Sumber gambar : Andini Pebriani – WordPress.com

Oleh: Galih Budi Ramadhan

Perubahan selalu berkembang sesuai dengan peradaban dan berkembangnya zaman. Manusia akan meninggalkan sejarahnya tanpa adanya jejak asal-usul yang jelas. Akhlaqul karimah kian digerogoti oleh obat bius bernama globalisasi. Derasnya teknologi semakin menggerus moral anak bangsa.

Abad 21 hadir dan menyulap para calon generasi muda Indonesia menjadi binal dan liar. Kita semakin terhanyut oleh suguhan budaya barat yang serba instan. Kita semakin dibalut oleh pola hedonisme ala wong londo. Kita seakan-akan dibudidayakan untuk menjadi boneka tangan ahli orang barat. Lekatnya budaya barat di Indonesia sudah mencapai level mengkhawatirkan, sampai-sampai Eyang si penulis ngelus dodo.

Dewasa ini, penulis dikejutkan oleh fenomena kenakalan remaja, khususnya tawuran. Bagi penulis, Indonesia sudah memasuki era degradasi moral. Tidak bisa dipungkiri, para remaja seakan-akan lupa kalau bangsa ini punya Pancasila. Disamping pelajaran agama yang dipersempit, ilmu wawasan pendidikan dan kewarganegaraan juga bersifat monoton.

Para pendidik yang bergerak di bidang mata pelajaran PKN tidak bisa berbuat apa-apa. Mereka hanya berpaku pada sub-bab buku yang ia pegang. Mereka terlena kalau dirinya harus mempunyai pemikiran universal dan tidak monoton. Fakta ini sudah membuktikan kalau para remaja kurang menghargai “keberagaman” yang telah dibuat susah payah oleh Ir, Soekarno, Muh. Yamin, dan Dr. Soepomo. Dipikir-pikir betul juga apa yang telah diungkapkan oleh John. F. Kennedy, “Jika kita tidak bisa menghargai perbedaan-perbedaan kita, paling tidak kita dapat membantu dunia aman untuk keanekaragaman.”

Majalah TebuirengIklan Tebuireng Online

Pemikiran mayoritas remaja Indonesia saat ini seperti “dikotak-kotakkan” oleh yang namanya rivalitas. Sebuah pertentangan atau permusuhan karena berbeda dalam beropini dan sebagainya. Contoh yang mungkin paling umum adalah rivalitas remaja dalam mensupport atau mencintai salah satu klub sepak bola, selain itu juga tentang perbedaan latar belakang sosial dan budaya, dan lain sebagainya.  Tanpa disadari, inilah salah satu pemicu kenakalan remaja, seperti tawuran, permusuhan, dan perilaku negatif lainnya.

Penulis berharap, tidak ada lagi diskriminasi tentang SARA. Indonesia perlu penyeimbang, dan penyeimbang itu bisa lahir di negeri ini. Diciptakan oleh para pemuda yang memiliki jiwa patriot dan menghargai keanekaragaman Tanah Air ini. Mungkin, ungkapan Presiden Amerika Serikat, John. F. Kennedy bisa meluruhkan hati dan mendamaikan jiwa. Tidak lupa syair “Hubbul Wathon” juga bisa merefleksi diri kita dari keangkuhan, keegoisan, kepentingan  pribadi, dan fanatisme, “Yalal wathon, yalal wathon, yalal wathon, hubbul wathon minal imaan….” Wallahu A’lam.


*Siswa kelas IX MTs Salafiyah Syafi’iyah Tebuireng Jombang.

Publisher : Munawara, MS