Penyampaian materi literasi dalam rangka World Book Day 2017
yang diadakan oleh Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Unhasy yang bekerja sama dengan Komunitas Gerakan Indonesia Membaca (GIM) Jombang, Minggu (23/04/17) di Ruang Fakultas Teknik Unhasy. (Foto : Ahmad Fao)

Tebuireng.online– Dalam rangka World Book Day atau Hari Buku Dunia 2017, Program Studi Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia FIP Universitas Hasyim Asy’ari (Unhasy) Tebuireng bekerja sama dengan Komunitas Gerakan Indonesia Membaca (GIM) Jombang menyelenggarakan Sarasehan Literasi, Minggu (23/04/17) di Ruang Fakultas Teknik Unhasy.

Isu penting yang diangkat dalam peringatan World Book Day tersebut adalah membumikan gerakan literasi pada masyarakat melalui GIM. Di tengah perkembangan teknologi digital saat ini, peranan literasi dipandang penting. Akan tetapi Pegiat Literasi Sekolah Seno Bagaskoro yang hadir siang itu mengingatkan, bahwa sebenarnya tantangan utama gerakan membumikan literasi bukanlah teknologi. Akan tetapi justru bagaimana menularkan energi literasi kepada banyak orang yang belum memiliki kesadaran literasi dan berbeda-beda atau beragam latar belakangnya.

“Karena sebenarnya literasi itu terkait erat dengan keragaman. Literasi tidak memandang ras, warna, dan lain sebagainya. Literasi tidak mengenal warna kulit, jenis rambut, profesi, dan lain sebagainya. Akan tetapi bagaimana menularkan semangat literasi kepada beragam orang yang belum tumbuh kesadaran literasinya,” ungkapnya.

Karena itu, tegas Seno, tantangan utama membumikan literasi pada masyarakat bukanlah teknologi digital yang berkembang pesat saat ini. Akan tetapi bagaimana merubah pola pikir (mindset) orang-orang yang ada dalam masyarakat dengan keragaman yang mereka miliki. Sehingga keberagaman yang ada mendapatkan ruangnya.

Fakta berbeda justru ditemukan Seno, ketika pemuda kelahiran 2001 itu mengunjungi beberapa negara  yang justru sangat terbantu dengan adanya teknologi untuk mendukung gerakan literasi. Salah satunya, Korea Selatan yang menerapkan jam belajar sekolah 15 jam sehari. “Jadi, siswa di Korsel itu sekolah dari jam 9 pagi sampai jam 11 malam,” paparnya. Sama halnya di Jepang yang juga terdukung oleh teknologi dan mereka berhasil memanfaatkan teknologi untuk bergerak menuju kemajukan.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Seno lantas menyebut penyempitan makna literasi yang sekadar pada aktivitas baca dan tulis. Lebih dari itu, literasi menurut Seno merupakan upaya membaca tidak hanya buku akan tetapi masalah atau problema yang ada di sekitar masyarakat. Seseorang yang memiliki kesadaran literasi yang baik akan peka dan mampu membaca persoalan yang ada di sekitarnya. “Akademisi (yang sudah terliterasi) tidak akan ada gunanya, kecuali dia bisa nyemplung dalam masyarakat dan mampu membaca persoalan dan menemukan solusinya.”

Sependapat dengan Seno, Motivator Literasi Yusron Aminullah menyebut literasi sebagai kemampuan menemukan masalah. Yusron menceritakan sebuah kampung di Kawasan Gunung Kidul Yogyakarta yang dijuluki dengan kampung literasi. Akan tetapi, pola hidup masyarakatnya cenderung tidak sehat. Di rumah warganya tidak ada ketersediaan ventilasi yang cukup, bahkan sapi juga menjadi satu di dalam rumah. “Sekali lagi literasi itu bukan sekadar memprogram baca dan tulis. Program semacam itu bisa jadi malah menambah masalah. Akan tetapi bagaimana melalui semangat literasi itu muncul kepekaan untuk membaca dan menemukan masalah, sehingga hidup menjadi lebih baik.”

Budayawan Wiek Herwiyatmo mengajak untuk membumikan gerakan literasi yang tidak hanya ada di Indonesia. Akan tetapi gerakan ini merupakan bagian dari aksi di dunia. “Banyaklah membaca buku, alam, situasi, dan saya kira gerakan yang selaman ini dilakukan sudah bagus dan tinggal perlu ditingkatkan.” Pungkasnya apresiatif.


Pewarta : Robiah

Editor : Munawara, MS

Publisher : Munawara