sumber gambar : Ekspresionline.com

Oleh : Rara Zarary

Malam itu masih sepi, hanya lampu-lampu kecil tetap menyala di pojok jalan desa. Tepat di pelepasan malam, sedang angin masih ratapi gemuruh cuaca, barangkali musim akan segera berganti, atau bisa saja matahari besok tak datang lagi sebab mendung seperti penguasa semesta sepanjang pagi sore.

Sebagai bocah kecil, aku pun tak tahu masalah itu, yang aku pahami hanyalah perasaan yang kali ini sangat berbeda, tak seperti malam pada malam Ramadan tahun kemarin, semasih tubuh gagah bersama jubah putihnya setia menempele kursi butut di amperan rumah sederhana ini.

Tubuh gagah yang mampu menahan kerasnya dingin karena ingin melindungi keluarga dari gigilnya angin malam dan zalimnya manusia-manusia pengintai rumah orang. Tak jarang saat malam hari para pencuri berkeliaran mencari mangsa. Ironisnya, banyak warga yang kebablasan, binatang peliharaannya hilang dan baru disadari saat siang hari. Nyaris… kejadian itu menjadi hal paling angkuh yang harus mendapatkan perhatian serius oleh keluargaku, terutama Bapak. Sebab, dua ekor sapi yang kami punya adalah satu-satunya harta buat masa depan kami.

Seperti apa yang sering Bapak katakan padaku, “Jika suatu saat sapi itu besar, juallah untuk biaya sekolahmu,” ungkap Bapak dengan senyum khasnya. Begitu berharganya sapi itu, hingga tak ayal jika bapak rela tidur di amper hingga kumandang azan Shubuh membangunkannya.

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

@@@

Agustus datang, sebagai kalender yang mengisyaratkan datangnya Ramadan. Ramadan, yang kata banyak orang adalah waktu paling istimewa untuk melakukan berbagai macam ibadah. Bahkan di bulan ini, semua partikel mampu dikumpulkan menjadi satu. Sanak keluarga atau kerabat yang biasanya berjauhan menjadi berkumpul dalam satu rumah hanya untuk menikmati bulan yang begitu manis ini, bulan milik umat Muhammad.

Termasuk aku, lelaki yang seringkali merindukan hadirnya bulan ini. Meski kali ini aku harus menikmatinya dengan sedikit pahit, sebab gula yang tersisa di dapur emmak hanya sedikit. Tak ada yang dapat membelikannya lagi, kecuali Bapak. Seseorang yang sangat peka terhadap kebutuhan keluarga kami. Emak juga perhatian, tapi sayang semenjak bapak tak ada, Ia seringkali termenung, hanya tatapan kosong yang kusaksikan lewat bola matanya. Hingga tak ayal jika kebutuhan rumah tangga sering Ia lalaikan.

Di rumah ini sudah sepi. Hanya aku dan Emak. Kedua ekor sapi pun terjual semenjak pendaftaran kuliahku di kota seberang yang amat sangat membutuhkan biaya banyak. Selain itu, sikap menyendiri dan murung Emak membuatku merasa sendiri. Semakin terasa sepinya.

@@@

Sore itu sepertinya mendung akan memeleh, aku segerakan langkah kakiku dari Masjid Al-Mustaqim ke rumah. Sebentar lagi azan, dan aku seferakan diri membatalkan puasaku. Meski sering kali kebutuhan rumah tangga tak kudapati sesempurna dahulu, tapi sore ini masih terbayang aroma sop buatan Emak yang istimewa. Kolak nangka yang manis dengan gula merah, dan paling aku ingat adalah nasi merah beserta sambal kacang kesukaanku. Membayangkan itu membuat lariku semakin kencang. Air dari langit pun mulai jatuh dan akhirnya pintu dari kayu jati itu pun tampak di depan mataku, aku tiba di rumah peninggalan Bapak ini.

Aku buka pintu coklat berlukis naga itu, ruangan gelap, sepi. Tak ada aroma masakan apa pun, hidungku sedari tadi juga mencari harumnya ikan panggang yang tadi pagi sempat aku pesan pada Emak. Lampu dapur pun tak menyala. “Tumben, emak tak ada di dapur, padahal azan maghrib sudah membatalkan puasaku, gumamku lirih.

Aku pun membalikkan tubuhku, aku mencari emak, mungkin saja dia sedang di rumah bi Fatma, istri dari saudara laki-laki Emak.

“Mau kemana Fan? Tarawihnya belum mulai. Habiskan dulu masakan untuk buka puasanya, baru shalat,” suara Bi Fatma terdengar dari samping tubuhku. Dia dan anak-anaknya sedang berbuka puasa bersama.

“Alfan mencari Emak Bi’. Alfan belum membatalkan puasa, soalnya di dapur gelap tidak ada masakan yang tersedia. Emak ada disitu Bi’?” ku langkahkan kakiku, mendekati meja makan Bi’ Fatma.

“Kok belum buka puasa Fan? Ayolah sini. Buka puasa bersama,” ajak Bi’ Fatma sambil lalu menyendok nasi merah di depannya pada arahku.

“Emak di mana Bi’?”

“Dari tadi siang bibi tidak lihat Emakmu. Memangnya tidak pamit mau ke mana Fan?”

“Dari tadi siang Alfan tadarusan di Masjid Al-Muttaqin. Jadi Alfan tidak tahu Emak ke mana. Yaudah Bi’, Alfan cari Emak dulu,” jawabku lalu ku balikkan tubuhku.

“Tidak mau membatalkan puasamu dulu Fan?”

“Nanti saja Bi’, mau cari emak dulu” jawaban yang samar aku lontarkan beriringan dengan langkah kakiku. Sepuluh menit dari azan Maghrib, belum juga ku temui Emak. Belum pula aku sempatkan diri untuk berbuka puasa. Entah dalam dudukku yang sepi, tiba-tiba hatiku seperti sedang dalam gundah, sesak, seakan-akan ingin berteriak, menangis meraung. Aku tertunduk letih. Ku telan ludahku, semoga menjadi akibat batalnya puasaku yang seharusnya dari tadi sudah aku batalkan meski dengan sekadar meneguk segelas air putih.

@@@

Aku meraba meja makan. Kosong, Emak benar-benar tak sempat memasak sesuap nasi pun untukku. Aku pun memilih duduk di kursi, meski dalam keadaan ruang masih gelap. Aku juga tak mengerti, listrik mati atau lampu yang rusak. Sepintas aku dengar isakan tangis. Semakin jelas, dari arah kamar bapak.

Aku pun menyadarkan diri dari menungku, aku langkahkan kakiku ke kamar Bapak yang bersampingan dengan ruang makan kami. Ada sosok tubuh bersujud, dengan pakaian serba putih. Kuperhatikan lebih lama, lebih dekat. Isak tangis semakin menggemparkan telingaku yang lama dengan nada sepi. Aku duduk di sampingnya, Ia belum mendongakkan kepalanya. Kusentuh tangan kanannya yang kebetulan tak tertutupi pakaian. Tubuh itu langsung terbangun, Emak. Dia tersujud lama, menangis. Matanya yang indah menjadi sembab, pipinya basah, mukenah yang Ia pakai seperti usai dicuci, sangat basah. Kami saling tatap mata. Tubuhnya pun segera merangkul tubuhku. Tangisnya riak, air mataku pun tak mampu aku tangguhkan. Aku tak tahu apa yang sebenarnya terjadi padanya, tapi serasa sakit yang Ia derita aku rasakan. Kueratkan pelukanku dan suasana menjadi hening.

Dalam pelukan yang menangis, azan Isya pun menengahi. Kulepas pelukan emak. Aku usap air matanya. Dia masih tak berbicara, aku mencoba mengisyaratkan kekuatan padanya lewat kedipan mataku. Aku mencoba mengajaknya tersenyum. Palsu, dia tak mau. Aku pun berdiri ingin memalingkan tubuh dari tangisnya. Aku tak tega.

“Emak merindukan Bapakmu Fan, Emak sangat terpukul dengan kesendirian Emak, Fan,..” suaranya terhenti. Aku menoleh, dia mengusap air matanya dengan ujung mukenahnya.

“Sudahlah Mak, Bapak sudah tiada. Jangan ungkit lebih banyak lagi cerita tentangnya yang hanya akan membuatmu lebih merasa sepi. Gara-gara Emak terlalu larut dengan kepergian Bapak, membuat diri Emak lebih sengsara. Emak lupa pada kewajiban, lupa untuk menyediakan masakan untuk buka puasa kita. Hanya menangis dan menangis. Itu tak mungkin membuat Bapak kembali Mak!” suaraku lantang. Tangisku tumpah, bukan niat untuk memarahi atau bercakap kasar pada Emak. Aku hanya ingin membuat Emak sadar, bahwa sampai kapan pun Bapak tak akan pernah ada lagi. Aku hanya ingin membuat Emak mampu menerima kenyataan ini. Bapak sudah tiada satu tahun yang lalu, tepat satu bulan sebelum bulan Ramadan, wafat karena kecelakaan tabrak lari.

“Alfan! Jangan bicara begitu, Emak tidak suka! Kalau kamu merasa lapar, masak saja sendiri. Kamu sudah dewasa. Dulu bapakmu seusiamu sudah pandai memasak sendiri. Jadi…”

“Alfan bukan Bapak, Mak, jika memang Emak tidak suka Alfan berbicara seperti itu, jika memang Emak tidak suka Alfan ada di sini. Baiklah, malam ini juga Alfan keluar dari rumah ini. Alfan tidak akan membuat emak semakin susah karena Alfan,”

Suara parau itu menmbus dada, harusnya tak pernah ada percakapan sehina ini. Aku seorang anak yang telah durhaka dalam sebuah kesalahan. Kondisi malam itu tetap membuat langkah kakiku sangat cepat. Aku bawa sajadah merah dan jubah abu-abu yang seringkali dipakai Bapak saat tarawih. Aku keluar dari rumah. Aku tinggalkan Emak dalam tangisan dan kesendiriannya. Sungguh, percakapan itu tak pantas terjadi di malam suci ini. Aku menyesal, air mataku semakin tumpah. Tak seharusnya bahasa kasar itu kulontarkan pada perempuan selembut Emak. Tapi entah, emosiku membuncah. Aku sungguh tak mengerti mengapa malam itu bersuasana seperti itu.

Langkah kakiku melelehkan tangis di sepanjang jalan, saat aku berdoa selesai shalat Isya’ di Masjid Al-muttaqin, aku memilih menggelar sajadah untuk tadarus dan sekaligus istirahat malam di sini.

@@@

Tepat tanggal 21 Ramadan

Pagi itu aku mencoba menyegarkan pikiranku dengan membaca buku ilmiah sambil kudengarkan lantunan ayat suci dari teropong masjid, masih tetap dengan keistikamahan qari’ melantunkan surah Ar-Rahman, fabiayyi alaa ‘irabbikumaa tukadziban. Air mataku mengadu pada lapisan pipi hingga membasah. Aku benar-benar merindukan Emak di seberang sana. Wajahnya yang sudah tampak garis keriputnya membuat aku semakin tak mampu menahan sedu tangis ini.

“Allah, bolehkah aku pulang sekarang? Sedang aku masih tak mendapati sosok emak yang mencari keberadaanku. Bukankah itu memang berarti ia sudah tak menginginkan aku disisinya lagi?” gumam hatiku dengan air mata yang tak kering.

Astaghfirullah nak, kenapa kau malah asyik-asyikan di sini? Abang pikir kau ikut ngaji kilatan. Ternyata kau di sini. Cepet pulang!” Bang Hafid mendorong tubuhku yang sedari tadi bersandar di dinding masjid.

“Bentarlah bang. Alfan masih belum siap untuk pulang,” ujarku seraya aku tatap wajah kusut Bang Hafid.

“Mau nunggu Emakmu sampai mati? Di kubur atau apa?” deegg! Jantungku berdebar. Mataku melotot spontan. Kulempar buku yang sedari tadi aku pegang.

“Ada apa Bang? Apa maksud Abang bicara kayak tadi?” ucapku seraya kugoncangkan kedua bahu Bang Hafid.

“Kau ini kenapa Fan. Emakmu sejak tadi malam sekarat. Dia kayak mau di naza’. Kau kemana, kenapa bisa nggak tahu Fan? Semua tetangga dari semalam nginep di rumahmu,”

Ada apa semua ini? Sebelum segalanya terlambat. Aku hentakkan kakiku. Berlari sekuat tenaga tanpa kuhiraukan keberadaan dan teriakan Bang Hafid. Aku tak mau gagal kedua kalinya. Aku tak mau ditinggal Emak. Aku tak mau terlambat menatap mata Emak yang syahdu dan mengandung cinta. Aku tak ingin…..

“Bruuuaaaaakk!!!” tubuhku terlempar jauh dan terbentur pohon jati yang tegak gagah menjulang tinggi. Sekilas aku dengar suara-suara yang sangat ramai meneriakkan namaku. Entah apa dan siapa mereka. Hanya langkah cepat dari kaki-kaki aku dengar, berlari ke arahku semakin dekat, dan akhirnya gelap.

@@@

29 Ramadan 1432

Kulihat Emak datang tepat di hadapanku. Mengulurkan tangan kanannya isyarat ia menyuruhku mencium tangannya. Dia tersenyum lembut, dia terlihat sangat cantik. Kali ini Emak berpenampilan sangat berbeda. Wajahnya putih dan bugar sehingga tak kulihat lagi garis keriputnya. Bibirnya merah, tangannya yang baru saja kusentuh sangat lembut dan serasa dingin. Aaah Emak. Akhirnya aku kembali bertemu denganmu.

“Fan, Emak sangat menghawatirkanmu nak, sejak kau pergi dari rumah Emak selalu berdoa pada Allah agar kau cepat datang dan kembali untuk Emak. Tapi sayang, kau tak kunjung dating. Jaga baik-baik dirimu nak. Jangan merasa sendiri. Kau punya banyak orang, kau punya Allah,” aku tak mengerti apa yang terjadi. Hanya serasa aku dengarkan suara itu hingga akhirnya jauh dan tak terdengar lagi, sosok Emak di hadapanku pun menghilang tiba-tiba. Ada apa? Aku tak mengerti.

“Allahu akbar… allahu akbar… allahu akbar. Laailahaillallahu allahu akbar. Allahu akbar wa lillahilham, suara takbir, aku tak tahu dari mana arahnya. Nafasku terengah-engah. Seperti baru saja berlari dikejar harimau. Keringatku mengalir. Aahhh… bau sekali ruangan ini! Putih.

“Kau sudah sadar nak,” suara dari arah kiri ranjang tidurku. Bibi Fatma. Aku hanya mampu menatap wajahnya. Aku masih tak paham, kenapa hanya ada seorang Bi’ Fatma di sini. Emak mana? Bukankah sedari tadi aku mendengarkan suara Emak?.

“Sudah delapan hari kau koma nak. Sekarang kau di rumah sakit?” ucap Bi’ Fatma seraya mencium kedua pipiku dan mengelus-elus rambutku.

“Emak?” mulutku hanya mampu mengucapkan kata itu.

“Lebih baik kau istirahat dulu Fan,” Bi’ Fatma tak menjawab pertanyaanku, dia mengalihkan pembicaraannya. Kenapa tiba-tiba aku curiga.

“Aku tanya Emak Bi’, di mana? Kenapa dia nggak ada di saat aku sadar? Atau mungkin memang tak pernah menemaniku selama aku koma?” aku berusaha untuk mengubah posisi berbaringku, tapi apa daya aku masih tak memiliki energi yang cukup.

“Yang sabar ya Fan. Emakmu sudah kembali pada Allah Fan. Tepat saat tabrakan yang kamu alami, Emak meninggal dunia. Yang penting sekarang kau harus sembuh dulu Fan,” aku ternganga. Mataku kembali berkristal, tumpah di pipiku.

“Berarti pertemuan tadi, suara Emak tadi… hanya mimpi. Aku tak akan pernah lagi menatap wajahnya. Aku tak akan lagi mencium tangannya. Aku tak bisa memeluknya. Allah…. Kenapa semua ini terjadi begitu mudah dan cepat?” aku pun meronta, Bi’ Fatma memeluk tubuhku yang mulai bangun dari ranjang tidurku. Slang dari infuse pun terlepas dari tanganku. Suaraku mengisi ruangan.

“Tenang Fan,” Bi’ Fatma mencium-cium pipiku. Air matanya leleh dan menyatu dengan air mataku yang sudah tumpah. Tangisku semakin jadi ketika kudengar suara takbir semakin serentak dilantunkan. Malam ini malam Idul Fitri. Ramadan berakhir. Ramadanku menangis. Ramadanku berkeping, lalu dengan siapa akan aku dendangkan lagu jiwaku yang Fitri? Emak, Bapak, sudah jauh.

“Fan….” Bi’ Fatma meraih tubuhku yang tak berdaya. Gelap kembali aku rasakan. Kali ini, gelap lebih panjang, dan akhirnya aku tak merasakan apa-apa lagi, takbir pun hilang dari pendengaranku. Segalanya menjadi kosong, dari arah sana aku kembali melihat dua sosok berpakaian putih panjang menutupi segala tubuhnya. Bapak dan Emak, itu mereka. Aku pun berlari mengejarnya mendekati mereka lalu mensejajarkan langkahku di samping mereka. Kami pun kembali mampu bersatu lagi. Aku merasa sangat bahagia.

Segalanya selesai dan berakhir di sini. Ramadan telah mengenang duka ini. Tangis dari berbagai mata pun telah menjadi saksi, bahwa aku telah hilang tanpa nama. Aku hilang sebelum sempat kurasakan bagaimana dag dig dug memakai toga wisuda serta sudah tak ada harapan lagi bagiku untuk dipanggil sebagai mahasiswa cumlaude di sebuah universitas. Sudah berakhir segalanya. Hanya tinggal aku dapati waktu atas perjumpaanku dengan dua sosok tubuh gagah Raqib dan Atid di kubur sana. Kali ini, kurasakan keadilan tuhan padaku karena aku pun telah menyusul kepergian dua orang yang sangat aku cinta. Sebentar lagi, semoga diatur pertemuan panjangku dengan Bapak dan Emak. Selamanya.

Tulisan, sebuah kenang kalender yang berbeda. Sumenep, 2014


*Penulis antologi puisi dan cerpen. (Menghitung Gerimis, Hujan Terakhir, Hujan & Senja Tanah Rantau).

Publisher : Munawara, MS