Akad leasing syariah
Akad leasing syariah

Mungkin kita tidak asing dengan istilah leasing. Biasanya dihubungkan dengan pembiayaan pengadaan barang seperti sepeda motor atau mobil. Setidaknya, secara umum leasing dimaknai sebagai suatu metode pembiayaan pengadaan barang berupa modal atau aset untuk perusahaan maupun individu. Nah, sebenarnya ada dua istilah yang mungkin belum banyak dipahami orang, yaitu finance lense dan operating lense.

Leasing dalam Undang-undang

Dalam Peraturan Menteri Keuangan Nomor 84 Tahun 2006 tentang Perusahaan Pembiayaan, berbunyi :

“Sewa Guna Usaha (Leasing) adalah kegiatan pembiayaan dalam bentuk penyediaan barang modal baik secara sewa guna usaha dengan hak opsi (Finance Lense) maupun sewa guna usaha tanpa hak opsi (Operating Lense) untuk digunakan oleh Penyewa Guna Usaha (Lessee) selama jangka waktu tertentu berdasarkan pembayaran secara angsuran.”

Dari sini bisa dipahami bahwa, dalam finance lense, bagi lessee (penyewa) yang menggunakan sewa guna usaha mempunyai hak opsi untuk membeli objek sewa guna usaha di akhir masa kontrak sesuai nilai sisa yang disepakati. Sedangkan pada operating lense, tidak memiliki hak opsi tersebut, sehingga hanya berupa sewa guna usaha saja.

Misalnya si A ingin membeli sepeda motor di dealer kota X, tetapi belum bisa melunasinya sekaligus, maka si A bisa menggunakan motor tersebut dengan ketentuan membayar cicilan (opsi finance lense) kepada perusahanaan Z. Sehingga di akhir kontrak si A bisa memiliki hak milik atas sepeda motor tersebut.

Majalah Tebuireng

Maka setidaknya ada tiga pihak yang terlibat dalam leasing di atas. Pertama, lesse (penyewa guna usaha) yaitu si A. Kedua, lessor (penyedia jasa pembiayaan) yaitu perusahaan Z. Ketiga, supplier (penjual barang) yaitu dealer di kota X.

Berbeda dengan leasing menggunakan operating lense, lesse menggunakan objek sewa tanpa ada opsi hak milik. Lesse hanya membayar seharga sewa yang telah disepakati. Sehingga lesse bisa mememuhi kebutuhannya tanpa ada resiko yang besar apabila ternyata objek sewa mengalami kerusakan.

Leasing Syariah

Bagi seorang muslim, terkadang masih ragu apakah leasing ini sudah sesuai aturan syariat Islam atau belum. Karena berdasar pengertian di atas, leasing hanyalah bermakna sewa guna. Sedangkan leasing dengan finance lense mengarah pada arti ‘sewa beli’, ada dua akad di sana. Apakah sah? Padahal Rasulullah telah melarang akad ganda dalam satu barang.

Hadits Nabi riwayat Ahmad dari Ibnu Mas’ud:

نَهَى رَسُوْلُ اللهِ صَلَّى اللهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ عَنْ صَفْقَتَيْنِ فِيْ صَفْقَةٍ وَاحِدَةٍ

“Rasulullah melarang dua bentuk akad sekaligus dalam satu obyek.”

Secara hukum undang-undang pun ‘sewa beli’ ini sudah dihapus dan tidak berlaku dalam Permendag 21/2005.

Menurut fikih mu’amalah, dalam akad ijarah ada istilah penyedia barang/jasa disebut mu’ajir. Sedangkan penerima manfaat barang/jasa disebut musta’jir. Akad ijarah jika objeknya berupa barang maka dimaknai ‘sewa’, dan apabila objeknya berupa jasa dimaknai sebagai ‘upah’. Sewa dan upah merupakan bentuk imbalan dari pengguna kepada penyedia barang/jasa.

Dalam al-Ma’ayir as-Syar’iyah atau AAOIFI (Accounting and Auditing Organization for Islamic Financial Institutions) disebutkan bahwa ujrah (upah) yang termasuk akad ijarah bidang jasa telah diperluas dan dihubungkan dengan konsep intiqal al-milkiyyah. Dalam hal ini Dewan Syariah Nasional (DSN) menerbitkan fatwa Nomor: 27/DSN-MUI/III/2002 tentang akad al-ijarah al-muntahiyah bi al-tamlik (بالتمليك المنتهية الإجارة) atau produk IMBT (Ijarah Muntahiyatu Bi Tamlik). Ini merupakan salah satu solusi dari perkembangan ekonomi syariah dalam menanggapi adanya leasing.

Dalam fatwa tersebut disebutkan dalam ketentuan umum bahwa: a) IMBT harus memenuhi semua rukun dan syarat yang berlaku dalam ijarah; b) perjanjian akad IMBT harus disepakati ketika akad ijarah ditandatangani; c) hak dan kewajiban setiap pihak dijelaskan dalam akad.

Adapun ketentuan khusus dalam IMBT ialah: a) pihak yang melaksanakan IMBT harus melaksanakan akad ijarah terlebih dahulu. Setelah itu akad pemindahan kepemilikan, baik dengan jual beli atau pemberian, hanya dapat dilakukan setelah masa ijarah selesai; b) Janji pemindahan kepemilikan yang disepakati di awal akad ijarah adalah wa’d (الوعد), yang hukumnya tidak mengikat. Apabila janji itu ingin dilaksanakan, maka harus ada akad pemindahan yang dilakukan setelah masa ijarah selesai.

Leasing Syariah bukan Akad Ganda

Dari konsep IMBT, muncullah istilah baru yakni leasing syariah. Kalau boleh kita telisik lagi, gambaran umumnya seperti ini. Sudah disebutkan dalam fatwa DSN tentang IMBT bahwa akad ijarah atau sewa harus dipenuhi terlebih dahulu sebelum masuk pada akad jual beli atau hibah.

Dalam kasus ini misalnya si A ingin beli motor dan mengajukan ke Lembaga Keuangan Syariah (LKS) dengan akad IMBT. Objek akad IMBT di sini ialah motor (benda sewa). Maka pembayaran berkala yang dilakukan pengguna motor dan diterima oleh pemilik motor disebut ujrah/uang sewa. Maka motor tetap menjadi milik pihak yang menyewakan.

Konsekuensi hukumnya ialah: a) Motor akan dikembalikan kepada pemilik apabila si penyewa tidak mampu membayar uang sewa motor sesuai waktu yang ditentukan; b) Penyewa tidak boleh memindahtangankan motor kepada pihak lain. Karena pemindahan kepemilikan boleh terjadi setelah pembayaran sewa berakhir. Dari motor milik yang menyewakan menjadi milik penyewa dengan akad hibah atau jual beli.

Nah, di sini ada kesinambungan antara akad ijarah dengan hibah, atau akad ijarah dengan jual beli. Jadi bukan akad ganda, tetapi akad paralel. Akad yang menjadi pengikut, dalam hal ini hibah/jual beli hanya boleh dilaksanakan ketika akad utamanya yaitu ijarah telah selesai dilakukan.

Untuk gambaran teknis pelaksanaan IMBT tidak disebutkan dalam fatwa DSN, dalam contoh pemindahan kepemilikan dengan cara hibah, maka klausul yang perlu disebutkan ialah pemilik objek IMBT akan menghibahkan barang tersebut apabila penyewa telah selesai membayar sewa berkalanya. Jika dalam jual beli, maka ditetapkan 2 jenis pembayaran. Misalnya dalam 24 bulan, maka 20 bulan dianggap bayar sewa, sedangkan sisa 4 bulan dianggap akad jual beli. Dalam jual beli ini, jumlah uang yang dibayar tentu tidak sesuai dengan harga asli objek IMBT. Tetapi akad ijarah-jual beli ini tetap sah dilakukan.

Meski dalam ketentuan khusus fatwa IMBT disebutkan bahwa janji di awal akad tidak mengikat, maksudnya ialah bahwa janji saja memang tidak mengikat. Maka harus ada pilihan akad selanjutnya yaitu hibah atau jual beli. Maka caranya ialah kontrak IMBT harus tegas mengenai pemindahan kepemilikan objek IMBT. Jadi pemilik objek IMBT (yang menyewakan) harus memilih antara hibah atau jual beli agar kepemilikan objek IMBT berpindah kepada si penyewa. Dengan adanya dua akad paralel ini, potensi kerugian pada salah satu pihak bisa berkurang.

Apakah akad IMBT bisa diqiyaskan dengan akad budak mukatab? Ya rasanya kurang pas. Karena budak mukatab ia mengangsur dirinya murni jual beli dengan tuannya. Tanpa ada embel-embel sewa, meskipun uang yang didapatkan budak tersebut berasal dari gaji/ujrah jasanya atau dari pekerjaan lainnya dengan izin tuannya. Sedangkan dalam akad IMBT yang dilakukan terlebih dahulu ialah akad ijarah dengan membayar imbalan sewa barang/jasa, baru kemudian beralih ke akad sambungan berupa hibah/jual-beli. Wallahu a’lam.


Muh Sutan, Alumni Ma’had Aly Hasyim Asy’ari