sumber gambar: www.google.com

Oleh : Muhammad Abror Rosyidin*

للَّهُمَّ بَارِكْ لَنَا فِي رَجَبٍ وَشَعْبَانَ، وبلغنا رمضان

“Ya Allah, berkahilah kami dalam bulan Rajab dan Sya’ban, dan sampaikan umur kami bertemu Ramadhan”

Islam sangat sempurna. Tatanan Kalam Allah menceritakan berbagai hal, dari undang-undang hingga keperluan hajat hidup manusia. Namun dengan berbagai pemenuhan itu, tak pelak menimbulkan kejenuhan duniawi. Untuk itulah, spiritualisme menjadi tempat kembali yang tepat ketika geliat intelektual dan emosional memenuhi hampir seluruh aktifitas sehari-hari. Cuplikan doa di atas menggambarkan bahwa segala sesuatu adalah kehendak-Nya, termasuk menggapai kemulyaan dalam bulan Rajab, Sya’ban dan Ramadhan. Dalam momen Sya’ban ini penting kiranya manusia mendekatkan diri pada Sang Pencipta dengan berbagai amalan-amalan ibadah di dalamnya sesuai dengan tuntunan dan ajaran Allah dan Rasul-Nya.

Sya’ban adalah sebuah bulan antara dua bulan haram, Rajab dan Ramadhan. Tak heran jika bulan ini juga merupakan bulan yang tak kalah mulia dari bulan-bulan yang lain. berbagai hadist menceritakan prihal amalan-amalan khusus dalam bulan yang terkenal dengan Nisfu Sya’bannya ini. Hadist-hadits tersebut mulai dari yang dhaif, hasan, mungkin juga shahih.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Puasa Sunnah dalam Sya’ban

عَنْ عَائِشَةَ أُمِّ الْمُؤْمِنِينَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا أَنَّهَا قَالَتْ: وَمَا رَأَيْتُ رَسُولَ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ اسْتَكْمَلَ صِيَامَ شَهْرٍ قَطُّ إِلَّا رَمَضَانَ وَمَا رَأَيْتُهُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْهُ صِيَامًا فِي شَعْبَانَ

Dari Aisyah R.A berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW melakukan puasa satu bulan penuh kecuali puasa bulan Ramadhan dan aku tidak pernah melihat beliau lebih banyak berpuasa sunah melebihi (puasa sunah) di bulan Sya’ban.” (HR. Bukhari no. 1969 dan Muslim no. 1156)

Dalam riwayat lain Aisyah ra berkata:

كَانَ أَحَبُّ الشُّهُورِ إِلَى رَسُولِ اللهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ أَنْ يَصُومَهُ شَعْبَانَ، ثُمَّ يَصِلُهُ بِرَمَضَانَ

“Bulan yang paling dicintai oleh Rasulullah SAW untuk berpuasa sunah adalah bulan Sya’ban, kemudian beliau menyambungnya dengan puasa Ramadhan.” (HR. Abu Daud no. 2431 dan Ibnu Majah no. 1649)

Terdapat pula riwayat lain dari ‘Aisyah ra dalam kitab Riyadu al-Shalihin karangan Syekh Nawawi al-Dimasqi bab keutamaan puasa Muharam, Sya’ban dan bulan-bulan haram.

عَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ لم يكن النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ فِي شَهْرٍ أَكْثَرَ مِنْ شَعْبَانَ فإنّه كان يَصُومُ شَعْبَانَ كلّه.و في رواية : كان يَصُومُ شَعْبَانَ إلاّ قليلاُ (متفق عليه)

“Nabi tidak pernah berpuasa sunnah lebih banyak dalam sebulan melebihi puasa sunnah dalam bulan sya’ban. Maka beliau berpuasa sya’ban sebulan penuh”. Dalam riwayat lain “Rasulullah berpuasa sya’ban kecuali dalam waktu yang sedikit (beberapa hari saja)”. (Hadits riwayat Muttafaqun Alaih (Bukhori-Muslim)

Ada juga hadits yang diriwayatkan Ummu Salamah ra :

عَنْ أُمِّ سَلَمَةَ قَالَتْ : مَا رَأَيْتُ النَّبِيَّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ يَصُومُ شَهْرَيْنِ مُتَتَابِعَيْنِ إِلَّا شَعْبَانَ وَرَمَضَانَ

Dari Ummu Salamah ra berkata: “Aku tidak pernah melihat Rasulullah SAW berpuasa dua bulan berturut-turut kecuali bulan Sya’ban dan Ramadhan.” (HR. Tirmidzi no. 726, An-Nasai 4/150, Ibnu Majah no.1648, dan Ahmad 6/293)

Imam Ibnu Hajar Al-Asqalani menulis: “Hadits ini merupakan dalil keutamaan puasa sunah di bulan Sya’ban.” (Fathul Bari Syarh Shahih Bukhari). Sedangkan Imam Ash-Shan’ani berkata: Hadits ini menunjukkan bahwa Rasulullah SAW mengistimewakan bulan Sya’ban dengan puasa sunnah lebih banyak dari bulan lainnya. (Subulus Salam Syarh Bulughul Maram, 2/239)

Malam Nisfu Sya’ban

Nisfu Sya’ban adalah malam pergantian paruh pertama ke paruh kedua bulan Sya’ban. Dalam arti lain adalah malam tanggal 15 saat purnama menyinari langit. Namun hingga kontroversi mengenai dalil amalan-amalan yang dilakukan beberapa masyarakat terutama masyarakat Ahlus Sunnah diperkecil kembali sebagai NU di Indonesia, terus diperbincangkan. Mulai dari kedha’ifan hadits-haditsnya hingga dikaitkan dengan amalan Bid’ah. Diantara hadits tersebut adalah : [1]

Pertama adalah hadits yang yang diriwayatkan oleh Ibnu Majah dari sahabat Ali ra. bahwa Rasulullah bersabda :

إذا كان ليلة نصف شعبان  فقوموا ليلها و صوموا نهارها (رواه ابن ماجه)

Ketika datang malam nisfu sya’ban maka dirikanlah kalian shalat pada malam harinya dan berpuasalah pada siang harinya” (HR Ibn Majah)

Kedua adalah hadits riwayat Ibn Hibban dari Sahabat Mu’adz bin Jabal ra, bahwa Rasulullah bersabda :

يَطَّلِعُ اللهُ إِلَى خَلْقِهِ لَيْلَةَ النِّصْفِ مِنْ شَعْبَانَ فَيَغْفِرُ لِجَمِيْعِ خَلْقِهِ إِلاَّ لِمُشْرِكٍ أَوْ مُشَاحِنٍ  ( أخرجه ابن حبان في صحيحه والطبراني)

Allah SWT melihat kepada makhluk-Nya pada malam Nishfu Sya’ban, lalu memberikan ampunan kepada seluruh makhluk-Nya kecuali kepada orang yang menyekutukan Allah atau orang yang bermusuhan.” (HR. Ibn Hibban dalam Shahih-nya [12/481], al-Thabarani dalam al-Mu’jam al-Kabir [20/109] dan al-Mu’jam al-Ausath).

Imam Rajab al-Hanbali setelah mendiaknosa hadits riwayat Ali sebagai hadits sakit sebab dhai’f sanadnya mengatakan bahwa kedhaifan  tersebut memang adalah anggapan jumhur ulama muhaditsin. Namun Hadist Ibn Hibban diatas (nomor 2) menshahihkan hadits itu dan mencantumkan dalam kitab Shahihnya.[2]

Bahkan Imam al-Zurqani menegaskan bahwa hadits riwayat Ibn Hibban tersebut adalah hasan. Mengomentari pernyataan Ibn Rajab yang mengatakan bahwa Ibn Hibban menganggap hadits Mu’adz adalah shahih. Karena menurutnya hadits itu adalah hasan. [3]

Terlepas dari status hadist-hadits di atas, seandainya memang adalah dha’if tidak ada sahih dan hasan karena masalah ini adalah Fadhailu al-A’mal. Selain itu tidak ada salahnya jika hadits keutamaan Nisf al-Sya’ban masuk dalam dalil yang umum tentang ibadah sunnah lain seperti shalat malam, adanya waktu mustajab di setiap malam, serta puasa hari terang bulan tanggal 13, 14, dan 15 atau yang disebut sebagai puasa Ayyam al-Bidl. Maka tak ada salahnya mengamalkan segala amalan-amalan Nisf Sya’ban seerpti dalam hadits-hadist di atas.

Hikmah Bulan Sya’ban

Pertama, sebagai persiapan spiritual menuju Ramadhan. Sya’ban adalah jembatan umat muslim menuju bulan yang diagungkan, Ramadhan. Amalan-amalan dalam Sya’ban sejatinya adalah media persiapan sebelum berperang yang sesungguhnya.

Membekali diri dengan puasa sunnah, amalan shalat malam, dzikir, dan mendekatkan diri pada Ilahi. Ramadhan yang merupakan bulan peningkatan spiritualisme dipersiapkan dengan matang sebelumnya, yaitu dalam bulan Sya’ban.

Kedua, sebagai tempat pengembangan intelektualitas. Di berbagai pesantren salaf dalam bulan ramadhan sudah menjadi tradisi mengadakan pesantren kilat. Mengawali  pengajian kilat tersebut, biasnya tak perlu menunggu datangnya bulan ramadhan dahulu, melainkan sejak pertengahan hingga akhir Sya’ban.

Sya’ban menjadi momen untuk menambang amunisi keilmuan khususnya tentang agama. Biasanya kitab yang dikaji adalah Shohih Bukhori-Muslim, Riyadus al-Shalihin, kitab-kitab kecil baik dalam bidang fiqh, akidah, maupun tasawwuf. Tentunya menjadi keberkahan dan kemanfaatan tersendiri bisa menimba ilmu berbarengan dengan kemulyaan yang disediakan oleh kedua bulan tersebut.

Ketiga, sebagai persiapan emosional menuju kemenangan. Puasa mengajarkan tentang bagaimana bersabar. Menahan lapar, dahaga, amara, dan lara. Ramadhan selain sebagai bulan meningkatkan keimanan dan ketakwaan juga merupakan adalah bulan tempat memupuk emosionalitas tinggi sebagai umat muslim.

Tak hanya kesabaran saja, emosionilatas ini bisa berbentuk kepedulian terhadap sesama, saling memberi kasih sayang dan cinta, serta menyambung tali silaturahmi sesama saudara baik seiman maupun berlainan keyakinan. Sebelum datangnya ramadhan sebagai bulan berperang melawan hawa nafsu dan syawal sebagai bulan kemenangan, Sya’ban adalah waktu untuk melatih dan mempersiapakan diri untuk kualitas ibadah yang lebih baik. Insya Allah.

Masih banyak sebenarnya keutamaan dan hikmah bulan sya’ban dari yang sekedar dituangkan dalam tulisan ini. Namun yang terpenting adalah semua itu dilakukan karena Allah SWT, keikhlasan penuh menyerahkan diri, jauh dari sikap riya’ dan sum’ah, hanya mengharap ridha Allah SWT semata.

Puasa, Shalat, Zakat, Shadaqah adalah sebagai perantara menuju sisi-Nya yang penuh keselamatan. berbicara soal dalil, dha’if, hasan, atau shahih, dalam kaitannya dengan keutamaan berbuat baik atau fadhail al-a’mal, asal tidak maudhu’ atau palsu, semua akan baik-baik saja, every thing gone be okeWallahu A’lam bi al-Shawab.


[1] Abdullah al-Ghumari, Husnu al-Bayan fi Laylati al-Nisf min Sya’ban hal 11-15

[2] Ibn Rajab al-Hanbali, Lathaif al-Ma’arif, hal 189-190

[3] al-Laknawi, al-Raf’u wa al-Takmil, hal 197


*Dosen Universitas Hasyim Asy’ari