Para siswa-siswi SMA Santa Louis Surabaya saat mengikuti pertemuan di Gedung KH. M. Yusuf Hasyim lantai 3 Pesantren Tebuireng, pagi tadi (22/03/2016)
Para siswa-siswi SMA Santa Louis Surabaya saat mengikuti pertemuan di Gedung KH. M. Yusuf Hasyim lantai 3 Pesantren Tebuireng, pagi tadi (22/03/2016)

tebuireng.online– Sekitar 150 siswa-siswi SMA Katolik Santa Louis Surabaya mengunjungi Pesantren Tebuireng, pagi tadi (22/03/2016). Dalam pertemuan yang dilaksanakan di Gedung KH. M. Yusuf Hasyim lantai 3 tersebut, mereka banyak mengajukan pertanyaan-pertanyaan seputar dunia kepesantrenan.

Salah satu siswa menanyakan tentang sistem pesantren dalam menanggapi multikulturalisme, sedangkan pesantren identik dan sangat lekat dengan Islam. Pertanyaan tersebut dijawab oleh Sekretaris Pesantren Ir. H. Abdul Ghofar. Beliau mengatakan bahwa santri dalam belajar agama tentu harus sesuai dengan petunjuk Sang Pencipta. Pesantren memiliki ciri khas menkaji literatur klasik karya para ulama-ulama terdahulu.

Mengenai perbedaan, santri Tebuireng sudah menganggapnya sebagai hal biasa, karena dididik untuk saling menghargai dan toleransi. Santri Tebuireng bahkan berasal dari seluruh penjuru Indonesia. Sehingga para santri tidak menjadi radikal dan ekstrem dalam menghadapi perbedaan.

Uniknya salah satu siswa bertanya tentang perbedaan antara NU dan MUI. Gus Ghofar, panggilan akrab Ir. H. Abdul Ghofar, menjawab bahwa NU adalah organisasi kemasyarakatan, sedangkan MUI dibentuk secara khusus untuk menentukan, merumuskan, menetapkan dan menciptakan produk hukum.

Rombongan SMA Katolik Santa Louis Surabaya tiba di Pesantren Tebuireng sekitar pukul 09.30 WIB. Selain Tebuireng, rombongan juga mengunjungi beberapa tempat bersejarah, diantaranya Candi Tikus Trowulan, Maha Vihara, Gereja Kristen Jawi Wetan Mojowarno, dan Klenteng Hong San Kiong Gudo. Acara ini adalah bagian dari agenda “Study Sosial Budaya” bagi siswa-sisiwi kelas IPS. (zen/abror)

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online