Oleh: Muhammad Luthfi Anam Khoirufin*

Dalam hidup, semua orang pasti menginginkan ketenangan. Tapi ketenangan yang seperti apa orang-orang inginkan? Apakah ketenangan itu orang yang tidak memiliki hutang? Tidak pernah meneteskan air mata? Atau mungkin orang yang tidak memiliki masalah? Lalu pertanyaan selanjutnya, memang ada orang di dunia ini yang tidak memiliki masalah?

Nampaknya, pikiran kita terlalu sempit jikalau kita menilai ketenangan seperti yang disebutkan tadi. Seharusnya kita tidak sesempit itu untuk memaknai ketenangan. Orang jawa bilang, “urip iku sing penting berkah”. Mungkin ini yang kita cari selama ini. Apa itu? Ya keberkahan. Lalu apa itu berkah? Bukan nama toko, bukan pula nama orang, dan bukan hal fisik lainnya. Tapi yang jelas jika seseorang sudah mendapatkan keberkahan berarti orang tersebut sedang dalam ketenangan yang hakiki.

Sekitar bulan Juli 2021, penulis dengan kawan-kawan pondok sowan kepada salah satu pondok pesantren yang ada di Sirau, Banyumas yaitu Pondok Pesantren Roudlatut Thalibin yang diasuh oleh Simbah Kiai Mukhasis Nur.  Kami merasa sedang dihujani nasihat-nasihat dan kami merasa sedang memakan daging karena semua yang beliau haturkan sangat berisi. Secara tidak langsung, hati dan pikiran kami sedang “di-laundry” oleh Simbah Kiai. Diawali dengan cerita beliau bersama Sang Kiai terkemuka, yaitu KH. Musthofa Bisri semasa nyantri di Rembang. Sampai pada titik Simbah Kiai Mukhasis menyampaikan perihal “berkah”. Beliau menuturkan bahwa, “berkah kui lek butuh nggeh enten, lek gak butuh nggeh mboten enten” (berkah itu kalau butuh ya ada, kalau tidak butuh ya tidak ada).

Bagi penulis pribadi, pengertian berkah yang disampaikan Simbah Kiai sangat fresh, karena jarang diungkapkan oleh kebanyakan Kiai (atau mungkin memang penulis yang masih kurang referensi). Kebanyakan orang mengartikan berkah sebagai bertambahnya kebaikan secara terus menerus, yang lebih masyhur dengan istilah:

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

 زِيَادَةُ الخَيرِ عَلَى الخَيرِ بِالإِستِمرَء

Dua pengertian berkah tadi –baik menurut Simbah Kiai Mukhasis maupun yang kebanyakan orang artikan- sama-sama relevan digunakan. Karena dua pengertian tersebut pada akhirnya menciptakan kehidupan yang tenang, qana’ah, dan karena adanya ketenangan serta sikap qana’ah menghasilkan kehidupan yang penuh dengan kebaikan. Dan inilah tujuan yang seharusnya orang cari. Tidak harus banyak, yang penting bahagia. Tidak harus bertambah –dalam hal materi-, yang penting selalu bisa qana’ah. Tidak harus semua dimiliki, yang penting ketika kita butuh terpenuhi.

Jadi, jangan menilai keberkahan hanya dari ukuran fisiknya saja. Maknailah berkah sebagai kebahagiaan dan ketenangan. Apakah orang yang bergelimang harta kemudian terjerumus korupsi, bisa dikatakan berkah? Apakah orang yang bertambah ilmunya akan tetapi tidak bertambah petunjuk yang ia raih, bisakah dikategorikan ke dalam makna berkah?

مَن ازدَادَ عِلمًا وَلَم يَزدَد هُدًى لَم يَسدَد مِنَ اللهِ إِلَّا بُعدًا

“Barangsiapa bertambah ilmunya namun tidak bertambah petunjuk yang ia raih, niscaya dia hanya menambah jauh jarak dari Allah”.

Lantas, bagaimana seseorang mendapatkan keberkahan? Setidaknya ada empat cara supaya kita mendapatkan keberkahan.

Perbanyak Taubat

Berbicara perihal taubat, taubat merupakan salah satu yang harus dikerjakan secara tergesa-gesa. Sejalan dengan perkatan dari Hatim al-Asham:

قال هاتم الأصم: العُجلَةُ مِنَ الشَّيطَانِ إِلَّا فِي خَمسَةٍ فَإِنَّهَا مِن سُنَّةِ رسولِ اللهِ صلّى الله عليه وسلّم: اِطعَامِ الضَّيفِ, وَتَجهِيزِ المَيِّتِ, وَتَزوِيجِ البَكرِ, وَقَضَاءِ الدَّينِ, وَالتَّوبَةِ مِنَ الذَّنبِ.

Artinya: “Tergesa-gesa itu dari Syaitan kecuali lima hal, karena lima hal tersebut itu adalah sunnah Nabi Muhammad Saw. yaitu: memberi makan tamu, merawat mayit, menikahkan perawan, membayar hutang, dan bertaubat dari dosa”.

Kaitannya dengan keberkahan, dalam surah al-Nuh bisa dijadikan landasan bahwa taubat bisa mengantarkan kita kepada kehidupan yang penuh dengan keberkahan.

فَقُلْتُ اسْتَغْفِرُوْا رَبَّكُمْ اِنَّهٗ كَانَ غَفَّارًاۙ ، يُّرْسِلِ السَّمَاۤءَ عَلَيْكُمْ مِّدْرَارًاۙ، وَّيُمْدِدْكُمْ بِاَمْوَالٍ وَّبَنِيْنَ وَيَجْعَلْ لَّكُمْ جَنّٰتٍ وَّيَجْعَلْ لَّكُمْ اَنْهٰرًاۗ

Artinya: Lalu, aku berkata (kepada mereka), “Mohonlah ampun kepada Tuhanmu. Sesungguhnya Dia Maha Pengampun. (Jika kamu memohon ampun,) niscaya Dia akan menurunkan hujan yang lebat dari langit kepadamu, memperbanyak harta dan anak-anakmu, serta mengadakan kebun-kebun dan sungai-sungai untukmu.” (Q.S. Al-Nuh ayat 10-12)

Ayat di atas menjelaskan faidah dari taubat dalam hal ini dengan cara beristighfar. Secara gampangnya, ketika manusia beristighfar (baca: taubat) maka akan makmur hidupnya; berkah kesehariannya.

Meningkatkan Takwa

Sayyidina Ali k.w. pernah menjelaskan takwa dengan definisi sebagai berikut:

هي الخوفُ من الجليلِ, والعملُ بالتنزيلِ, والقناعةُ بالقليلِ, والإستعدادُ ليوم الرحيل

Artinya: “Takwa adalah rasa takut kepada al-Jalil (Allah SWT.), mengamalkan isi Al-Qur’an, merasa cukup dengan rezeki yang ada terhadap yang sedikit, dan mempersiapkan kehidupan setelah kematian nanti”.

Sejalan juga dengan Firman Allah SWT:

مَن يتَّقِ اللهَ يَجعل لهُ مَخرَجَ وَيَرزُقُهُ مِن حَيثُ لَا يَحتَسِب

Artinya: “Barangsiapa bertakwa kepada Allah, maka Allah akan mengeluarkan (dari segala masalah) dan memberikan rizki dari arah yang tidak terduga). (Q.S. Al-Thalaq ayat 2-3)

Ulama menjelaskan faedah-faedah orang yang bertakwa di antaranya yaitu dicintai Allah, dimuliakan Allah, diberi kabar gembira untuk kehidupan dunia dan akhirat, selamat dari segala kesulitan dan diberi rizki yang halal, dan diberikan jalan keluar dari syubhat dunia dan kesulitan hari akhirat. Melihat faedah-faedah yang disampaikan oleh ulama sangat relevan dengan pengertian berkah yang sudah disampaikan, oleh karenanya dengan kita bertakwa bisa mengantarkan kita mendapatkan kehidupan yang berkah.

Tawakal

Tawakal secara bahasa berarti pasrah. Dalam KBBI, tawakal diartikan sebagai bentuk pasrah diri kepada kehendak Allah SWT.; percaya dengan sepenuh hati kepada Allah SWT. Tetapi, sebagian masyarakat memahami tawakal sebagai bentuk penyerahan pada keadaan dan kenyataan tanpa sebab/upaya/ikhtiar. Pemahaman tersebut tentu kurang tepat.

Padahal, Imam Qusyairi pernah menjelaskan tentang tawakal dalam kitab beliau. Beliau mengatakan, “Tawakal bertempat di hati. Sedangkan gerakan fisik lahiriyah tidak menafikan kerja tawakal di hati setelah keyakinan seorang hamba manta di hati bahwa takdir berasal dari Allah SWT.”.

Pendapat beliau sudah sangat memberikan pencerahan bagi kita, bahwa yang namanya tawakal di satu sisi adalah sikap batin yang tenang karena menyerahkan urusan kepada Allah. Sedangkan di sisi lain, adanya sebab/usaha/ikhtiar adalah aktivitas lahiriah fisik untuk menuju keinginan yang diidealkan. Dengan demikian, tawakal dengan sebab/upaya/ikhtiar tidak dapat dipertentangkan atau dipilih salah satunya, tetapi keduanya bisa berjalan beriringan.

Tawakal dan ikhtiar jika digabungkan akan mengantarkan kehidupan penuh keberkahan. Karena kita melibatkan Allah (tawakal) di setiap usaha (ikhtiar) kita.

Bersyukur

Dalam al-Quran, Allah SWT berfirman:

لَئِن شَكَرتُم لَاَزِيدَ نَّكُم

“Jika kamu bersyukur, pasti Kami akan menambah (nikmat) kepadamu”. (Q.S. Ibrahim ayat 7)

Kurang lebih, begitulah janji Allah. Tidak ada yang patut diragukan akan janji Allah, bukan? Allah sudah berjanji demikian, pasti akan dipenuhi oleh Allah SWT. Catatannya, kita senantiasa bersyukur atas apapun yang diberikan oleh Allah. Sehingga ketika kita sudah bersyukur, Allah akan menambah nikmatnya kepada kita dan tentunya akan menjadikan kehidupan kita penuh dengan keberkahan.

Bersedekah

Ihwal sedekah, ada cerita menarik yang pernah dijelaskan oleh seorang kiai ketika menerangkan kitab Nashoihul ‘ibad, beliau menuturkan bahwa dulu ada seorang yang berangkat haji dan singkat cerita orang tersebut ketika di depan Ka’bah tertidur dan bermimpi. Di dalam mimpi orang tersebut mengisyaratkan semua orang yang haji pada waktu itu tidak ada yang mabrur, kecuali satu orang saja.

Seketika itu, orang tersebut bangun dari tidurnya dan mencari satu orang yang mabrur menurut mimpinya. Dicari di mana-mana dan akhirnya ketemu di daerah Syam, akan tetapi orang yang mendapat gelar mabrur tersebut tidak menunaikan ibadah haji. Setelah bertemu, kemudian orang yang bermimpi menceritakan mimpinya kepada orang tersebut.

Akan tetapi orang tersebut juga menceritakan bahwa dirinya tidak menunaikan ibadah haji karena ketika dia mau berangkat haji, ada tetangganya yang membutuhkan pertolongan, alhasil orang tersebut memberikan seluruh uangnya yang akan digunakan haji kepada tetangga yang membutuhkan tersebut. Dari cerita tersebut, barulah orang yang bermimpi tadi menyadari akan hal tersebut yang menyebabkan dia tergolong orang yang haji mabrur.

Masih banyak lagi cerita perihal sedekah yang dapat mengantarkan manusia ke derajat yang “wah”. Tetapi, penggalan cerita di atas sudah cukup menggambarkan dahsyatnya sedekah dalam hidup kita. Orang yang tidak jadi berangkat haji karena sedekah, tetapi mendapatkan gelar haji yang mabrur. Sangat mudah bagi Allah untuk mengganjar hambanya demikian. Apalagi urusan duniawi, ketika kita bisa bersedekah, Allah pun akan sangat mudah mengantarkan kita kepada kehidupan yang penuh dengan keberkahan.

Demikian tulisan perihal berkah dan cara untuk mendapatkannya. Semoga dapat bermanfaat dan mengantarkan kita kepada kehidupan yang berkah nan bermartabat.

اللهمّ بَارِك لَنَا فِي رِزقِنَا وَبَارِك لَنَا فِي حَيَاتِنَا وَبَارِك لَنَا فِي عُلُومِنَا….. آمِين


*Mahasiswa Pascasarjana UIN Prof. K.H. Saifuddin Zuhri Purwokerto