Oleh: Ahmad Faozan*

SUN KANG adalah seorang warga China. Ia hidup di zaman Dinasti Jin(317-420 Masehi). Ia merfaoupakan seorang penggila buku. Segala kesulitan menghampirinya. Demi untuk bertahan hidup, dari pagi hingga sore waktunya banyak dihabiskan untuk bekerja. Di desanya, keluarganya tergolong paling miskin. Dimana, rumah yang di tempati bersama orangtuanya jauh dari kelayakan bahkan semakin sempurna dengan kekurangan tak memiliki alat penerang seperti lampu. Jika di pagi hari hingga sore, bekerja banting tulang begitupun dengan orangtuanya. Tentu membuat tenaga SUN KANG di malam hari sudah tak tersisa dan maksimal untuk beraktivitas, seperti membaca buku. Bermimpi membaca buku dengan khusuk pada malam harinya hanya menjadi angan-angan belaka. Lantas, bagaimana dengan kita, yang hidup sempurna, dimana penerangan lampu terang benderang. Tentu untuk membaca buku tak mengalami masalah.

Dalam lamunan SUN KANG, ia sering berharap, kapan rumahnya memiliki lampu supaya saban malamnya bisa menikmati baca buku tanpa keluar rumah. Kegelisahan itu ia jalani selama berhari-hari dan berbulan-bulan. Gejolak yang muncul dalam dirinya amat membuatnya gelisah. Pada suatu waktu, ia berikhtiar memberanikan diri untuk mengadukan masalahnya kepada ayah dan ibunya. Dengan harapan, rumahnya paling tidak memiliki lampu penerang. Sehingga, tatkala malam hari tiba, diberi kesempatan menikmati sebuah buku bacaan. “Pak…semua tetangga sudah memiliki lampu penerang, hanya rumah kita satu-satunya di desa ini yang belum memiliki penerang rumah. Jika begini terus, siang hari kerja malam hari lelah, kapan saya bisa baca buku, kapan saya jadi anak pandai. Bisa tidak, rumah kita memiliki penerang rumah?”

Wajah ayahnya pun tiba-tiba menjadi memucat mendengar pertanyaan SUN KANG. Siapa, yang tidak berbangga anaknya memiliki hobi positif membaca buku? Dengan kebesaran jiwa dan kejujuran sang ayah menjawab, kita tahu keluarga kita hidup sangat miskin. Penghasilan kita tak seberapa. Hanya cukup untuk mencukupi isi perut kita sekeluarga. Untuk memenuhi kebutuhan makan dan keluarga dalam sehari-hari saja kita merasakan keteteran. Tak cukup upah kerja kita untuk membeli minyak untuk lampu. Gerimis pun membasahi pipi ayahnya. Nak…kita bisa mati kelaparan jika memaksakan diri membeli minyak untuk lampu… SUN KANG pun ikut bersedih dan menangis. Dalam batinnya, ia berjanji kepada dirinya untuk tidak menuntut hal yang berat kepada ayahnya membeli minyak lampu.

Walaupun begitu, tetap saja. Semangat membaca buku SUN KANG tak pudar. Dengan segala keterbatasan yang menimpanya tetap berusaha untuk berjuang membaca buku. Sejak itulah, SUN KANG sering keluar rumah di malam hari. Demi untuk mengobati rasa rindunya akan membaca buku. Dibawah pantulan sorotan lampu tetangganya, Ia membaca buku yang didapat dari orang lain yang bermurah hati meminjamkan kepadanya. Setelah sebuah buku selesai dibaca, tak lupa untuk mengembalikannya tepat waktu. Begitulah kebiasaan rutinnya saban malam. Membaca buku dengan mengandalkan pancaran sinar lampu milik tetanganya membuat matanya tak bisa bertahan lama. Tapi hal itu sudah lebih dari cukup untuk mengobati rasa dahaganya akan membaca buku.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Membaca Dibawah Sinar Rembulan

Saat musim dingin tiba, salju turun sangat lebat, hujan salju di malam hari tak henti-hentinya. Udara yang sangat segar itu di sempurnakan dengan sinar rembulan yang amat terang. Keindahan alam yang jarang di temukan. SUN KANG pun keluar rumah memanfaatkan malam itu untuk membaca buku. Dengan sinar pantulan lampu rumah tetangga plus sinar rembulan, ia khusuk membaca buku. Tak terasa, cuaca malam itu menembus pori-porinya. Sehingga, ia tak kuat berlama-lama. Bergegaslah, ia pulang kerumah. Tiba-tiba, di tengah jalan, kakinya tersandung dan bukunya terjatuh di atas salju. Bukunya perlu diselamatkan, ia pun segera mengambilnya. Saat mau memungut bukunya yang terjatuh, saljunya mengeluarkan pantulan sinar cahaya yang amat terang benderang melebihi sinar rembulan. Sejak itulah, ia menemukan tempat baru untuk bermesraan dengan bukunya.

Namun, nahas, hal itu juga membuat dirinya ikut terserang penyakit borok populer disebut Dong Chuang. Penyakit seperti ini hanya muncul disaat musim dingin tiba dan menghilang sampai bergantinya musim. Menderita penyakit Dong Chuang membuat daging dan kulitnya terbuka. Rasa perih, gatal, dan tak nyaman pun muncul dalam dirinya. Tentunya sangat mengganggu kebiasaan rutinnya membaca buku diluar rumah saat malam hari tiba. SUN KANG tak menyerah begitu saja dengan penderitaan yang sedemikian rupa. Ia tetap keluar rumah untuk membaca buku. Justru, terang rembulan inilah momentum yang sangat baik bagi dirinya untuk mampu menghabiskan banyak buku. Dari sinilah yang dikemudian hari, menjadikan SUN KANG sebagai pemikir yang memiliki ide dan gagasan brilian. Dari lisan ke lisan, cerita SUN KANG bertahan berabad-abad. Kisah ini pun kemudian menjadi legenda. Semangat membaca SUN KANG lantas di jadikan inspirasi bagi anak-anak di China. Jangan berhenti membaca, meski kondisi fisik lemah dan kesibukan padat!

*

Semua pelajaran yang menarik di petik, utamanya oleh kita sebagai kaum terpelajar. Membaca buku merupakan sebuah pekerjaan yang melelahkan dan membosankan khususnya bagi mereka yang belum terbiasa. Padahal kegiatan membaca merupakan suatu kebutuhan otak. Membaca merupakan kegiatan menambah suplemen bagi otak. Sudah mafhum dikalangan kaum terdidik bahwa membaca adalah jendela pengetahuan.

Dalam konteks pesantren Tebuireng, begitu banyak tokoh yang sangat gemar dalam membaca. Wajar, jika Hadratussyaikh KH. M. Hasyim Asy’ari, KH. A. Wahid Hasyim, Gus Dur dan Gus Sholah, dll menjadi orang-orang hebat yang patut kita teladani. Menumbuhkan gemar membaca perlu menjadi budaya yang kuat di lingkungan kita, minimal! Menggugah kesadaran bersama untuk menjadikan aktifitas membaca sebagai kegiatan rutinan merupakan suatu hal yang perlu terus dilakukan. Semoga bermanfaat!

 


Oleh, Ahmad Faozan

DIMUAT MAJALAH TEBUIRENG ED. 40