Oleh: Septian Pribadi*

Nyai Nafiqah tampak lemah dan gelisah. Keadaan itu dialaminya semenjak hamil untuk kelima kalinya. Tubuhnya sering lemas, tak berdaya, dan tak bertenaga. Hingga kemudian bibir Nyai Nafiqah mengucap sebuah nazar, “Bila bayi dalam kandungan ini lahir dalam keadaan selamat dan tanpa kurang suatu apapun, maka akan kubawa ke Kiai Kholil setelah tubuhku segar dan kuat kembali.”

Jumat Legi, 5 Rabiul Awal 1333, si jabang bayi lahir dengan keadaan selamat dan sempurna. Wajahnya tampan nan rupawan. Senyumnya begitu menawan, ia tidak banyak menangis dan tidak sepanjang hari tidur. Kedua tanganya sering bergerak aktif, begitu pula kakinya. Untuk pertama kalinya seorang anak laki-laki lahir dari rahim Nyai Nafiqah, hari yang membahagiakan dan tiada terlupa bagi seluruh penghuni pesantren, hadirnya lelanang jagat di 1 Juni 1914.

Muhammad Asy’ari adalah nama yang pada mulanya diberikan pada putra Nyai Nafiqah itu. Sebuah nama yang diambil dari nama sang kakek, tapi, nama itu terasa berat bila harus dipikul si bayi. Berselang 3 bulan kelahiran si bayi, Nyai Nafiqah pergi ke Madura untuk melepas nazarnya. Bersama si bayi dan Mbah Abu, Nyai Nafiqah berdesak-desakan naik kereta untuk bisa sampai ke tanah Surabaya. Karena untuk mencapai Madura, Nyai Nafiqah harus naik moda transportasi laut melalui pelabuhan.

Siang hari dan awan tampak mendung ketika Nyai Nafiqah menjejak tanah Madura. Dengan tergesa-gesa, Nyai Nafiqah bersama si bayi dan Mbah Abu mencari kohar (istilah dari bahasa Madura yang berarti angkutan umum yang memiliki bentuk istimewa. Salah satu jenis moda transportasi darat, di Jawa sering disebut dokar) guna menuju Desa Kademangan. Untuk mencapai rumah Kiai Kholil, Nyai Nafiqah harus menempuh jarak yang tidak dekat dengan jalan kaki.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Sebuah bangunan sederhana yang menyerupai rumah dan di kelilingi pekarangan mulai tampak setelah lama berjalan selangkah demi selangkah yang sangat melelahkan. Hari sudah mulai malam dan hujan turun rintik-rintik. Rumah itu sepi tak tampak seorang pun.

Pangapora, non”, ucap Nyai Nafiqah dengan logat Madiun setelah beberapa kali memanggil penghuni rumah, yang artinya sebuah ungkapan permohonan izin masuk. Namun tetap tak ada yang menyahut. Tak lama kemudian, sekonyong-konyong tersembul dari dalam rumah seorang yang ganjil perawakannya, berjanggut panjang lagi putih. Lalu berkata dalam bahasa Madura, yang artinya, “Kamu semua tidak saya izinkan masuk ke rumah dan jangan pergi dari situ, kamu harus tetap di tempatmu sekarang sampai ada perintah lagi dari saya.”

Kedua perempuan itu sudah basah kuyup, hujan semakin besar, dan suara guntur menggelegar berturut-turut. Karena khawatir dengan si bayi, Nyai Nafiqah dan Mbah Abu memberanikan diri menepi di bawah atap rumah itu. “La ilaaha illa anta, Ya hayyu Ya qayyum,” ucap Nyai Nafiqah sembari meletakkan si bayi di teras rumah. Tiba-tiba sosok yang berjanggut putih tadi keluar dan melarang si bayi di letakkan di teras rumahnya.
“Bawa dia kembali ke tempatnya semula,” ujar sosok berjanggut putih itu sambil menunjuk halaman di depan rumahnya. Itu artinya, Nyai Nafiqah, si bayi, dan Mbah Abu harus rela diguyur hujan lebat di tengah malam yang dingin. Si bayi diletakkan dalam pangkuan ibunya dan dilindunginya dari hujan lebat.

Bayi itu kini tumbuh dewasa, Nyai Nafiqah sering memanggilnya dengan nama Mudin. Tubuhnya agak pendek, ia gemuk tetapi tegap, rambutnya hitam berkilat, yang menurut ilmu firasat menandakan banyak teori, dan matanya agak lebar. Namanya Abdul Wahid, nama yang diambil dari datuknya, Sayyid Abdul Wahid.

Madrasah Nizamiyah adalah suatu perguruan karya Abdul Wahid. Perguruan modern di zaman penjajahan yang menggabungkan ilmu agama Islam dan pengetahuan umum yang berdiri di tengah Pesantren Tebuireng. Di dalamnya diajarkan bahasa Arab, Belanda, dan Inggris, pelajaran yang pada masa itu menyeramkan bulu roma golongan orang tua-tua karena bahasa-bahasa itu milik penjajah yang selalu menentang dan mempersukar Islam di Indonesia. Tetapi seorang Abdul Wahid punya pandangan sendiri, ia meyakini suatu ungkapan, “Barang siapa mengetahui bahasa suatu golongan, ia akan aman dari kejahatan golongan itu,” dan “Bahasa adalah kunci ilmu pengetahuan.”

Manfaat Madrasah Nizamiyah semakin terasa, orang semakin kagum melihat banyaknya anak-anak kiai, selain fasih berbahasa Arab, pandai dan lancar pula berbahasa Belanda dan Inggris. Nizamiyah semakin subur, suatu ketika Abdul Wahid melihat anak-anak Nizamiyah bermain, sambil tersenyum ia berkata, “Mudah-mudahan kamu sekalian di masa depan menjadi calon kiai intelek, yang dapat mengangkat derajat golonganmu.”

Abdul Wahid belum puas. Murid-muridnya di luar sekolah harus belajar berorganisasi dan menambah pengalaman dan pengetahuan dengan membaca. Ya, membaca itu pokok kemajuan Islam. Karena dengan membaca dan mempergunakan pena, Tuhan mengajarkan kepada umat ilmu pengetahuan yang belum dipelajarinya. Membaca dan menulis sebanyak-banyaknya adalah pokok kemajuan yang tak ada batasnya.

Pada Tahun 1936, Abdul Wahid mendirikan Ikatan Pelajar-Pelajar Islam (IKPI) yang dipimpinnya sendiri. Lebih dari 300 orang menjadi anggota dalam waktu yang relatif singkat. Sebuah bibliotik berdiri, yang menyediakan lebih dari 500 buku dan kitab yang terdiri dari bahasa Indonesia, Arab, Jawa, Madura, Sunda, Belanda, dan Inggris. Suatu kemajuan yang luar biasa pada pesantren waktu itu. Selain itu, atas anjuran Abdul Wahid, para anggota IKPI berlangganan surat kabar dan majalah. Di antaranya adalah harian Matahari, Sin Tit Po, Suara Umum dan Pejuang. Panji Islam, Adil, al Fatah, Berita NU, Cendrawasih, dan seterusnya adalah majalah langganan mereka. Sehingga, pada tahun 1936, Tebuireng mengalami suatu masa kemajuan yang belum pernah dialami oleh pondok mana pun, baik dalam ilmu agama atau ilmu umum.

Pada 1938 adalah awal karir Abdul Wahid di luar pesantren, ia menjabat Sekretaris Ranting NU Cukir, lalu dipilih menjadi Ketua NU di Jombang, dan di tahun 1940 menjadi Anggota PBNU bagian Ma’arif. Di dalam kedudukannya, Abdul Wahid melakukan rekonstruksi pada Madrasah NU di seluruh Indonesia. Termasuk memasukkan pelajaran umum di dalamnya. Banyak kalangan yang reaksioner terhadap kebijakan Abdul Wahid. Agar pelajaran agama tidak dicampur-aduk dengan persoalan duniawi. Dengan kepiawaiannya, semua kritikan ia jawab melalui mimbar bicara dan tulisan-tulisannya di Suara NU. Lalu pada 1941 mendirikan Suluh NU yang ia pimpin sendiri dan diterbitkan oleh “Hoofdbestuur NU Bagian Ma’arif”, untuk menyalurkan paham-paham baru dalam pendidikan Islam. Dan yang paling penting adalah rapat di Singosari, Malang, membuat trobosan rancangan anggaran rumah tangga NU tentang madrasah pada tahun 1938.

Tragedi Cimindi, saat hujan lebat, menutup hidup sang pembaharu pendidikan pesantren itu. Hujan tampak setia dengan kelahiran dan kepergiannya. Selamat Jalan Kiai A. Wahid Hasyim.


*Pernah dimuat di halaqoh.net sebagai naskah lomba kisah tokoh pesantren dan menyabet juara 2. Dimuat ulang untuk kepentingan pendidikan.

*Pimpinan Redaksi Majalah Tebuireng