(Sumber: facebook penulis)

Oleh: Ibhar Cholidi

Tiga tahun, saya belajar kepada Kiai Syansuri Badawi di Madrasah Aliyah Salafiyah Syafi’iyah Pesantren Tebuireng. Sepuluh tahun, nyaris setiap hari selalu bertemu. Sejumlah kitab yang dikaji bersama beliau, mulai Asybah wa al-Nadzair, Uqud al-Juman, Fath al-Wahhab, Iqna’, al-Muhadzab, Tafsir al-Baidhawi, Ihya’ ‘Ulum ad-Din hingga Shahih Bukhari dan Muslim. Apa yang tak saya temui dalam diri Kiai Syansuri adalah menjumpai beliau marah kepada santri.

Kendati dari raut wajah beliau bertipologi serius, namun humornya berkadar tinggi. Lebih jelas ekspresi ini saat bacaan kitab sampai kepada bagian bab an-Nikah. Wah, santri yang mengaji kepada beliau, pasti dibuat tertawa terpingkal-pingkal dan tiada mungkin bisa menahannya. Seolah masih segar dalam ingatan saya sejumlah ungkapan atau istilah yang memantik tawa berkepanjangan. Sayangnya, tak elok rasanya dinarasikan dalam tulisan ini.

Kembali ke soal Kiai Syansuri yang tak pernah memarahi santri. Bahkan, cenderung memproteknya. Hal ini tampak misalnya, tatkala ada oknum santri terlibat bentrok dengan pemuda luar pesantren pada saat “pesta” Tayuban jelang PG Tjoekir memasuki masa giling tebu, atau santri yang mempraktekkan “nahi mungkir” lewat laku membubarkan orang yang tengah berjudi dan melahirkan keributan dengan para penjudi. Termasuk santri bentrok dengan pemuda ketika ada perhelatan panggung hiburan di Jombang dan seterusnya.

Sekali lagi, tak pernah peristiwa-peristiwa itu membuat Kiai Syansuri marah. Yang acap kali muncul kemudian, mengumpulkan semua santri di masjid dan berkata, “Anak anak-ku jangan mengulangi lagi hal yang seperti itu ya. Tak baik santri berperilaku demikian dan ayo belajar lagi yang sungguh sungguh”.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online