Sumber gambar: https://www.muslimarket.com

Oleh: Yayan Mustofa*

God already knows what we want. He gave us dua so that we can taste the sweetness of speaking to Him. (Syaikh Ninowi)

Ada seorang teman yang menanyakan doa, “… wa abdilhu ….. zaujan khairan min zaujih..”, kenapa didoakan ganti pasangan yang lebih baik untuk si mayit. Apa nanti suami atau istri tidak sakit hati mendengar doa itu?

Nabi saw pernah menggoda nenek tua yang sowan dan minta didoakan masuk surga. Beliau menanggapi bahwa nenek tua tidak akan masuk surga. Sontak nenek tersebut nangis histeris pulang.

Lantas Nabi berpesan melalui para sahabat untuk disampaikan kepada nenek tadi, bahwa kelak manusia akan dihidupkan lagi dengan keadaan lebih muda, faja’alna hunna abkara.

Majalah Tebuireng

Di Surga, memang keadaan jauh lebih baik ketimbang di dunia. Termasuk juga tempat tinggal, pasangan, keluarga, dan seterusnya. Oleh karenanya doa kepada si mayit disisipkan, “abdilhu daran khairan min darihi…”.

Jadi tanpa didoakan menjadi muda, fit, dan pasangan yang lebih baik, kalau memang si mayit nanti masuk surga, maka akan ditakdirkan demikian.

Penuturan “abdilhu..” itu ungkapan cinta kasih. “Saya cinta kamu”, “saya sayang kamu”, dan “terima kasih” yang kita tujukan pada kekasih atau seseorang yang berjasa.

Tanpa ungkapan tersebut, sang kekasih sudah tau kalau kita mencintainya. Redaksi tersebut dimunculkan untuk memperhangat suasana. Meskipun terkadang terkesan lebai. Akan tetapi dalam momen dan kondisi tertentu, seseorang bisa merasakan betapa spektakulernya ungkapan-ungkapan sederhana “saya turut berduka cita”, “yang sabar ya”.

Dalam acara haul KH. Abdurrahman Wahid yang pertama di Ciganjur 2010, seorang teman menghadiakan lukisan kepada keluarga ndalem. Menurut saya lukisan itu tidak sebagus karya seniman lukis handal, meskipun secara pribadi saya tidak bisa melukisnya.

Alangkah hangat sekali sambutan Bu Nyai Sinta, “Bagus sekali lukisannya, terima kasih.” Ditambah lagi tanggapan Mbak Inayah, “Ini dipasang sebelah sini bagus. Sampean sendiri yang lukis?” Dan ungkapan terima kasih lainnya.

Untuk santri dengan umur jagung, terus terang teman saya sangat senang sekali ke luar dari ndalem. Saya sendiri tidak menduga kalau akan disambut ungkapan-ungkapan sedemikian rupa.

Ibn Athaillah pun juga pernah ngobrol dengan dirinya sendiri yang kemudian diabadikan dalam Al-Hikam. Ya Allah, Engkau sudah mengerti apa yang aku inginkan, kenapa aku harus berdoa? Bahkan Engkau sudah mengatur semuanya. Tapi bagaimana mungkin aku tidak berdoa, sedangkan Engkau menyuruhku berdoa.

Dalam ungkapan yang lebih kasar, seorang guru pernah menjelaskan kepada para santrinya di dalam kelas. Kalau misalkan kita meminta kepada seseorang, itu berarti orang yang kita mintai pada hakikatnya tidaklah mengerti apa yang kita inginkan.

Misalkan Ahmad bilang, “Jems, pinjem duit.” Ahmad mengungkapkan redaksi itu karena si Jems tidak mengerti kalau si Ahmad sedang butuh duit. Jems mengerti kalau Ahmad butuh duit karena ada redaksi yang ditujukan kepadanya. Atau Ahmad mengatakan ucapan tersebut karena Jems “tidak tahu” keinginannya. Ahmad melontarkan redaksi ini agar Jems mengerti bahwa dirinya sedang butuh dana.

Nah, apakah kemudian lontaran doa yang ditujukan kepada Allah SWT juga berpotensi bahwa ada anggapan seorang hamba, sebetulnya Tuhan tidak mengerti keinginannya? “Ya Allah, saya ini ingin ketemu Kanjeng Rasul, kekasih Njenengan.


*Tim Pustaka Tebuireng