Oleh: Vevi Alfi Maghfiroh*

sumber foto: www.voa-islam.com

Al-Khansa, sosok penyair muslimah dengan keimanannya yang besar kepada Allah, rasul-Nya, dan jihadnya untuk menegakkan kebenaran. Dia ikut serta dalam pertempuran Al-Qadisiyah pada tahun enam belas hijriyah bersama empat orang anak lelakinya. Pada perang dimalam pertama kala itu, dia berkata kepada anak-anaknya, “wahai anak-anakku, sesungguhnya kalian telah masuk Islam dalam keadaan sukarela, lantas kalian berhijrah tanpa paksaan. Demi Allah yang tiada sesembahan kecuali Dia, sesungguhnya kalian semua adalah anak dari satu orang lelaki, sebagaimana kalian adalah anak dari seorang perempuan. Bapak kalian tidak pernah berkhianat, paman kalian tidak pernah berbuat buruk, keluarga besar kalian tidak memiliki cacat, nasab kalian tidak berubah. Kalian semua mengetahui pahala bahwa kampung yang kekal itu lebih baik daripada kampung yang fana. Besok pagi, ketika matahari menyingsing, insya Allah kalian sehat dan bugar. Berangkatlah kalian untuk memerangi musuh-musuh Allah dengan penuh kegembiraan.”

Keesokan harinya, semua putra Al-Khansa maju melaksanakan nasihatnya. Mereka bertempur tanpa mengenal rasa takut dan diterpa ujian yang berbuah kebaikan. Mereka semua menggapai kesyahidan. Ketika berita tersebut sampai pada Al-Khansa, dia berkata “Segala puji milik Allah yang telah memuliakan aku dengan kematian mereka di jalan-Nya. Aku berharap kepada Rabb-ku agar dia berkenan mengumpulkan aku bersama mereka di tempat tinggal yang penuh kasih sayang dari-Nya.” (Al-Isti’ab 2/90).

Untuk Agama Islam, Al-Khansa mengorbankan empat buah hatinya di jalan Allah. Ia menjadi teladan bagi perempuan muslimah yang fasih bicaranya, mukminah yang selalu mengharapkan pahala dari Allah dan penyabar, serta seorang murabiyah (wanita pendidik) yang utama. Begitulah cerita tentang Al-Khansa, salah seorang ibu hebat dalam sejarah. Sebuah kisah kekuatan dan kebesaran hati dalam mendidik anak-anak mereka untuk tumbuh dan berkembang dalam balutan dan penanaman nilai-nilai islami.

Jika saat ini semua ibu memiliki orientasi hidup dan pola pengasuhan seperti para ibu orang-orang terdahulu, maka akan lahir dari rahim mereka putra-putri pejuang agama dan bangsa. Namun, pada zaman sekarang ini peran orang tua seolah tergantikan oleh para pembantu. Banyaknya wanita yang terlalu fokus dan ambisius untuk mengejar karirnya, maka kasih sayang dan perhatian kepada anaknya berkurang. Kurangnya ilmu pengetahuan dan cara pengasuhan juga merupakan salah satu permasalahan yang kerap terjadi.

Majalah Tebuireng

Hal tersebut menunjukan minimnya pemahaman seorang ibu dalam mengoptimalkan perannya, yakni berusaha melahirkan generasi mulia. Untuk mencapai harapan tersebut ada beberapa proses pembelajaran yang harus dilakukan diantaranya adalah memberikan pendidikan dan pengajaran terbaik pada anak-anaknya meliputi pemahaman akidah yang benar, syariat yang komprehensif, dan akhlak terpuji.

Dalam pengasuhannya, seorang ibu harus mampu memberikan contoh terbaik dan respon positif kepada anak-anaknya. Ibu juga harus mampu menghadirkan suasana perjuangan setiap hari di rumah. Anak-anak harus diberi pengertian dan pemahaman bahwa antara kebenaran dan kebatilan senantiasa bertarung, dan kebenaran harus bisa mengalahkan kebatilan dalam setiap ranah kehidupan.

Untuk mencapai pola pengasuhan tersebut, seorang ibu harus mempelajari dan memahami syariat Islam yang kaffah (integral) agar bisa mencetak generasi mujahid. Yakni dengan mempelajari ilmu Allah yang bersumber dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, mempelajari teladan yang baik dari orang-orang sekitar dan generasi terdahulu khususnya muslim dan muslimah dalam mendidik generasi mujahid, dan juga mempelajari teknis penerapannya dengan menghadiri majelis ilmu dan membaca buku-buku yang bermanhaj lurus. Wallahu a’lam bishawab.


*Alumnus Ma’had Aly Hasyim Asy’ari Tebuireng