Dia mengetahui apa yang ada di langit dan di bumi, dan mengetahui apa yang kamu rahasiakan dan kamu nyatakan. Dan Allah maha mengetahui segala isi hati
Mentari melangkah ke singgasana peraduannya yang memancarakan cahaya keemasan di ufuk baratr sang cakrawala,. Seorang remaja kecil, berkulit putih,bermatya coklat dengan bulu mata lentik,berhidung mancung,berbibir merah yang disetiap senyumnya di hiasi lesung pada kedua pipinya. Gadis remaja berusia 16 tahun itu bernama syifa el-bariroh berasal dari desa kecil yang berada di sudut selatan kota Jombang,buah hati seorang tukang bakso dan penjahit biasa. Di atas mobil sewaan, cerry merah , gadis itu kini mengalirkan air mata di pangkuan sang ibunda didampingi sang ayahanda tercinta karena ia kan jauh dari mereka.
Mobil itu pun berhenti tepat di depan gerbang sebuah pondok kecil yang bersantrikan 400-450 santriwati dari berbagai daerah di Indonesia . Santriwati dari tingkat MTs, MA, SMA, SMK dan Universitas jadi satu di tempat yang bernama Pondok Pesantren Putri Al-Habibah, pondok yang berdiri sejak tahun 1984 ,terletak di sebuah desa kecil namun dikenal oleh orang-orang dari berbagai belahan dunia.
Syifa didampingi kedua orang tuanya masuk gerbang pondok yang bercat biru terbuat dari besi yang tinggi dan kuat, disebelahnya terdapat pos satpam yang selalu menyambut siapapun dengan senyuman yang ramah.
“Assalamu’alaikum” sapa ayah dengan senyum pada kedua satpam yang tengah duduk di depan daftar buku tamu
“Wa’alaikumsalam, ada yang bisa kami bantu?” jawab salah satu satpam dengam mengulurkan tangannya pada ayah.
“Kami mau mengantarkan putri kami” kata ayah.
“Oh . . ya, sudah registrasi?” Tanya satpam.
“Sudah kemarin saya sendiri yang datang dan mendaftarkannya” jelas ayah.
“Silahkan masuk, nanti sebelah utara air mancur ada ruang tamu dan didepannya ada kantor pengurus,” tunjuk pak satpam yang bernama pak Soleh itu.
“Ya terima kasih”, jawab ayah.
Mereka pun berjalan kedalam mencari ruang tamu sesuai petunjuk pak satpam Soleh. Ketika mereka melangkah terdengar lirih suara para santri yang melantunkan nadzaman.

“Kalaamuna lafdzun mufidun kastaqim
Wasmun wa fi’lun tsumma kharfunil kalim,
Waakhiduhu wal qoulu ‘am
Wa kilmatum biha kalaamun qod yu’am, “

Ya itulah nadzaman sebuah kitab alfiyah ibn malik karya ulama’ islam besar eropa Ibnu Malik al-Andalusi yang berisi tentang kaidah nahwu yang tengah dilantunkan oleh para santri di sebuah ruang kelas diniyah pondok pesantren tersebut.
Di ruang kelas sebelahnya terdengar kembali suara merdu sang ustadz yang mengajarkan kitab risalatul mahidh kepada santriwatinya. Suasana itu begitu islami, akrab dan kental dengan kebersamaan.
#####
Didalam ruang tamu pondok,
“ Syifa sekarang kamu tinggal disini, kamu belajar dengan sungguh-sungguh supaya kamu mengerti dan bisa mengamalkan ilmu agama dengan baik,kamu menjadi anak yang sholehah, tidak bodoh agama seperti ayah dan ibu” kata ayah kepada Syifa yang duduk bersimpuh dan sedari tadi menangis tertunduk didepan sang ayah .
“Tapi ayah . . . Syifa takut,”, jelas Syifa.
“Apa yang kamu takutkan sayang?”, Tanya ibu.
“kata teman-teman dahulu di pondok itu menyeramkan, banyak setannya karena sering ada yang kesurupan, harus bangun pagi-pagi sebelum shubuh, kerjanya ngaji terus tidak pagi, siang atau sore, tidurnya sebentar, antri makan, antri mandi, kalau sakit tidak ada yang merawat, tidak boleh main jauh-jauh, ya seperti itulah . . .” jelas Syifa.
“Hm . . . itu tergantung orangnya sayang. Jika Syifa bisa mengatur waktu insyaAllah semua tidak seperti yang Syifa bayangkan” jelas ibunya dengan mengelus kerudung Syifa yang tertunduk.
“ Niatilah beribadah dan mencari ridho Allah nak, ini semua ikhtiar ayah dan ibu mendidik kamu menjadi anak sholehah yang bisa menyelamatkan kami dari api neraka” kata ayah.
“Ayah, nanti Syifa masuk program apa yah?” Tanya Syifa.
“Syifa masuk syu’bah lughoh ‘arabiyahkan?” Tanyanya lagi pada sang ayah.
“Tidak nak, nanti kamu masuk program kutubussalaf,” jawab ayah.
“Kutubussalaf ayah?” Tanya Syifa kaget.
“Iya nak, ayah pilih program itu karena ayah yakin kamu mampu, sebelumnya kamu juga ikut ngaji di Madin “Manbaul Muttaqin” jadi ayah percaya sama kamu” terang ayah.
“Kalau itu menurut ayah dan ibu baik buat Syifa, ya tidak apa-apalah, do’akan saja Syifa mampu” harap Syifa.
Suasana itu pun terpecah dengan datangnya pengurus bernama Ukhti Fatih yang menjelaskan tentang tata cara dan syarat masuk ikut program kutubus Salaf di PPP Al-Habibah.
Hari pun terlewati hingga tiba saatnya tes masuk program kutubussalaf dan Alhamdulillah berhasil, Syifa masuk program kutubussalaf. Ia masuk kamar QS (Qubail Subhi) komplek III kutubussalaf.
#####
Kurang lebih 3 bulan Syifa tinggal di PPP Al- Habibah, banyak orang yang dikenal Syifa karena sifatnya yang terbuka dan mau menerima siapa saja tanpa gampang terpengaruh oleh sifat dan sikap tidak baik yang ada di sekitarnya. Syifa selalu berusaha Istiqomah dalam hal belajar dan beribadah kepada sang pemilik kehidupan, ia selalu ingat pesan sang ayah.
“ Belajar dan Beribadahlah dengan sebaik-baiknya agar kamu bisa menjadi yang terbaik di dunia dan di akhiratmu nanti, ayah dan ibu tidak berharap kamu mencari ilmu hanya untuk mencari kebahagiaan materi belaka, tapi ayah dan ibu berharap kamu bisa membahagiakan ayah ibu di akhirat dengan do’a yang kamu kirim pada ayah dan ibu ketika kami tidak lagi di dunia ini”.
Namun, ada satu kebiasaan yang tidak bisa di tolak dan di bohongi oleh Syifa ketika menjadi santriwati yakni “mengantuk”, mengantuk ketika pelajaran di sekolah, kelas diniyah bahkan mengantri mandi. Tapi ia pun bersyukur, ia tidak sampai tertidur pada saat jam pelajaran baik di sekolah maupun kelas diniyah karena ia berprinsip pada hatinya “ Apa yang ditanam, itulah yang dituai nantinya” , ia takut jika dia berbicara ia akan ditinggal tidur oleh orang yang diajak berbicara terutama murid-muridnya. Ia akan tidur ketika benar-benar mengantuk dan sudah waktunya tidur, berpesan pada Allah dengan membaca ayat terakhir dari surat Al-kahfi.
#####
Suatu malam yang terang, tepat pukul 01.00 ia merasa bosan di kamarnya “Q.S. (Qubail Subhi)” lalu ia keluar ke depan kamar, ia berdiri melihat sekelilingnya yang gelap oleh langit malam yang hanya diterangi lampu, bulan dan bintang-bintang yang tersenyum dengan kelap-kelipnya, angin malam semilir menghelai wajah dan menyibak kerudung yang menutupi aurat indahnya yang hitam lurus sepunggung, ia pun duduk memeluk lututnya, memandang sekeliling yang sepi dan sunyi, tiba-tiba ada sesuatu yang mengganjal dan membuatnya terheran, sejenak hal itu membuat bulu kuduknya berdiri, namun secepat kilat ia menepis ketakutannya dan mengingat Allah sang pelindung makhluk-Nya dengan ucapan “Astaghfirullaahal’adzim”,
Dengan keyakinan Allah selalu bersamanya, perlahan ia berdiri dan berjalan menemui sesuatu yang membuatnya terheran, di ujung jalan dari kamar QS sebelah kamar “MJ (Miftahul Jannah)”, di depan tangga ke lantai dua, duduk seorang gadis, bertubuh kurus dengan tinggi ± 158 cm, mengenakan kerudung putih, kaos oblong biru panjang dan sarung batik dari Solo.
Selangkah demi selangkah kini Syifa dekat dengan gadis itu, dan “Ukhti, ukhti kenapa?” tanya Syifa kepada gadis yang duduk dengan menundukkan kepalanya. Suasana hening tanpa ada suara kecuali binatang-binatang kecil bertahmid pada Rabb-Nya.
“Ukhti, kamu kenapa? Ada yang bisa Syifa bantu?” tanyanya lagi. Sedikit-sedikit kepalanya yang tertunduk itu mulai terangkat, dan kini sempurna, Syifa melihat wajah gadis itu dari samping, gadis itu cantik, matanya bulat sipit, berhidung mancung, berbibir tipis dan manis senyumnya.
“Ukhti….” Suara lirih Syifa dengan tersenyum gadis itu mulai mangeluarkan suaranya
“Tidak apa-apa dek” jawab gadis itu dengan lirih.
“Ukhti terlihat sedih, ada yang bisa Syifa bantu?”
“Tidak apa-apa”
“Kenapa ukhti sendirian? Apakah ukhti tidak mengantuk? Besok ukhti sekolahkan?”
“Iya, besok ukhti sekolah tapi ukhti belum merasa ngantuk jadi ukhti tidak tidur” jelas ukhti.
“Oh…begitu”
“Nama kamu siapa dek? Syifa?” Tanya gadis itu
“Iya ukhti, nama saya Syifa, nama ukhti?”
“Nama saya Humaiyah, kamar KM (Kanzul Ma’arif) komplek U Syu’bah Lughoh Al-‘arabiyah, kalau adek kamar apa? Kok saya jarang melihat adek?”
“Saya kamar QS komplek III Salaf”
“Ow…anak kitab tho…”
“Iya… yang istiqomah dek, hafalan Alfiyahnya”
“Hm…kok Ukhti bilang begitu?”
“Iya tidak apa-apa kan Ukhti bilang begitu”
“Ow…”
“Gini dek, biasanya anak salaf itu multitalent”
“Bagaimana bisa multitalent Ukhti?”
“Iya, selama ini rata-rata anak salaf yang jadi unggulan, dalam keseharian muhadatsah bilughoh ‘arabiyah, bisa ngikut ngaji diniyah, hafalan ilmu alat (nahwu shorof), bisa sorogan kutubus salaf, dan banyak pula yang menghafal Al-Qur’an karena mereka bisa langsung mempraktikkan ilmu alatnya dalam Al-Qur’an, jadi mudah untuk memahami isi kandungan Al-Qur’an” Jelas gadis itu.
“Subhanallah…kok bisa begitu ya Ukhti”
“Iya semua orang sebenarnya bisa tapi ada suatu skill yang paling menonjol pada diri seseorang”
“Iya juga sih, apa ini alasannya kenapa ayah memasukkan Syifa ke salaf ya Ukhti”
“Mungkin, ya… ridho dan ikhlaslah pada keputusan orang tua, karena mereka yang lebih tahu apa yang terbaik untuk diri anaknya”
“Hm…iya juga ukhti, oh ya…Ukhti juga menghafal Al-Qur’an?”
“(dengan tersenyum) Alhamdulillah iya, ya do’akan saja”
“Iya Ukhti semoga lancar, lekas khatam, hafal lafdzan wa makna dan bisa mengamalkannya”
“Amien…” Jawab Humay dengan lalu ia berkata kembali “Kamu tidak mengantuk dek Syifa?”
“Belum Ukhti, Syifa belum ngantuk, entah mengapa malam ini Syifa tidak bisa tidur”
“Ada yang mengganjal di pikiranmu?”
“Hm..ada sih, tapi sedikit”
“Iya cerita saja mungkin Ukhti bisa membantu sedikit”
“Hm..gini Ukhti, sejak pertama kali ayah bilang Syifa mau dikirim ke pondok, Syifa punya keinginan untuk masuk MHQ (Madrasatul Hifdzil Qur’an), entah kenapa Syifa inginkan itu, tapi kata teman-teman yang hafidzah, banyak godaan dan cobaan bagi seorang hafidzah, baik sebelum hafalan, sedang, atau setelah khatam”
“Intinya kamu takut hafalan Al-Qur’an?”
“Iya gitulah, tapi saya ingin Ukhti”
“Dek Syifa gini, semua hal itu pasti ada godaannya dan ada pula cobaan, jika kita menyerah sebelum berusaha sama saja kita lemah”
“Ow…gitu ya”
“Kamu sekarang masih kelas 1 Madrasah Aliyah, jika kamu berhimmah dengan sungguh-sungguh dan ikhtiar dengan selalu mengharap ridho Allah, insyaAllah kamu mampu, yang penting tata niatnya dulu, supaya bisa istiqomah”
“Apa tidak terlambat Ukhti?”
“InsyaAllah tidak, tidak ada kata terlambat untuk belajar, asal kamu ikhlas dan istiqomah insyaAllah bisa”
Pembicaraan itu berlanjut hingga jarum jam menunjukkan angka 3, Syifa yang mulai tertidur dengan duduk bersandar pun tidak sadar jika orang yang duduk di sebelahnya sudah pergi tanpa pamit.
#####
Sudah seminggu Syifa memikirkan hasratnya untuk menghafal Al-Qur’an, dalam benaknya ia ingin menjaga Al-Qur’an karena Allah, karena Al-Qur’an petunjuk dan pedoman, obat serta penyelamat jiwa manusia dari zaman yang berkembang tak karuan dan bisa menjerumuskan ke hal yang menyimpang jika tidak punya dasar agama yang kuat.
Namun dalam benak dan mimpinya sang ayah selalu datang menghampiri dengan tersenyum bahkan kadang tanpa senyum membisu seribu bahasa, oh ayah ada apa gerangan???
Sore pukul 15.17 WIB
“Panggilan Syifa al-bariroh kamar Qubail Subhi, ditunggu kehadirannya di kantor bendahara sekarang juga” suara pengumuman kepada santri dari kantor bendahara yang ditujukan kepada Syifa.
Di kamar Syifa pun kaget, ada apa dia di panggil. Sesaat kemudian ia pergi menuju ke kantor bendahara.
“Assalamu’alaikum, ada apa Ukhti Fatih kok saya dipanggil?”Tanya Syifa kepada Ukhti Fatih yang sedang mengotak-atik keyboard komputernya.
“Wa’alaikumsalam, kamu di sambang, sekarang di ruang tamu” jawabnya
“Ow ya terima kasih ukhti”
Syifa pun bergegas keluar, dalam benaknya timbul rasa bahagia karena ia akan bercerita panjang lebar kepada orang tuanya tentang Ukhti Humaiyah dan langkahnya menjadi hafidzoh. Namun hatinya tak dapat dibohongi, hatinya seakan merasakan sakit yang tidak diketahui penyebabnya.
Sesampai di ruang tamu
“Assalamu’alaikum ayah ibu …” Sapa syifa kepada orang di depannya
“Wa’alaikumsalam sayang” jawab ibu yang duduk di sebelah Paklek Amirul (adek ibu)
“(dengan tersenyum) Ibu…” Belum selesai Syifa berkata Ibu memotong
“Sayang kita pulang sekarang ya.., 1 hari saja, ayah dan ibu kangen kamu” Kata ibu dengan suara yang sumbang
“Kenapa ibu?Ada apa?Ayah mana?”Tanya Syifa
“Ayah ada di rumah, tidak bisa jemput kamu, jadi ibu yang jemput sama paklekmu ini”
“Ow…sekarang ya…tapi Syifa izin ke pengurus dulu”
“Tidak usah izin, Ibu sudah izin ke semuanya, pengurus pondok, Pak Satpam, Kepala sekolah, bahkan ke Gus Amir juga” kata Ibu.
Tersentak hati Syifa, entah mengapa langit hatinya seakan runtuh, hangatnya jiwa menjadi beku, semua terasa menghampa dan berhamburan, dengan cepat ia menyiapkan diri dan pulang ke rumah bersama sang ibu. Dalam perjalanan hatinya tak karuan, pikirannya melayang, matanya merembeskan air mata yang tak bersebab pasti, tangannya yang mungil terpegang erat oleh sang ibu dengan pelukannya yang penuh kasih sayang.
#####
Cukup 30 menit perjalanan dari pondok menuju rumah Syifa jika mengendarai mobil atau sepeda motor dengan kecepatan 80 km/jam. Mobil panther hijau milik Paklek berhenti di depan RSU Jombang, dengan segera ibu menggandeng tangan Syifa menuju kamar dengan nama “Pavilium Kemuning”, Syifa tak kuasa melihat siapa yang kini telah terbaring di depannya, yang kedua tangannya tertusuk jarum infus, kabel menempel di dada dan selang oksigen terpasang di hidungnya. Ya… dialah sang ayah tercinta yang sudah lama mengidap sakit jantung. Sudah 12 hari ayah dirawat dan keluar masuk ruang ICU.
Syifa merasa menyesal dan berdosa kepada orang tuanya karena sebagai anak tunggal ia tak tahu apa-apa jika ayahnya terbaring tak berdaya. Air mata meleleh dengan derasnya. Mengiringi langkahnya menuju sang ayah. Disebelah ranjang ia berdiri dan memegang tangan sang ayah, lirih suara sang ibu terdengar di telinganya.
“Bacakan surat yasin sayang, ayah ingin mendengar kamu mengaji di depannya” kata ibu.
“Iya ibu…” dengan suara yang melemah duduk di sebelah sang ayah, Syifa membaca yasin, lirih dengan tersedak-sedak Syifa membaca ditemani sang ibu, Ayah yang terbaring tak sadarkan diri itu melelehkan air mata di pelipis mata, ayah ingin membuka mata namun terasa berat, ayah ingin berkata namun tak kuasa lagi membuka mulutnya, oh …ayah…
Selesai membaca Syifa berkata kepada sang ibu tentang hasratnya menjadi hafidzoh disamping ia menghafalkan kitab alfiyah, ibu pun menjawab.
“Jika itu kemauanmu nak, ibu dan ayah hanya bisa mendo’akan saja, kami insyaAllah ridho dan ikhlas mengizinkan kamu asalkan kamu ridho dan ikhlas dengan keputusan yang kamu ambil. Kamu bisa istiqomah lillaahi ta’ala bukan karena yang lain”
“Insya Allah ibu, saya melakukan ini karena saya cinta Allah, cinta ibu dan ayah, cinta agama Allah , mencintai hidup ini karena Allah” jawab Syifa yakin.
“Pesan ibu dan ayah kamu harus bersungguh-sungguh, tidak mudah menyepelekan hal-hal meskipun kecil, istiqomah dalam kebaikan dan jaga diri, jangan mudah tergoda sayang” pesan ibu.
“Insya Allah” kata Syifa dengan memeluk sang ibu dan tangan kirinya memegang tangan sang ayah.
Tiba-tiba ayah mengambil nafas yang begitu berat, seakan ayah akan melepas beban hati dan hidupnya, kepalanya mendongak terangkat, pegangan tangannya menguat, spontan Syifa mengarahkan mulutnya ke telinga sang ayah dan berkata “Allah…Allah…Allah…Allah…Allah…” sedikit demi sedikit tangan ayah melemas dan innaalillaahi wainnaailaihi raaji’uun, ayah telah pergi meninggalkan Syifa dan ibu sendiri di dunia. Ayah yang penuh cinta dan kasih sayang kini telah tiada.

“Ayah belum sempat ku memberikan pada mu suatu kebanggaan,
Kau telah terpanggil oleh Dia sang pemilik kehidupan
Dalam seluruh hidup,sujud dan langkah ku
Tak kan pernah terlupakan engkau
Do’a dari sang anak yang sholehah kan kau dapatkan
Do’a mu kan tetap mengalir seperti sungai surga yang mengalir di telapak kaki Ibu”
130312AL-FURQON

*Siti Fatimatuz Zahra

Majalah Tebuireng

Aktif di Sanggar Kepoedang(Komunitas Penulis Muda Tebuireng)