arkeologitasawuf
Sumber Gambar: www.mizanstore.com

Judul Buku: Arkeologi Tasawuf

Penerbit: MIZAN 

ISBN: 9789794339602

Tahun Terbit: Juli 2016

Halaman: 404 Halaman

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Peresensi: A. Fathurrohman Rustandi*

Arkeologi Tasawuf, sebuah karya Abdul Kadir Riyadi, Ph. D, berusaha menyajikan tasawuf dengan cara seorang arkeolog, sangat informatif dan provokatif, penulis berusaha menyajikan geneologi tasawuf dari Abul Haris Al-Muhasibi abad ke-9 masehi sampai Nawawi bin Umar al-Bantani al-Jawi abad 19.

Dalam buku terbaru terbitan Mizan ini, kita diajak menyaksikan tasawuf secara langsung, masuk museum dan melihat diorama tasawuf yang didisplay secara apik oleh penulis, di dalamnya sudah tertata rapi geneologi pemikiran dan kronologi para sufi, beserta segala dinamikanya. Riyadi menyajikan data yang cukup memukau, catatan kaki yang kaya, seolah mengajak pembaca untuk ikut menelusuri maraji’ turats yang terlihat dominan dalam karya ini.

Menyatukan Fragmen Tasawuf

Sejarah permulaan tasawuf sangat menarik, bak seorang mega bintang yang diperbincangkan banyak orang sejak awal kemunculannya. Penulis lebih memilih Abu Haris Al-Muhasibi dari pada Hasan Al-Basri sebagai bapak tasawuf, Kodifikasi tasawuf sebagai ilmu diyakini baru hadir di era Al-Muhasibi. Tidak selesai disitu, para raksasa sufi coba di potret secara utuh oleh penulis, seperti: Abu Nasr al-Sarraj, Abu Bakar al-Kalabadzi, Abu Thalib Al-Makki, Al-Hujwiri, Al-Harawi, Al-Ghazali, Abdul Kadir Al-Jilani, As-Syadili, Sakandari, Suhrawardi, Ibn Arabi, Ibn Taimiyah, Mulla Sadra, ditutup dengan Syeikh Nawawi bin Umar al-Bantani al-Jawi sebagai bapak tasawuf Nusantara. Para raksasa ini coba direkam biografi, geneologi pemikiran, daya jelajah, serta kronologinya.

Namun cukup disayangkan, perjumpaan al-Muhasibi bersama Junaid al-Bagdadi tidak diberikan porsi yang banyak, ibarat seorang aktor dalam sebuah film, Junaid al-Bagdadi hanya dijadikan sebagai pemain piguran, kebintangan Al-Bagdadi masih kalah bersinar oleh seniornya al-Muhasibi, akan lebih menarik jika perjumpaan dua sufi top ini dijelaskan secara lebih dalam, seperti kisah al-Muhasibi yang menantang al-Bagdadi untuk memberikan pertanyaan sebanyak-banyaknya dalam suatu majelis.

Tasawuf Ilmu tak Bertepi

Diferensiasi Tasawuf dengan Tarekat berusaha dilakukan penulis, citra tasawuf yang semakin buruk diyakini salah-satunya karena ulah tarekat, tarekat merupakan bagian dari tasawuf. Potensi besar tasawuf sebagai khazanah keIslaman yang paripurna, digandrungi para sarjana dari seluruh dunia, tidak hanya di dunia Islam, namun juga para cendikia Barat, sangat disayangkan jika harus mati karena ulah segelintir para sufi yang lebih menekankan tasawuf praktis, dari pada tasawuf falsafi yang menjadi tulang punggung ilmu ini.

Perjalanan panjang tasawuf setelah banyak dihantam tsunami kritikan para pembencinya, tidak membuatnya tumbang, bahkan membuat tasawuf sebagai ilmu menjadi lebih dewasa dan mapan. Karena ilmu pengetahuan selalu penuh dinamika dan perlu diuji. Perang pemikiran ini telah terbukti dimenangkan tasawuf, walau dirinya pulang dari medan laga dalam keadaan terluka berat akibat serangan bertubi-tubi para lawannya yang berlangsung lama.

Tasawuf berbasis Al-Qur’an dan Sunnah, begitulah pledoi yang diajukan para sufi, walau beberapa sufi memiliki afiliasi dengan filsafat yang berbasis akal rasional, namun sejatinya peran wahyu masih lebih dominan, sebagian memang ada yang dianggap sesat, dan kafir karena konsep ajarannya dianggap menyimpang, tuduhan keji yang dialamatkan kepada sufi seperti sesatnya konsep Ittihad, Wahdatul Wujud, dan Hulul di dunia Islam, dan ada yang menyamakan tasawuf dengan mistisisme dan panteisme.

Rehabilitasi Nama Besar Tasawuf

Tasawuf diyakini sebagai ilmu yang memiliki kontribusi besar bagi perkembangan ilmu pengetahuan, baik di dunia Islam maupun di Barat, fakta tak tebantahkan ini diamini oleh banyak ulama yang dijelaskan secara gamblang dalam buku setebal 403 halaman ini, pernah membawa Islam mencapi puncaknya, pembacaan ulang terhadap tasawuf menjadi tawaran solusi bagi problematika umat manusia saat ini. Karena tasawuf unik dan dimensi yang di miliki tasawuf melampaui kepanglimaan akal.

Buku ini mendokumentasikan bagaimana tasawuf mengalami banyak percobaan pembunuhan sejak awal kelahirannya, namun ulama yang disebut diatas berhasil menyelamatkan tasawuf dari tikaman orang-orang seperti Ahmad ibn hanbal, Ibn al-Jauzi dan lain-lain.

Dalam penutup buku ini penulis ingin mengajak para pembaca, untuk menghidupkan kembali tasawuf, bahwa abad 17 sampai 19 tasawuf pernah berjaya di bumi Nusantara, namun anehnya tradisi tasawuf yang diajarkan ulama Nusantara seperti Hamzah Fansuri, Syeikh Yusuf al-Makassari dan Syeikh Nawawi bin Umar al-Bantani seperti hilang tak berbekas, penulis menawarkan gagasan pencarian kembali harta karun tasawuf yang hilang dari Nusantara, karena wacana universal tasawuf tidak bisa dibatasi oleh apapun, karena tasawuf bukan patung mati, melainkan pemahat yang akan terus berproses dan berkreasi.


*PenuFathurrahman karyadilis adalah Alumni Ma’had aly Hasyim Asy’ari Tebuireng