Oleh: A. Mubarok Yasin, Kiai Muda Madura

Pertanyaan:

Seorang ayah membagikan harta warisannya sebelum wafat. Tujuannya agar hubungan persaudaraan di antara anak-anaknya tetap utuh dan tidak terjadi konflik. Apakah cara seperti itu dibolehkan dalam Islam? Bagaimana mekanismenya?

Burhan, Tanggerang

Jawaban:

Majalah Tebuireng

Mas Burhan yang kami hormati. Sebelum menjawab pertanyaan Anda, perlu dijelaskan dulu macam-macam cara mengalihkan hak kepemilikan harta-benda dalam Islam. Cara mengalihkan kepemilikan harta dalam Islam bisa melalui:

  1. Hibah, yaitu akad pemberian secara sukarela (baik karena Allah atau tidak) di saat sang pemberi masih hidup;
  2. Infaq, yakni pemberian karena adanya ikatan moral atau prosedural, di saat sang pemberi masih hidup;
  3. Shadaqah, yakni pemberian secara sukarela karena Allah, dalam keadaan si pemberi masih hidup atau diatasnamakan pemberi yang sudah wafat;
  4. Hadiah, yaitu pemberian secara sukarela dalam keadaan si pemberi masih hidup dan biasanya bertujuan untuk memuliakan orang lain.
  5. Wasiat, yaitu pesan seseorang sebelum wafat (seperti sakit keras) kepada orang lain untuk melakukan sesuatu, baik ketika si pewasiat masih hidup atau setelah wafat;
  6. Waris, yakni pengalihan hak kepemilikan harta-benda dari pemilik yang sudah wafat kepada penerima yang masih hidup, karena adanya hak warisan.
  7. Wakaf, yaitu pemberian harta-benda yang bisa diambil manfaatnya, disertai utuhnya fisik harta-benda tersebut.
  8. Zakat, yaitu harta-benda yang wajib dikeluarkan, baik karena sudah mencapai nisab atau haul, kepada salah satu dari 8 golongan penerima zakat (QS: At-Taubah: 60).

Sesuai definisi-definisi di atas, dapat dipahami bahwa harta yang dibagi sebelum pemiliknya wafat itu tidak bisa disebut harta warisan, tapi bisa dinamakan hibah, shadaqah, atau wasiat. Perinciannya sbb:

Pertama, jika pembagian itu dilakukan dalam keadaan sehat wal afiyat (artinya sang ayah tidak sakit keras yang bisa menyebabkan kematian), maka pembagian tersebut disebut Hibah atau Shadaqah, bukan pembagian harta warisan. Hukumnya boleh bahkan sunnah (QS Al-Baqarah: 177, dan HR. al-Bukhari, al-Nasai, al-Hakim, al-Baihaqi). Kesunnahan membagi harta secara hibah, selain bisa menekan timbulnya konflik, juga harus mempertimbangan unsur keadilan.

Kedua, jika pembagiannya dilakukan dalam keadaan sakit parah yang kemungkinan berakibat kematian, mayoritas ulama mengkategorikannya sebagai wasiat. Dalam masalah harta wasiat, harus diperhatikan hal-hal berikut:

  1. Tidak boleh berwasiat untuk membagikan harta kepada ahli waris, karena mereka sudah mendapatkan jatah warisan (HR Ahmad dan Ashabu as-Sunan).
  2. Boleh berwasiat untuk memberikan harta pada kerabat (non-ahli waris) atau untuk orang lain yang bukan kerabat, jika membawa kemaslahatan.
  3. Wasiat berlaku ketika si pemberi wasiat sudah wafat.
  4. Wasiat tidak boleh lebih dari sepertiga dari seluruh harta yang dimiliki (HR Muslim). Contoh: apabila hartanya berjumlah Rp100 juta, maka yang boleh diwasiatkan hanya sekitar Rp35 juta. Sisanya (Rp65 juta) harus dibagikan kepada ahli waris, kelak ketika ia sudah wafat.

Ketiga, jika sang ayah “telanjur” wafat sebelum melakukan hibah atau wasiat, maka ahli waris tidak boleh (haram) membagikan seluruh harta peninggalannya dengan cara hibah, meskipun ada kerelaan di antara ahli waris. Karena harta peninggalan tersebut sudah berubah status menjadi harta warisan, maka pembagiannya harus sesuai ketentuan warisan (QS. An-Nisa’: 11-14 dan 176).

Mengenai pendapat yang menganggap pembagian warisan termasuk muamalah, bukan ibadah, sehingga boleh dibagi rata sesuai prinsip ‘an taradlin (saling rela), maka pendapat ini tidak dapat diterima. Karena prinsip ‘an taradlin itu tidak berlaku pada hal-hal yang ketentuannya sudah jelas dan pasti (qath’iyyah). Telah dimaklumi, ayat-ayat yang menerangkan pembagian warisan itu tergolong qath’iyyah (sudah pasti makna dan maksudnya), karena berupa angka-angka sehingga tidak multitafsir lagi. Sama halnya dengan jumlah rakaat shalat atau bilangan tawaf, yang tidak boleh dikurangi atau ditambahi. Maka, harta yang sudah berstatus warisan harus dibagi sesuai hukum waris.

CATATAN 1: Ada sebagian ulama yang membolehkan orang sakit menghibahkan hartanya kepada ahli waris, dan itu disebut hibah bukan wasiat. Jika kita mengambil pendapat ini, maka kita harus memperhatikan hal-hal berikut:

  1. Harta yang dihibahkan langsung menjadi hak milik ahli waris, tanpa harus menunggu kematian orang tuanya.
  2. Sebaiknya meng-hibahkan sebagian hartanya saja, tidak semuanya. Agar harta yang tersisa dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan hidupnya sampai wafat. Dan setelah ia wafat, harta tersebut dihukumi harta warisan.

CATATAN 2: Apakah pembagian harta yang diperoleh secara hibah itu harus sama besarnya, atau dibedakan antara anak laki-laki dengan anak perempuan, dan anak yang sudah menikah dengan anak kecil? Para ulama memerinci sebagai berikut:

Pertama, jika tidak ada hal-hal yang harus membedakan porsinya, misalnya semua anak masih kecil-kecil, sebaiknya pembagian disama-ratakan agar adil. Dalilnya antara lain:

>Hadis Nu’man Bin Bashir: “Ya Rasulullah, aku memberikan sesuatu kepada anakku.” Rasulullah bertanya: “Apakah semua anakmu kamu beri seperti itu?“ Nu’man menjawab: “Tidak, Ya Rasulullah,” Lalu Nabi bersabda: “Kalau begitu cabut kembali pemberian!” (HR. Bukhari dan Muslim).

>Hadis Nu’man Bin Bashir: “Bertaqwalah kepada Allah dan berbuatlah adillah di antara anak-anak kalian.” (HR. Bukhari dan Muslim)

>”Perlakukanlah sama di antara anak-anakmu. Jika dibolehkan membedakan, tentunya yang lebih diutamakan adalah anak perempuan.“ (HR Said bin Mansur)

Kedua, jika ada hal yang menuntut untuk dibedakan, maka boleh membedakan porsi masing-masing. Misalnya anak pertama sudah menikah dan sangat miskin, maka dia boleh diberi jatah lebih banyak dibandingkan saudara-saudaranya. Hal ini pernah dilakukan Abu Bakar as-Siddiq saat memberikan harta lebih dari 20 wasaq kepada Siti Aisyah, melebihi anak-anaknya yang lain.

Begitu juga anak yang menderita cacat (seperti buta, lumpuh, dll sehingga tidak bisa bekerja), maka orang tuanya boleh memberinya hak hibah lebih banyak dari pada anak-anaknya yang tidak cacat. WaLlahu a’lam. ()

REFERENSI:

  1. Abu Bakr Al-Husaini, Kifayah al-Akhyar, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, hal 454
  2. Wahbah Musthafa Az-Zuhaili, al-Fiqh al-Islami wa Adillatuhu, Damaskus, Dar al Fikr, 1989, Cet III, 5/34-35.
  3. Fatawi Al-Azhar 6/225
  4. Fatawi Al-Mu’ashirah 1/122
  5. Ibnu Qudamah, al Mughni, Beirut, Daar al Kitab al Arabi, : 6/246
  6. Shaleh Fauzan, at Tahqiqat al Mardhiyah fi al Mabahits al Fardhiyah, Riyadh, Maktabah al Ma’arif, hal 24.
  7. Ibnu Rusydi, Bidayat al-Mujtahid wa Nihayah al-Muqtasid, Beirut, Dar al Kutub al Ilmiyah, 2/ 327