualifikasi ketangguhan melawan kebiadaban kolonial. Padepokan telah lulus melampaui seleksi alam yang pada masa itu, alam dan masyarakatnya dieksploitasi sedemikian rupa, entah dalam wajah rodi ataupun romusha (itu pun yang tertulis oleh sejarah, dan saya yakin masih banyak kekejian yang luput dari pencatatan sejarah).

Namun saya tetap menaruh rasa hormat dan apresiatif kepada mereka yang tak malu menyebut almamaternya. Dengan penuh husnudzon, saya meyakini bahwa kebanggaan mereka adalah upaya pembaharuan pada ide dan wacana-wacana lama soal konsep dan juga metode pendidikan. Namun saya tetap khawatir jika ternyata yang mereka upayakan justru ‘jauh panggang dari api’ tegese justru semakin menjauhkan dan mengabaikan prinsip-prinsip warisan dalam tradisi. Akibatnya kita ‘kepaten obor’ untuk kemudian terninabobo dan mudah termakan oleh opini-opini menyesatkan. Semisal, padepokan adalah sarang kesesatan, basis kejawen, pusat klenik, pemuja roh-roh nenek moyang.

Asumsi demikian sangatlah keliru dan bahkan sangatlah fatal. Lalu bagaimana sikap yang tepat untuk menyikapi kembali hadirnya padepokan di tengah masyarakat yang semakin modern ini? Bahwa kehadiran padepokan adalah demi menjaga dan merawat ‘unggun api’ warisan leluhur, guna menghadapi laju pesatnya tantangan zaman. Kemudian bagaimana mekanisme dan konsep yang ditawarkan oleh padepokan?

Adalah dengan penempaan batin dan mental guna memaksimalkan daya hidup dengan membedah tembok-tembok tradisi kaum sekolahan. Tegasnya, tetap berendah hati di hadapan kahanan (keadaan). Dan menjadi manusia yang piawai memanusiakan manusia. Mungkin dalam hemat saya, sikap semacam ini bisa menjadikan padepokan kembali punya tempat dalam benak masyarakat, dan menjadi sebuah kearifan lokal yang memiliki makna, nilai dan ciri khasnya tersendiri.