Etika Guru tak hanya ditampakkan dalam keseharian saja, tetapi juga harus ditunjukkan ketika ia sedang mengajar. Wibawa dan akhlak yang baik akan memberikan dampak positif kepada para murid atau santri yang diajar. Berikut adalah 10 Nasihat Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari kepada para guru dalam mengajar:

Bersuci dari Hadas dan Najis

Ketika guru hendak mengajar, maka sebaiknya dia bersuci dari hadas dan najis, membersihkan diri, memakai wewangian, dan mengenakan pakaian terbaik dan sesuai dengan zamannya. Guru melakukan itu dengan niat untuk memuliakan ilmu dan mengagungkan syariat Allah. Guru hendaknya memaksudkan akitvitas mengajarnya sebagai upaya mendekatkan diri kepada Allah ta`ala, menyebarkan ilmu, menghidupkan agama Islam, menyampaikan hukum-hukum Allah ta`ala yang mana manusia diamanahi untuk mengerjakannya dan diperintahkan untuk menjelaskannya, menambah ilmu dengan menampakkan kebenaran dan kembali kepada yang haq, dan sebagai sarana untuk berdzikir bersama kepada Allah ta`ala, berdoa keselamatan untuk saudara sesama muslim dan mendoakan para pendahulu yang salih.

Dari Rumah hingga Tempat Mengajar Terus Berdzikir dan Berdoa

Tatkala meninggalkan rumah, hendaknya berdoa dengan doa yang telah diajarkan Nabi Saw, yaitu:

Majalah Tebuireng

اَلَّلهُمَّ اِنِّيْ اَعُوْذُبِكَ اَنْ اَضِلَّ اَوْ اُضَلَّ اَوْ اَزِلَّ اَوْ اُزَلَّ اَوْ اَظْلِمَ اَوْ اُظْلَمَ اَوْ اَجْهِلَ اَوْ يُجْهَلَ عَلَيَّ عَزَّ جَارُكَ وَ جَلَّ ثَنَاؤُكَ وَ لَا اِلٰهَ غَيْرُكَ

Artinya: “Ya Allah, aku berlindung kepadamu dari berbuat sesat atau disesatkan, tergelincir atau digelincirkan, menzalimi atau dizalimi, melakukan kebodohan atau dibodohi orang lain. agung perlindungan-Mu dan mulia sanjungan-Mu. Tidak ada Tuhan selain-Mu.”

Kalau disambung dengan bacaan:

بِسْمِ اللهِ اٰمَنْتُ بِاللهِ اِعْتَصَمْتُ بِاللهِ وَ تَوَكَّلْتُ عَلَى اللهِ وَ لَا حَوْلَ وَ لَا قُوَّةَ اِلَّا بِاللهِ، اَلَّلهُمَّ ثَبِّتْ جَنَانِيْ وَ اَدْرِ اْلحَقَّ عَلَى لِسَانِيْ

Artinya: “Dengan menyebut nama Allah. Aku beriman kepada Allah. Aku berpegang teguh pada Allah. Aku  bertawakkal kepada Allah. Tidak ada daya dan kekuataan kecuali izin Allah. Ya Allah teguhkan hatiku dan tampakkan kebenaran pada lidahku.”

Ketika tiba di tempat mengajar, guru hendaknya mengucapkan salam kepada para hadirin, lalu duduk, kalau bisa menghadap kiblat, dengan penuh kharisma, tenang, dan merendah serta khusyu`, bersila atau dengan model duduk lainnya yang baik. Hindari duduk  berdesakan, menggerakkan-gerakkan tangan yang tidak perlu atau menyilangkan jari-jari tangan kanan pada jari-jari tangan kiri, mengitarkan pandangan pada hal-hal yang tidak penting, dan bersenda gurau serta banyak tertawa. Karena yang demikian itu dapat mengurangi wibawa guru dan merupakan perbuatan yang tidak sopan. Jangan sekali-kali mengajar dalam keadaan sangat lapar dan haus, atau keadaan susah, marah, mengantuk, dan keadaan cuaca yang begitu dingin atau panas yang menganggu.

Duduk di Tempat yang Terlihat

Hendaknya guru duduk di tempat yang terlihat oleh para hadirin. Hendaknya pula menghormati hadirin yang lebih alim, lebih tua, lebih saleh, atau lebih mulia. Mengutamakan mereka sesuai urutan yang telah diatur dalam bab pengangkatan imam shalat. Bersikap lemah lembut kepada hadirin yang lain dan tetap memuliakan mereka dengan tutur kata yang sopan, wajah yang berseri-seri, dan sikap hormat yang baik.

Guru juga harus berdiri takzim untuk para ulama atau kiai besar Islam. Memandang hadirin dengan pandangan yang tertuju bila diperlukan. Memandang dengan penuh perhatian dan keseriusan orang yang berkata atau bertanya kepadanya, meskipun orang itu masih belia atau bermartabat rendah, karena sikap seperti itu mencerminkan ketawadhua`an yang jauh dari kesombongan.

Sebelum Memulai Pelajaran Membaca Al Qur’an Dahulu           

Sebelum memulai pelajaran, hendaknya guru membaca ayat Al Quran agar terberkati dan memperoleh keberuntungan. Lalu berdoa untuk kebaikan dirinya, para hadirin, segenap orang islam, dan bila madrasah yang ditempati merupakan wakaf, maka berdoa juga untuk pewakaf agar amal perbuataannya mendapatkan balasan dan keinginannya terkabulkan. Kemudian membaca ta`awudz, basmalah, hamdalah, sholawat teruntuk baginda Nabi Muhammad Saw. beserta keluarga dan sahabatnya, dan memohon kepada Allah ta`ala agar meridai para ulama panutan kaum muslim.

Jika pelajaran yang akan disampaikan jumlahnya banyak, maka sebaiknya guru mendahulukan pelajaran yang lebih mulia dan lebih penting. Contohnya, mengajar pelajaran tafsir al-Quran dulu, lalu hadis, ushuluddin, ushul fikih, kitab-kitab madzhab, kemudian nahwu. Lalu menutup pelajaran dengan menjelaskan kitab-kitab akhlak-tasawuf yang bermanfaat  sebagai siraman rohani bagi para hadirin.

Mengatur Tempo, Hati-hati, dan Jelas dalam Penyampaian Materi       

Dalam menyampaikan materi, hendaknya guru mengerti kapan seharusnya dia washl (terus) dan kapan seharusnya dia waqf (berhenti) pada titik-titik pembahasan. Jangan sekali-kali menyebutkan masalah yang masih samar (syubhat) dalam agama lalu setelah itu membiarkannya tanpa penjelasan yang tuntas sampai pertemuan berikutnya. Lebih baik, masalah itu dijelaskan dengan gamblang dan menyeluruh atau tidak menyebutkannya sama sekali, sebab bila tidak, hal yang demikian bisa menimbulkan kerancuan, lebih-lebih bila pertemuan itu dihadiri oleh orang awam, selain orang-orang tertentu yang berkompeten.

Menhindari Penjelasan Panjang dan Membosankan

Dalam membahas materi, guru hendaknya menghindari penjelasan panjang yang membosankan atau penjelasan  pendek yang tidak memahamkan. Ketika mau memberikan penjelasan panjang lebar, hendaknya guru mempertimbangkan sisi manfaat-nya bagi para hadirin. Tidak membahas atau mengurai suatu masalah kecuali pada waktunya, tidak terburu-buru atau menunda-menunda kecuali bila dibutuhkan.

Mengatur Power Suara

Tidak baik bagi guru mengeraskan suaranya bila tidak perlu, atau memelankan suara yang membuat upaya pemahaman kurang maksimal. Yang baik adalah sekiranya suara guru tidak sampai terdengar ke luar majlis tapi tetap terdengar dengan jelas oleh para hadirin. Al Khatib al Baghdadi meriwayatkan bahwa Rasulullah SAW pernah berkata bahwa Allah SWT suka suara yang rendah dan halus dan benci suara yang lantang.

Kalau diantara hadirin ada orang yang punya gangguan pendengaran, maka tidak apa-apa melantangkan suara sampai batas yang dapat didengar oleh orang tersebut. Dalam berbicara, tidak boleh terlalu cepat. Tapi dengan perlahan-lahan dan tersusun supaya dia dan para audiens punya kesempatan berpikir. Ada hadis yang menyatakan bahwa gaya berbicara Nabi SAW. tersusun dari bagian ke bagian yang lain sehingga orang yang mendengar memahami perkataan beliau. Terkadang beliau mengulangi ucapannya sampai tiga kali sampai dapat dimengerti. Dan tatkala selesai menjawab suatu masalah atau menjelaskan kaidah pokok dari suatu persolaan, beliau berhenti sejenak, memberikan kesempatan bagi orang yang masih ada ganjalan dalam hatinya untuk mengungapkannya.

Mencegah Hadirin Ramai saat Proses Belajar Mengajar        

Guru harus menghindari keramaian dalam majlisnya, sebab keramaian bisa membuat ucapan guru terdengar rancu, juga guru harus menghindari suara yang keras dan peralihan dari aspek ke aspek lain dalam pembahasan (sebelum aspek pertama tuntas dibahas-red). Rabi` berkata bahwa Imam Syafi`i ketika didebat oleh seseorang tentang suatu persoalan, lalu orang itu mengalihkan pembahasan ke persoalan lain, beliau akan berkata, “Selesaikan dulu persoalan pertama, baru kita baralih ke persoalan lain yang kau inginkan.” Guru harus bersikap lembut dalam menghentikan kecenderungan seperti itu, sejak ia mulai terlihat sebelum menyebar luas dan emosi hadirin meluap.

Menasihati Murid agar Menyelesaikan Perdebatan Jika Kebenaran Terungkap

Guru mengingatkan para hadirin keterangan-keterangan yang mengecam sikap tidak mau kalah dalam berdebat, terutama setelah kebenaran terungkap. Pertemuan ilmiah dimaksudkan untuk mengungkap kebenaran, membersihkan hati dari kemusykilan dan semata mendapatkan manfaat. Dan bahwa tidaklah patut bagi orang yang berilmu melakukan persaingan, sebab hal itu mendatangkan permusuhan dan kebencian.

Sebuah majlis pertemuan yang ilmiah seharusnya dilandasi niat semata karena Allah ta`ala, supaya tercapai faedah di dunia dan kebahagiaan di akhirat. Sekali-kali guru perlu menyitir ayat al-Quran yang artinya, “Agar supaya tampak kebenaran dan sirna kebatilan, walau para pendosa tidak suka.” (QS al-Anfal: 8) Ayat ini sesungguhnya memberi pemahaman bahwa keinginan melenyapkan kebenaran dan merealisasikan kebatilan merupakan tindakan dosa yang mesti dihindari.

Guru Sebagai Penengah Murid-Muridnya yang Berdebat

Guru hendaknya bersikeras dalam mencegah murid-murid yang terlampau kelewatan dalam berdiskusi, yang kelihatan bersikukuh mempertahankan argumennya, kurang sopan dalam berdiskusi, yang tidak merasa puas dengan kebenaran yang padahal sudah mengemuka, yang sering berteriak-teriak tanpa ada gunanya, yang berlaku tidak sopan pada hadirin atau pada mereka yang tidak hadir, yang bersikap tidak sopan kepada yang lebih tua dalam majlis, yang tidur, yang ngobrol sendiri dengan temannya, yang tertawa, yang menghina salah satu hadirin, atau mereka yang tidak mengindahkan etika pelajar dalam sebuah majlis.

Itulah 10 nasehat Hadratussyaikh kepada para guru agar menjaga etika dan wibawa ketika mengajar, memberikan contoh yang baik, dan berakhlak mulia agar menjadi tauladan bagi murid-muridnya. Semoga bermanfaat! Wallahu a’lam.


*Disarikan dari kitab Adabul Alim wal Muta’allim karya Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari