KH. Musta’in Syafi’ie memberikan mauidhah hasanah dalam malam puncak Satu Abad Seblak. (Foto: Muk)

Tebuireng.online- Puncak peringatan satu abad Pondok Seblak digelar Minggu (18/11) malam. Berbagai pertunjukan seni ditampilkan sebagai ciri khas pesantren. Acara ini digelar di halaman pondok. Seribuan undangan memadati lokasi acara. Mulai para alumni, santri, guru, walimurid hingga masyarakat sekitar pondok.

Bupati Jombang Hj. Munjidah Wahab hadir guna memberikan hadiah lomba banjari dan baca kitab kuning. Perempuan yang juga ketua PC Muslimat NU Jombang ini lebih banyak mengulas kiprah pesantren bagi Indonesia.

“Tanpa pesantren, khususnya di Jombang dan umumnya di Indonesia, maka negeri ini akan terus tertimpa becana, maka kita yang ada di pesantren harus terus khatimil Quran, salawatan, dan istighastah,” ujarnya.

”Saya berharap para santri tidak usah khawatir, karena sudah dibekali para kiai, karena ke depan akan menerima estafet kepemimpinan dari yang kami-kami ini,” katanya.

Ia berharap santri semangat belajar. “Karena ilmu yang dibelajarkan di pesantren itu sangat bermanfaat dan santri dituntut untuk tanggung jawab,” bebernya.

Majalah Tebuireng

“Anak dari pondok itu diharapkan dari masyarakatnya. Jika sudah pulang dari pondok jangan diam di rumah saja, tapi rawatlah masyarakat, tidak hanya puas mengurusi rumah tangga,” pungkasnya.

Dalam kesempatan itu, Direktur Islam Nusantara Center Jakarta A. Ginanjar Sya’ban menjelaskan bahwa nama Choiriyah Hasyim sebenarnya sejajar dengan tokoh-tokoh emansipasi perempuan yang sudah dikenal selama ini di Indonesia. Seperti RA Kartini, Dewi Sartika, Rahmah El-Yunusi dan sebagainya.

“Ini karena Ibu Nyai Choriyah berhasil mendirikan sekolah perempuan di Arab Saudi, tidak hanya di dalam negeri,” ujarnya.

Dari Pondok Seblak, sebenarnya ada tiga tokoh hebat. Yaitu KH. Ma’sum Ali, Nyai Choiriyah Hasyim dan KH. Muhaimin. “Kiprahnya tidak hanya di dalam negeri, tapi juga sudah mendunia, hingga menjadi tokoh penting dunia pendidikan nasional,”  ujarnya.

Madrasah lil Banat, sekolah khusus putri yang didirikan Nyai Choiriyah, sekarang sudah tidak ada. “Karena pada tahun 1990, madrasah yang didirikan Nyai Choiriyah ini diambil alih pengelolaannya oleh pemerintha Arab Saudi,” katanya.

Salah satu karya monumental KH. Ma’sum Ali adalah kitab al-Amtsilah al-Tasrifiyah. Kitab ini terkenal di pesantren dengan julukan kitab Tasrifan. “Saya mengira kitab Tasrifan itu ditujukan untuk mahasiswa pemula,” ucapnya.

Dirinya terkejut karena pada tahun 2008 di Markaz Nil di Kairo ada tempat kursus bahasa Arab untuk orang asing. “Ternyata kitab itu menjadi sebagai rujukan akademisi internasional,” imbuhnya.

“Saya pertama kali menghapalkan Kitab Tasrifan ketika mondok di Kediri, terutama yang istilahi. Saya pernah ditakdirkan menjadi dosen di Mesir sekitar lima tahun juga karena salah satunya ya menghapal Tasrifan,” kenangnya.

KH. Ma’shum Ali, lanjutnya, mengarang Kitab Tasrifan saat masih berusia 19 tahun. Pada tahun 1919 dia mengarang kitab Fathul Qadir. Keduanya hingga sekarang masih digunakan dan dihapal oleh ribuan pesantren dan telah menghantar jutaan santri ke gerbang keilmuan Islam.

Karya KH. Ma’shum Ali yang menduniaadalah kitab Durusul Falakiyah. Bahkan kakek KH. Ma’shum Ali yang bernama Kiai Faqih Maskumambang Gresik juga pernah menulis kitab falak saat masih mondok di Pondok Langitan Tuban.

Umur manusia, pungkasnya, itu ada dua. Yaitu umur fisik dan yang melampaui fisik (‘umur tsani). Umur fisik KH. Ma’shum Ali adalah memang 35 tahun. “Sedangkan yang melampaui fisik beliau masih hidup hingga sekarang, terutama dalam memahami teks-teks berbahasa Arab, sebagamana Al Ghzali yang hingga sekarang juga masih hidup namanya,” pungkasnya.

Sebagai penceramah selanjutnya, KH. Mustain Syafi’i juga menegaskan hal yang sama. Mudir Madrasatul Qur’an Tebuireng ini menjelaskan bahwadalam kitab Tasrifan tidak hanya menampilkan. “Kitab Tasrifan itu hebat. Karena di dalamnya juga menjelaskan filosofis cara mencari ilmu itu bagaimana,” katanya.

“Santri Pondok Seblak wajib menguasai ilmu shorof. Jika perlu, saat ujian kelulusan pondok atau madrasah, diadakan ujian untuk memahami shorof dan saya siap daftar untuk menjadi jurinya,” ujanya yang disamput tepuk tangan hadirin.

“Dulu disuruh menghapalkan Tasrifan, meski  tidak tahu ilmu ini untuk apa?,” ujarnya dengan nada heran. “KH. Ma’shumAli sangat jeli dalam menyusun Tasrifan per bab. Meski tidak paham, hapalkan saja, nanti akan paham dengan sendirinya. Itu rumusan internasional yang sangat praktis,” katanya.

Kiai Musta’in juga mengupas makna filosofis dari enam mauzun yang ada. Yaitu fa’ala, dharaba, fataha, ‘alima, hasuna dan hasiba. “Tidak pantas jika santri Seblak tidak paham shorof,” candanya.

“Tugas sekarang adalah bagaimana Anda mampu melampaui prestasi-prestasi beliau yang sudah hebat-hebat itu,” pintanya. “Menyebarkan ilmu tidak cuma di Seblak, Jombang, Indonesa, tapi bisa mendunia seperti yang telah dilakukan beliau-belia itu,” pungkasnya.

Pewarta: Muk

Editor/Publisher: RZ